Bab 4
Subuh pertama dirumah Ibu. Untuk pertama kalinya yang kulihat saat membuka mata adalah sosok pria yang telah mengemban seluruh tanggung jawab atasku. Malam ini aku melewatkan ritualku, kepala pening dan hidung tersumbat membuatku enggan bangun.
Apa yang harus kulakukan? Membiarkannya terlelap dan aku keluar kamar sendiri atau membangunkannya dan canggung akan menyelimuti kami berdua seperti yang sudah-sudah.
Dan pada akhirnya aku memilih solat sendiri, padahal jika aku sedikit saja menurunkan ego dan mau membangunkan Mas Fhi mengajaknya berjemaah, 27 kali lipat pahala yang Tuhan janjikan. Hingga solatku usai, Mas Fhi belum juga bangun. Apakah dia kecapekan? Jika iyya, aku pun sama lelahnya. Mau nggak mau aku harus membangunkannya, jika telat subuhan, maka akulah yang berdosa sebagai orang terdekat dan tahu Mas Fhi belum solat saat ini.
Arghh. Harusnya dia yang bangun dan aku yang akan dibanguninya, diajaknya solat berjemaah atau sekedar pamit ke masjid dengan pakaian rapi.
Kenapa ekspektasiku jauh sekali, jauh dari angan masa depan yang sempurna, dekat dengan Tuhan, dibimbing untuk lebih dekat lagi. Seperti ...
Seperti apa? Seperti Ilyas yang selalu memecah argument-argumennya dengan ayat dan hadits? Atau sekedar memberiku wejangan yang sesuai dengan tuntunan kitab Allah?
Lagi-lagi apakah aku harus menganggap Tuhan tidak adil hanya karena ekspektasi tak jadi realita? Bukankah hidup tidak ada yang sempurna seperti hidupku yang tanpa kasih sayang Babah dan hidup Ilyas tanpa kasih sayang uminya, lalu kita bersatu untuk saling melengkapi hingga sempurna.
Sayangnya Tuhan takdirkan Mas Fhi untuk menyempurnakan hidupku, bukan Ilyas. Kenapa ilyas, Ilyas, dan Ilyas, sih. Bukankah dia tidak berhak mengisi hati dan hari-hariku meski dalam ingatan saja setelah apa yang telah dia lakukan, meninggalkan tanpa alasan. Pergi dengan alasan diminta pindah pondok apakah tidak bisa hanya menitipkan salam.
Aku benci Ilyas, aku benci Mas Fhi. Apakah aku harus membenci diriku sendiri karena telah menjatuhkan hati pada laki-laki yang belum halal? Ah, ya. Harusnya aku yang salah telah menjatuhkan hati pada yang tak pasti. Lantas apa yang harus kulakukan? Oh Tuhan, Key bingung.
***
"Ciee... yang biasanya nyapu sendiri sudah ada yang menemani."
Sontak aku menoleh pada sumber suara yang terdengar beberapa meter jauhnya. Ternyata perempuan yang ku perkirakan berusia duapuluh keatas sedang menggendong bayi dan tersenyum kearah kami, menggoda Mas Fhi. Tapi yang sedang diajak bicara hanya tersenyum sekilas lalu seakan tidak perduli dan kembali menyapu.
"Di kacangin kan aku. Yoweslah ra' popo, seng penting aku punya tetangga bharu."
Perempuan itu berlalu setelah menatapku, menyapa dengan senyum yang kubalas pula dengan senyum dan sedikit mengangguk. Bukan gadis itu yang kali ini membuatku terdiam dan menjadi fokusku, tapi kalimatnya 'cie..yang biasa nyapu sendiri' berarti setiap hari Mas Fhi yang nyapu?
Sedetik kemudian ibu datang memanggil Mas Fhi, meminta tolong sesuatu. "sudah ada Keylha, kamu fokus kerja udah siang, toh Keylha nggak kemana-mana. Kecuali diajak ketempat kerja."
Usai menyapu aku kembali ke kamar dengan Mas Fhi yang siap berangkat kerja hari ini juga. Saat kutanya kenapa tidak meminta cuti, jawabnya nggak bisa percaya begitu saja sama karyawannya, dia harus benar-benar turun tangan sendiri.
