Bab 5
"Key gak tahu mau ngapain disini kalo nggak ada Mas Fhi. Mas tega main tinggal-tinggal. Key kan belum kenal siapa-siapa."
"Loh, kan ada Ibu, Key."
Dan ... percakapan semalam tak mampu merubah apapun. Hari ini Mas Fhi tetap kerja. Pekerjaan apa sih yang nggak bisa dia tinggal sehari atau dua hari saja. Dimana-mana yang namanya manten baru ya cuti, libur kerja, bulan madu kek.
Ish. Mas Fhi ya, gimana mau suka, gimana mau cinta, gimana mau nerima, dianya begitu. Kertas kecil itu kayak nggak berarti, seperti angin lalu. Padahal aku menulisnya dengan sungguh-sungguh, tapi dia menganggapnya tak utuh. Nggak ada usaha kek bikin aku jatuh cinta.
"Key," panggil Ibu, membuatku yang sedang berdiri diambang pintu melepas kepergian Mas Fhi tersentak.
"Iyya, Bu?"
"Ibu sakit perut. Tolong jagain air ya, takut mendidih."
Aku senang kala ibu meminta daripada diam dan membiarkan menantunya ini yang mengajukan diri.
"Buat apa masak airnya, Bu?"
"Masukin sayurnya kalo udah mendidih."
Aku menuruti apa yang di perintah Ibu. Sampai ibu keluar, aku masih menungguinya. Ibu tergelak kala aku menunggui sayurnya.
"Nggak usah ditungguin, Key. Dikira-aja kalo udah mateng diangkat."
Akhirnya ibu yang meniriskan sayurnya dengan segera dan mulai mengerjakan yang lainnya. Ibu menawariku untuk menghaluskan kacang sebagai sambal menu sarapan pagi ini. Ibu pula yang nemerintah untuk aku menambahkan ini dan itu, sedang ibu mulai menggoreng tahu dan tempe.
Untuk kedua kalinya makan berdua bersama ibu di meja makan persegi dengan cukup satu kursi setiap sisi . Jika dirumah aku akan makan bersama mamah di meja persegi panjang yang muat untuk menampung anak-anak mamah dan menantunya.
Kalau ingat mamah, Ilyas juga memanggilnya mamah.
"Boleh kan aku panggil mamah ke mamahmu?"
"Ke-kenapa?"
"Pengen aja biar kayak kamu dan Rayyan, punya mamah, disayang, di perhatiin."
"Lah, emangnya ibu kamu--."
"Aku nggak punya mamah, Key, nggak punya ibu, umi dan sejenisnya. Punya sih, tapi udah pergi."
Kala itu perkenalan kami hanya sebatas teman. Aku nggak akan tahu kalau Ilyas seorang Gus kalau bukan Rayyan yang cerita.
Penglihatanku mulai kabur, terhadang beberapa genangan dan aku sadar nasi di lidah tak lagi punya rasa. Padahal sunnah Rasul sampai 21 kali kunyahan, dan aku sepertinya melampaui 21.
Aku benci Ilyas yang tiba-tiba pergi, tapi aku juga tak bisa menapik rasa ini lebih besar. Apakah perasaan memang sering membutakan? Aku tak pernah melihat kekurangan Ilyas sedikit pun, termasuk kepergiannya yang menyakitkan. Aku masih menggapnya tak bersalah, padahal hatiku sudah patah, kecewanya tak berarah.
"Key? Kenapa? Kamu terpaksa ya nikah sama Akbar? Mamah kamu maksa?" Ibu memang biasa manggil Mas Fhi, Akbar.
Aku menggeleng sebagai jawaban. Entah mengapa bibirku sepertinya susah di tarik. Ditambah lagi air yang mulai menetes. Dan itu pula yang mungkin membuat ibu berasumsi seperti itu.
"Masakannya terlalu sederhana ya? Bilang kalau kamu mau daging atau ayam." Lagi-lagi aku hanya menggeleng.
Bayangan mamah berkelebat di kepala.
"Jangan bikin kecewa mertua kamu ya, dia surga suami kamu, dia yang telah milih kamu. Jangan sampai kamu buat Ibu Riskina menyesal atas pilihannya."
Aku hendak menghapus tetesan yang jatuh tapi aku malah semakin tergugu, nafasku semakin tersengal, suaraku tercekat. Ibu yang telah selesai dengan sarapannya menghampiriku, berdiri disampingku lalu merangkulku, membiarkan aku menangis di dadanya.
