Bab 9
"Pagi, Key," sapa Teh Anisa. Dia adalah tetangga depan rumah yang kala itu mencandai Mas Fhi sehari setelah acara, pagi yang sempat membuatku tercengang karena perkataannya soal Mas Fhi biasa nyapu setiap hari.
Nyatanya benar, cerita ibu mewakili, terlebih pengakuan Teh Anisa. "Kagum aja sama Yasfhi, Key. Suami aku boro-boro bantu nyapu, minta tolong buat pegangin Alan kadang masih menggerutu."
Aku bersyukur pernah belajar adab-adab berumah tangga hingga tak perlu berkoar-koar seperti yang Teh Anisa lakukan--yang tanpa sengaja membuka aib suami. Tapi jika aku diam dengan apa yang telah aku ketahui tanpa menegur atau memberi tahunya, apakah aku tidak akan salah?
Harusnya aku pun bersyukur Allah jadikan Mas Fhi suami yang baktinya penuh pada orang tua.
"Pagi, Teh. Mau kemana atuh pagi-pagi udah rapi?"
Dua bulan terakhir ini yang seriang menjadi teman adalah Teh Anisa, dia yang sering ke rumah membawa anaknya--Alan--yang baru berusia dua tahun.
"Mau ke rumah ibu, Key."
Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Teh Anisa sama sepertiku, seorang menantu yang juga pendatang disini.
"Sama misua?" Ketulan dia aku jadi ikutan alay nyebut misua.
"Iya donk, mumpung misua lagi libur."
"Ehe, hati-hati, Teh," balasku saat Mas Anton--suami Teh Anisa--sudah siap dengan kuda besinya.
Teh Anisa mengangguk. "Cepat isi tuh perut biar gak kesepian," sautnya lagi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Mas Fhi.
Napasku seolah berat. Kumasukkan sisa-sisa daun yang tertinggal ke keranjang sampah. Langkahku rasanya berat untuk kembali memasuki rumah. Jadi rindu mamah, padahal baru kemarin ketemu.
Heuft.
Pertanyaan Teh Ayna sama. Dua bulan pernikahan bukan waktu yang tidak cukup untuk bisa melihat tanda-tanda kehamilan. Sayangnya itu tidak akan pernah ada. Aku jadi semakin merasa berdosa sebagai istri yang belum memberikan haknya. Tapi bagaimana? Hatiku masih saja stuck disana, tak mau beralih, tapi untuk melepaskan mungkin perlahan sudah terlupakan.
"Mas berangkat, Key," ucap Mas Fhi saat aku tiba diambang pintu. Seperti biasa, aku menyalami tangannya dan dia tersenyum membalasnya.
Mas Fhi berbalik dan mengucap salam. Namun aku belum menjawab salamnya, justru mencegatnya hingga urung melanjutkan langkah, menatapku penuh tanya. Perkataan Teh Anisa masih memenuhi pikiranku, tapi aku harus sadar, seseorang di depanku harus diperdulikan, harus menerima.
Tapi apa sebenarnya definisi menerima?
"Mas Fhi tahu? Kalau mencium kening istri sebelum berangkat kerja itu adalah sodaqoh?"
Raut wajah Mas Fhi berubah tegang dan sedetik kemudian dia berusaha biasa.
"Belum. Mas belum tahu."
Aku kesal padanya yang hanya mematung. Dia nggak paham maksudku? Bukan aku ingin, tapi ini bentuk usaha untuk menerimanya lebih, tidak hanya bersentuhan sebatas tangan yang bersalaman setiap pagi. Aku ingin mencoba bagaimana respon hatiku, berdesirkah? Atau tetap biasa-biasa saja?
Aku mulai menyesali perkataanku. Sampai kapanpun dia tak akan mengerti. Aku menunduk dan berucap hati-hati di jalan sekaligus menjawab salamnya dengan lirih.
Aku hendak berbalik tapi pergerakan Mas Fhi begitu cepat, mencium keningku kilat, pun langsung berbalik dengan kuat, mengulangi salamnya tanpa menatap, menaiki motor dan menghilang.
***
Pagi ini jadwalku nyuci, sebenarnya tidak banyak, sih. Mas Fhi tetap lebih sering nyuci bajunya sendiri. Aku tak banyak protes, justru lebih banyak syukurnya.
Iya, ya? Kenapa aku tidak bersyukur Allah kasih suami yang baik, yang tak membebankan semua pekerjaan rumah pada istrinya, justru Mas Fhi yang lebih sering nyapu kala aku bantu ibu di dapur.
Dan jangan lupa secangkir coklat hangat setiap malam yang dia seduhkan. Mamah bilang itu tetap dikatakan suatu kebaikan. Aku gak ngeti sebenarnya untuk apa Mas Fhi bikin coklat tiap malam, meski sejujurnya aku mulai suka.
Suka coklatnya atau suka sama yang bikinin coklatnya? Ish, apalah aku ini.
