Bab 6
"Kenapa Mas Fhi bikinin ini tiap hari sih?"
"Karena kesukaan mas."
Apa hubungannya kesukaan dia sama bikinin aku juga? Aku malas memperpanjang pertanyaan, mending habiskan coklat hangat ini segera dan tidur. Harusnya aku bersyukur dibuatkan segelas coklat hangat setiap malam, pun harusnya ini adalah tugasku sebagai bentuk penyambutannya ketika pulang kerja, tapi malah dia yang bikin dengan keadaan sudah lelah. Yasudahlah ... dia juga gak minta.
"Kenapa belum tidur?"
Mas Fhi melirik jam dinding dan aku mengikuti. Jarum kecil menunjukkan angka sepuluh, jarum panjangnya aku tak perduli menunjukkan angka berapa karena selanjutnya aku sibuk memikirkan jawaban apa yang akan kuberikan.
Sepertinya aku terlalu lama berpikir sampai Mas Fhi mangingatkan. Ish, kesal sebenarnya. Aku mau jawab apa? Aku menunggunya? Kepedean dianya. Adduh. Mau bilang perintah mamah kalau suami kerja jangan tidur duluan? Bisa sih, tapi ...
"Jangan nunggu mas pulang, mas kadang larut banget pulangnya." Kalimatnya di tekan pada kata 'larut'.
Sebenarnya aku tak perduli dia mau pulang jam berapapun, aku bisa saja tidur lebih dulu. Tapi semenjak pulangan pondok dan diputuskan aku akan menikah, mamah selalu ngasih wejangan adab-adab pernikahan. Padahal aku sudah hatam Uqudullujain di pondok Madura.
Tapi begitulah seorang mamah, tak pernah bosan mengulang-ngulang kalimatnya.
Sayyidah Aisyah itu nggak berniat romantis dengan tertidur di depan pintu hingga abadi di ceritakan sampai saat ini. Tapi yang Sayyidah Aisyah niatkan, beliau hanya ingin berbakti kepada Rasulullah dengan menungguinya pulang di depan pintu hingga tertidur. Beliau juga tidak tahu kisahnya akan terkenang sebagai kisah romantis karena Rasulullah juga tertidur di balik pintu yang sama karena takut mengganggunya.
***
Pagi, siang, sore. Itu-itu saja yang aku lakuin, rasanya hidupku nggak ada artinya, nggak ada buku pula yang bisa aku baca. Ingin rasanya minta pulang ke rumah atau sekedar ambilkan buku di rumah. Atau bisa saja aku meminta untuk melanjutkan kuliah?
Tapi Mas Fhi nggak pernah nyinggung soal kuliahku, bahkan kali ini dia abai tentang apa-apa yang menyangkut diriku, nggak banyak nanya seperti sebelum akad, hanya segelas coklat hangat sebagai perwakilan untuk menyampaikan kata.
Kalau aku gini terus mau jadi apa di masa depan? Gimana aku hidup kalau gini-gini terus? Bagaimana aku akan meraih bahagia yang Teh Ilana bilang?
"Teteh sama, nikahnya sama bang Iwan bukan karena cinta, sama kayak kamu kami belum pernah saling kenal. Tapi tetep teteh jalanin, dan pada akhirnya bahagia itu datang. Teteh merasa beruntung mamah milihin bang Iwan.
"Ibu mana yang nggak mau anaknya bahagia? Termasuk mamah milihin Yasfhi biar kamu bahagia. Tapi satu Key yang harus kamu pegang kuat. Menerima."
Argh. Sebenarnya tujuan hidup aku itu apa? Apa sih yang aku cari? Bahagia? Bukankah semua yang aku lakukan hanya untuk mengharap Ridhonya? Lantas bagaimana dengan bahagia? Apa bahagia itu benar ada?
[Han, menurutmu bahagia itu apa?]
[Bahagia itu kalau kita menerima apa-apa yang terjadi pada kita, mensyukuri apa yang kita punya.]
[Kenapa?]
Jawaban yang sama seperti Teh Ilana. Pasalnya, apakah aku sudah menerima? Menerima keadaan? Bukankah ini pilihanku?
[Gak papa.]
Apa benar bahagia hanya soal menerima? Bukankah bahagia juga bersanding dengan Ridho Ilahi? Apa semua penjudi itu merasakan bahagia ketika melanggar aturan Tuhannya? Mungkin bahagia tapi sementara.