Aku malu sekaligus benci. Aku sudah berjanji tak akan menangis, tapi apa? Aku bahkan menangis di depan mertuaku. Aku juga benci air mata ini. Dia tak pernah mau diajak kompromi.
Setelah reda ibu memintaku menyelesaikan makanku yang hanya terambil dua suapan. Aku mengambil sayur lagi dan baru sadar, sayurnya lepek, terlalu masak. Dasar aku. Menantu macam apa masak sayur saja kelewatan. Aku coba bertahan, membiarkan sayur itu menyatu dengan sambal kacang.
Ah, Asin. Kenapa baru terasa pada suapan ke tiga? Aku kembali merutuki diri. Ibu salah milih menantu. Ish, kenapa aku tak bisa apa-apa?
"Ibu sambalnya asin." Ibu hanya tersenyum menatapku dari kursi samping.
"Gak papa. Ibu suka asin kok. Tapi, Key yang nggak suka asin ya?"
Aku mengangguk lemas. Terlalu banyak makan garam bisa mengakibatkan bertambah tingginya natrium dalam darah, bisa menyebabkan volume darah meningkat dan tekanan darah menjadi naik. Hal itu bisa menyebabkan hipertensi, stroke, bahkan gagal jantung sekalipun.
Aku hanya paham teori, tapi tak paham bagaimana memperaktekannya. Harusnya jika aku tahu teorinya, bisa mengira memasang garam dalam makanan. Ini belum masak saja aku telah fatal. Eh? Emang teoriku benar? Kuliah saja jurusan IPS. Tapi seingetku yang pernah belajar begitu, karena jurusan sekolah menengahku IPA. Nyasar ya. Heuft.
"Jangan sungkan nanti belajar masak sama ibu mertuamu. Meski ada ibu yang masak, kamu juga harus bisa masak. Sewaktu-waktu bisa saja Ibu Ris tidak ada di rumah dan kamu sendiri, atau berdua sama Yasfhi. Kalo gak bisa masak kan bingung makannya, Key.
"Beli bisa, tapi kamu nggak bisa jamin kan kebersihannya, bagaimana si penjual mencuci sayur dan berasnya."
***
Siang-siang Ibu berkutat di depan mesin jahit yang letaknya bersebelahan dengan meja makan. Aku tidak tahu kalau ibu bisa menjahit, aku juga baru memperhatikan ada mesin jahit disitu. Aku tidak tahu apa yang ibu jahit, tapi dari motif kainnya seperti sarung bantal.
Aku terlalu memikirkan diri sendiri sampai abai pada sekitar, sampai lupa kala usai pemotretan aku tak pernah mengembangkan senyum.
Aku terlalu larut dalam kesedihanku sendiri dan nggak mau menyadari nikmat Tuhan yang tak pernah berhenti, kirimkan aku diantara orang-orang baik yang mau menerimaku, yang hanya bisa masak sayur kematangan dan bikin sambal keasinan. Aku tidak tahu ibu jujur atau berbohong tentang beliau yang suka asin. Yang aku tahu ibu hanya tak ingin membuat menantunya sedih karena salah masak.
"Key, bantu mamah masak. Itu sayur sop gak ada yang motongin."
"Key selesaikan bacaan dulu mah."
___
"Mana mah yang mau dipotongin?"
"Udah keduluan Daniyah."
Dan aku dengan santainya balik kamar, melanjutkan bab berikutnya. Daniyah adalah Iya. Abidah Daniyah, adik bungsuku, anak ke lima mamah. Iya lebih suka masak, berbeda denganku yang lebih suka baca.
Aku dan Iya sering menjadi perbandingan Teh Ilana atau pun Teh Ayna. 'Baca buku itu bagus, tapi bisa masak lebih bagus, buat bekal kalo udah nikah'. Dan aku baru membenarkan perkataan Teh Ilana hari ini setelaha aku resmi menjadi istri, tentu saja setelah hasil masakanku hancur.
Aku yang salah kala di beri tahu selalu menyanggah, 'Key kan belum mau nikah'. Atau sekedar abai saja fokus pada bacaan dan kisah-kisah inspiratif.
"Key."
Sabtu, 3 oktober 2020
Publish: 5 oktober 2020
Ig: melodybisu/Adnil_
KBM: Melodybisu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top