Tangan yang mulai meraih celana jins milik Mas Fhi merasakan seperti ada sesuatu yang kaku, meski sebenarnya kain jins itu selalu kaku dan aku paling malas mencucinya. Berat.
Kumulai menelusri, tenyata ada sebuah kertas yang sudah dilapisi mikha hingga membuatnya kaku. Ketasnya sudah lusuh dan banyak bekas lipatan. Tapi sepertinya sedang mencoba dipertahankan.
Kucoba balik, mencari petunjuk tentang kertas apakah ini.
Tolong! Buat aku jatuh cinta
Maka aku akan rela menjadi istri sepenuhnya.
Tunggu! Tulis ini? Kertas ini? Aku mengenalnya. Ini tulisanku, dan kertas lusuh ini? Kertas diary yang aku sobek di malam setelah akad.
Oh Allah! Aku telah berburuk sangka padanya, mengira dia mengabaikan catatan yang aku berika padanya.
***
"Waalaikumussalam," sindirku pada Mas Fhi yang datang tanpa mengucap salam.
"Assalamualaikum, Key." Kemudian Mas Fhi menghampiriku yang sedang melipat baju di karpet depan televisi.
Aku mengulangi jawaban salam. "Tumben sudah pulang?"
Muka cemas bercampur lelah segera dirubahnya dengan senyum yang yak sampai di matanya. "Gak papa. Mas bawain ini," tangannya menjulurkan paper bag berwarna maroon. "Tapi patah," sesalnya.
Patah? Aku segera meraih paper bag berukuran kecil yang Mas julurkan, penasaran apa yang patah.
Kalian tahu apa isinya? Stangkai bunga mawar yang memang telah patah. Aku ingin tertawa tapi merasa tak tega karena melihat wajah Mas Fhi yang merasa bersalah.
Hhh. Aku sedikit tergelak karena betapa sangat merasa bersalahnya Mas Fhi sampai tak ingin menunjukkan wajahnya.
"Mas mandi dulu. Besok tak belikan lagi."
Sebenarnya tidak perlu. Terlalu banyak pertanyaan hingga aku tak tahu memulai dari mana. Dan pada akhirnya tak terucap satu pun dan membiarkan Mas Fhi berlalu. Sedang aku masih bingung dan tak melanjutkan pekerjaanku.
Mas Fhi kenapa? Kenapa tba-tiba bawa mawar? Kenapa se-bersalah itu karena mawarnya patah? Kenapa juga bisa patah?
Kugelengkan kepala merasakan kejanggalan dari sikap Mas Fhi, tapi tidak menutut kemungkinan kalau hatiku senang mendapatkan bunga. Perempuan mana yang tak suka bunga? Aku bahkan merasa senang meski dibawainnya bunga patah.
***
"Nggak ada Il, udah gue cari kemana-mana nggak ada."
"....."
"Udah. Coba deh lo cariin disitu."
"....."
"Enggak. Seharian ini gue nggak buka buku itu sama sekali. Kan lo tahu seharian gue sama lo."
"....."
"Coba deh lo cariin. Kemaren gue megangnya di tempat meditasi."
"....."
"Iya iyya, gue coba cari dulu."
Apa yang Mas Fhi cari? Mungkinkah kertas yang pagi tadi kena cuci?
"Astaghfirullahaladzim," ucap Mas Fhi kaget. "Keylha ngagetin."
"Udah dari tadi lho Keylha disini, Mas Fhi aja yang terlalu fokus. Telfonan sama siapa sih?"
"Ada apa?" tanyanya datar. Cepet banget ngerubah ekspresi wajahnya.
"Tuh kan kebiasaan deh. Jawab dulu," ketusku.
"Sama Ilham." Singkat, padat dan nggak jelas. Emang aku tahu siapa Ilham? Eh? Emang aku harus tahu siapapun dan apapun yang berkaitan sama Mas Fhi?
"Mas Fhi gak mau solat ke Masjid? Laki-laki itu solatnya lebih utama di Masjid lho, Mas."
"Mas cape, Key."
Tuh, kan? Gimana mau jadi suami idaman coba? Padahal Ustadz Handy Bony bilang, the real man go to masjid.
"Oh iyya, kamu nyciin baju Mas tadi pagi?" Aku cukup mengagguk sebagai jawaban. Aku ingin tahu rasanya bersikap nggak banyak bicara seperti Mas Fhi. Tapi tadi telfonan panjang-panjang kalimatnya. Apa karena khawatir dan panik?
"Ada dimana bajunya?" Air mukanya semakin tegang.
"Di lemari. Udah Key lipat."
Alhamdulillah bisa update juga meski malem yaa..
Maafkan. Besok insyaAllah pagi lagi. Udah ada draftnya.
Semoga suka ya sama cerita penulis amatiran ini. Hehe
Jazakumullahi khair sudah mampir. Semoga ada manfaat yang bisa diambil. Aamiin.
Publish: 09 oktober 2020| 20:57
Ig: melodybisu
Wp: melodybisu
kbm: melodybisu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top