Bab 8
Dan pada akhirnya aku tak ke mana-mana, kami sepakat untuk keluar besok karena Mas Fhi libur, katanya. Ada ya orang kerja liburnya hari senin? Gak ngerti sebenarnya, tapi yasudahlah.
"Mas Fhi belum wudhu langsung tidur?"
"Kenapa memangnya?"
"Wudhu dulu sana, biar tidurnya dijaga malaikat, kalau adzan subuh jadinya dengar."
Mas Fhi akhirnya duduk, memutar kepalanya ke kanan, menatapku yang sedang kesal dengan raut yang aku tidak tahu mendefinisikannya. "Maafin mas," katanya dan langsung beranjak kekamar mandi.
Aku tahu maafnya untuk apa. Untuk wudhunya juga untuk subuhnya yang tak pernah bangun diawal waktu. Aku sedikit menyayangkan menikah dengan laki-laki bukan lulusan pesantren. Tapi lulusan pesantren sekalipun kalau tidak belajar sama saja. Namun perihal belajar agama bukankah tetap bisa dipelajari meski tidak didalam pesantren?
"Biasanya kalau udah ngantuk dan cape, males banget baca AL-Mulk, jadi disiasati, baca Al-Mulknya bakda solat isya. Jadi pas mau tidur gak baca Al-Mulk lagi, tinggal baca yang lainnya, yang bisa dibaca sambil tiduran. Sebenarnya bisa sih dibaca sambil tiduran kalau hafal, tapi kan kepanjangan, bisa jadi udah merem duluan sebelum tuntas."
Tawa ilyas kembali terngiang. Sudah kubilang kami jarang sekali berinteraksi, meski dua tahun kenal, kami lebih sering berada di pesantren, jarang saling menitip surat. Hanya saat pulangan kami baru bisa berinteraksi, itu pun yang dibahas tidak jauh-jauh dari diskusi agama, berbagi pengalaman di pesantren, atau sekedar saling adu argument. Jadi, mungkin karena tak banyak interaksi, tawa dan kalimat-kalimatnya membekas sampai saat ini.
Argh. Lagi-lagi aku harus membandingkan Ilyas dengannya. Dadaku rasanya terhimpit. Karena apa? Karena Ilyas? Atau karena aku belum menerima takdir Tuhan?
Mas Fhi datang dengan wajah lelah dan basahnya, membaringkan tubuh di kasur bagian kiri, membuat aku yang ikut bergerak mengikuti gerak kasur. Kami selalu tidur se kasur, tapi seolah orang asing yang punya batasan. Mas Fhi sepertinya tahu diri, dia bahkan tak berani menyentuhku. Jadi adegan pagi tadi yang mencium tangannya adalah setuhan kedua setelah akad. Sentuhan yang lainnya hanya sebatas aku yang membangunkannya kala subuh, kulitku bertemu lapisan kain yang dia kenakan.
Apakah aku berdosa karena belum memberikan haknya?
***
Pagi sekali, teriakan burung masih mendominasi bumi, Mas Fhi mengantar ibu kepasar dengan pakaian solatnya yang masih menempel. Aku sempat diajaknya, tapi menolak dengan alasan hari ini mau keluar saat ibu memaksa agar aku tidak bosan.
Ibu akhirnya mengerti. Bukan itu alasan sebenarnya, cucian sudah menumpuk. Baju Mas Fhi hanya beberapa, dan tentu bajuku yang lebih banyak. Seminggu bersamanya, dia sering mencuci bajunya sendiri. Maka hari ini aku ingin mencuci bajunya, aku istrinya yang harusnya meringankan bebannya, meski pada dasarnya ada yang berat dan enggan. Aku harus paksa, ini sudah kewajibanku sebagai istri. Gak boleh nangis-nangis lagi, aku kuat, aku bisa, dan tentunya aku harus bahagia.
***
"Mas Fhi kenapa nggak dijodohin sama sepupunya?"
Kami sedang menuju perjalanan pulang, es krim vanilla bertengger di tanganku, Mas Fhi mengemudi mobilnya begitu santai.
"Mau kemana lagi, Key? Ke Galaksi?" tawarnya dengan pandangan masih terfokus pada jalan.
Aku kesal dia mengabaikan pertanyaanku. "jawab dulu pertanyaanku."
"Itu pertanyaan yang tidak perlu."
"Kenapa?"