Menerima? Bagaimana cara aku menerima?
[Gak papanya cewek pasti ada apa-apa]
[Sotoy]
[Pengen sih soto, tapi males keluar rumah. Panas.]
[Ish ... up to you lahh...]
[Bahagia itu nggak tersedia dengan sendirinya, Key. Harus di cipta.]
[Kamu percaya bahagia itu ada?]
[Percaya. Karena aku tahu rasanya bahagia, sekarang pun lagi bahagia. Hahaha.]
[Bahagia kenapa? Doi ngabarin?]
[Yee ... nggak lah. Doi gak ada kabar. Kek hantu dia, tiba-tiba datang dan pergi.]
Bisa dibilang sedikit terhiburlah. Aku tahu bagaimana doinya, aku tahu bagaimana prinsipnya. Hanna jauh lebih baik dari aku, cara dia bertahan agar perasaannya tidak goyah. Hanna mengagumi teman lamanya yang kuliah di Cairo. Mereka gak pernah ketemu sekalipun tetangga, ngasih kabar saja tiap tahun, itu pun karena doi yang ngabarin. Ngabarinnya hanya sebatas teman, tidak ada yang saling mengungkapkan perasaan. Padahal aku tahu, doi juga punya rasa pada si Hanna. Laki-laki itu tidak bisa berbohong dari tatapannya.
Kenapa aku bisa tahu? Di pesantren dulu ada bahtsu masail yang kerja sama dengan osis putra, kebetulan doi jadi notulen. Acara kedua doi malah jadi pemateri. Kalo dilihat kisah mereka manis.
[Eh, tapi, Key bahagia itu bukan ukuran. Kayak penerimaan pramugari tingginya harus segini, harus begitu. Bahagia itu gak gitu, tergantung kitanya yang jalanin, gak ada persyaratan spesifiknya. ]
[Aku ngajarin anak desa sudah bahagia, berbagi ilmu, lihat mereka seneng belajar ikut seneng. Dan ingat, bahagia bukan ukuran kayak bahagia itu kalo sudah jadi Pak Mentri atau punya duit banyak. Kalau Pak Mentri dan orang-berduit adalah ukuran bahagia kenapa banyak yang mendekam di penjara? Kabar korupsi dimana-mana, bahkan banyak orang berduit terbaring di rumah sakit. Miris 'kan. Bahkan kita sering menemukan orang sederhana hidupnya tentram, bisa bercanda dengan kawan, anak dan saudara.]
[Tapi, apakah bahagia itu hanya tentang tertawa? Bahagia itu dari sini, Key, dari hati. Aku aja tertawa kadang bukan karena bahagia, tapi karena memang harus ada yang ditutupi dengan tawa.]
Hanna memang sebijak itu, banyak yang bilang akan beruntung orang yang menjadi suaminya. Dia perempuan perasa yang tidak pernah lupa sama logikanya.
Perempuan ceria yang menyimpan luka, dan selalu bahagia dengan keadaannya. Bagiku dia perempuan sempurna. Aku terkadang iri padanya yang selalu bisa bersikap biasa, padahal hatinya porak-pranda. Aku ingin sepertinya yang selalu menganggap sememuanya adalah hal positif.
[Intinya bahagia itu ada, Key. Tapi perlu usaha juga. Satu pesanku, jangan lupa bahagia, siapapun berhak bahagia, termasuk kamu yang terluka. Pokoknya harus bahagia biar hidup lebih berwarna.(emot ketawa jejer tiga)]
Aku harus bahagia? Dengan menerima? Menerima mas Fhi yang adalah suamiku? Imamku? Orang yang akan menemani disisa hidupku? Dan terutama dia adalah Ridho Tuhanku?
Caranya aku harus memaksakan diri?
Ehem...
Dikit ya ini cuma 930 kata. Meski begitu semoga tetap suka ya ...
Semoga bermanfaat juga.
Oh iyya, ada yang kepo sama kisah Rihanna nggak? Hanna/ Rihanna Shabira. Sahabat Keylha yang bijak. Kalau iyya, follow ya biar tahu kapan kisah Rihanna rilis. Nanti kisahnya berjudul "Cinta Gadis Biasa"
Tungguin aja😊😊😊
05 oktober 2020
Publish: 06 oktober 2020
Ig: melodybisu/asiawatilinda
KBM: melodybisu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top