"Yang kamu maksud Ala?" aku mengangkat bahu sebagai jawaban tidak tahu. Karena aku memang tidak tahu. Kemarin terlalu sibuk sama perasaan diri sendiri tanpa ingin tahu siapa namanya.
"Dia masih kecil, Key."
Oh untuk ukuran gadis yang bisa masak, bisa bikin kue, bantu ibu, dia bilang masih kecil. "Sama donk, Key masih kecil."
"Iyya, sikapanya." Ha? Maksudnya? Sikapku kayak anak kecil?
"Sama aja, 'kan."
"Beda, Key." Mas Fhi menekan kata beda sambil memutar kepalanya, menatapku yang juga menatapnya kesal.
"Bedanya?"
"Umurnya."
"Umur berapa emang?" suaraku mulai lirih.
"Masih SMP kelas 2." Aku mencoba menghitung selisih umurku.
"Beda enam tahun doank."
"Sama?"
"Aku."
"Jauh, Key kalau disbanding sama mas."
"Sama Key juga jauh." Gerutuku dan mengalihkan pandanganku. Aku tak lagi menatapnya, bahu jalan lebih menarik untuk diperhatikan.
"11 tahun masih mending."
"Maksudnya?" aku memutar kepala lagi untuk melihat ekspresi wajahnya yang bersuara datar dan santai. Seolah 11 tahun bukan jarak yang jauh.
"11 tambah 6 berapa?" ish dia malah ngajak hitung-hitungan. Memangnya ini pelajaran matematika SD?
Tapi tetap saja aku menjawabnya. "Tujuh Belas."
"Mending mana jarak 11 sama 17?"
"Sebelas."
"Nah itu."
"Eh mending 17 deh kalau gitu."
"Pedofil donk, Key?"
"Emang nikah sama yang jaraknya 11 tahun bukan pedofil?"
"Emang Key masih SMP? Beda 11 tahun itu msaih dikatakan jarak usia pernikahan idaman, Key."
Idaman dari mananya coba?
***
"Pantes ya, Key kalo kamu susah move on." Tiba-tiba Hanna menelfonku siang-siang hanya untuk laporan soal Ilyas.
"Kenapa memangnya?"
"Ilyasnya kayak actor korea begono." Tak heran dari mana Hanna tahu, semua tentang Ilyas kuceritakan padanya, termasuk akun-akun sosial medianya.
"Ya bukan karena itu juga kali Han, keduanya berbeda."
"Okeoke, selain umur, tampang, apa yang membuat berbeda?"
"Embuhh lah ..." Rihanna terdengar ngikik diseberang. Mungkin dia paham kenapa jawabanku hanya 'embuhh lah'. Bagaimana aku bisa bercerita tentang perbedaan keduanya sedang aku adalah pakaian dari salah satunya, jika bercerita akan membuka aibnya maka aku pula yang berdosa.
"Aku terlalu dalem ya pertanyaannya," nadanya mulai serius. "maaf ... Tapi, Key, bagaimana kamu akan menerima suamimu kalau sampai detik ini kamu masih membandingkan. Aku yakin kamu juga sudah membandingkan umur antara suamimu sama Ilyas, kan?"
Hanna benar, tebakannya tidak melenceng. Kali ini aku hanya bungkam. Hanna suka bercanda, tapi tak jarang jika sudah berkata serius panahnya tepat sasaran.
"Key ... kamu nggak akan bisa mengikhlaskan kalo belum bisa melepass bayang-bayang Ilyas, kamu nggak akan bisa menerima mas Yasfhi kalau belum meikhlaskan Ilyas. Jadi, ikhlaskan, oke?"
"Kamu kira ikhlas itu gampang?"
" I know, that's so difficult. But, how can jika kita tak pernah mencobanya?"
"Memang kamu sendiri udah mencoba ikhlas?"
"What? Hahaha .... Aku mana perlu ikhlasin, harusnya aku tuh perjuangin." Tawanya kembali menggelegar memenuhi spiker handphon.
Hanna benar, aku tak boleh membandingkan, keduanya memang berbeda, tapi bukankah aku harus menerima apa-apa yang telah Allah tetapkan menjadi milikku? Perihal mengikhlaskan bukankah malaikat saja tidak tahu bagaimana ciri ikhlas sebenaarnya? Hingga Tuhan beri pahala tertinggi untuk ikhlas yang sebegitu susahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top