Akhirnya aku sendiri di kamar, keluar pun rasanya malu, aku bukan orang yang mudah bersosialisasi jika tidak diajak memulai. Ibu sedang berada di dapur. Aku tahu ibu sedang memasak, tapi untuk bergabung pun enggan, ibu tidak meminta.
Sebenarnya aku kesal sama Mas Fhi, bayangin hari pertama di rumah mertua bukannya istri diajarin gini lalu bengini malah ditinggalin. Sungguh aku tak tahu apa yang bisa kulakukan tanpa Mas Fhi, karena dia satu-satunya orang yang setidaknya sudah bisa kuajak bicara. Ibu? Kami benar-benar belum akrab, tidak banyak percakapan diantara kami. Hanya sesekali yang balasanku cukup iyya atau tidak.
Beberapa menit berlalu, ibu memanggilku untuk makan, namun aku bilang masih kenyang. Aku tahu berbohong tidak baik, tapi sungguh meski perut telah meronta untuk diisi, aku tak enak hati. Aku seolah ratu yang siap makan tanpa bekerja.
"Key, ayo yang mau makan."
Kembali Ibu memanggil ke kamar, tapi aku benar tak enak hati untuk ikut makan tanpa membantu ibu memasak.
"Key, hayoloh, Ibu masak banyak siapa yang mau makan? Yasfhi pulangnya nanti sore kalo lebih cepat."
Akhirnya dengan bujukan ibu aku tetap makan. Masakan ibu sederhana, berkedel jagung, ikan asin krispy dan sambal terasi. Suapan pertama usai, aku menelan ludah yang mulai tersekat di tengah jalan. Bukan, bukan karena masakan ibu tidak enak, justru ini terlalu sedap hingga mengingat diriku yang belum tahu memasak.
Dirumah, sesekali aku hanya membantu mamah memotong beberapa sayur yang perlu di potong, mengupas bawang, mengupas rempah-rempah yang lain dan itu pun aku belum tahu apa namanya. Aku lebih sering berkecipung pada tumpukan novel yang selalu baru dan belum terbaca. Seseorang sering mengirimkannya, bahkan tak luput terbitan terbaru dari penulis favoritku.
"Ditambah, Key, yang banyak makannya." Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, mataku telah panas dirasa, aku takut genangannya jatuh dan terlihat oleh Ibu. Ah, aku benar-benar cengeng. Air mata ini untuk apa? Untuk aku yang belum bisa memasak atau untuk seseorang yang selalu mengirimiku novel baru?
Sampai siang, aku masih saja di kamar, tidak tahu apa yang dilakukan ibu, pun tidak tahu apa yang harus kulakukan. Bosan mulai datang, kekesalan pada mas Fhi semakin usang.
Harusnya Mas Fhi disini menemaniku, meski aku tidak menyukainya, tidak mencintainya, setidaknya dengan dia selalu ada mungkin aku bisa perlahan menghempas rasa muak dan kesal padanya.
Arghh. Aku semakin kesal kala aku membuang waktuku hanya berdiam diri di kamar tanpa pergerakan apapun, membaca buku pun tak ada, disini tak ada buku sama sekali yang bisa kutelan bacaannya, hanya sekedar mebalas pesan-pesan ucapan selamat dari teman jauh yang tak sempat ku undang.
Aku kembali membandingkan sosok Mas Fhi dengan Ilyas lagi. Ilyas suka baca, bahkan lemari bukunya penuh. Sedang Mas Fhi, kamarnya hanya teronggok tempat tidur, tidak ada dipan, atau sekedar meja belajar. Aku bukannya pernah ke rumah Ilyas, tapi Ilyas yang menunjukkan lewat foto yang dikiriminya.
Ah kesal. Kenapa aku harus berjodoh sama Mas Yasfhi? Kenapa, kenapa, dan kenapa yang lainnya? Mah, Key Rindu. Bah, inikah yang harus Key jalani tanpa Babah?
Aku benci air mata ini, dia selalu keluar tanpa aku minta. Padahal aku sendiri yang berjanji untuk tak menangis lagi. Tapi apa? Aku mengingkarinya, lagi dan lagi. Lalu seseorang terdengar membuka pintu. Aku terlalu sibuk membeci sampai tak sadar seseorang yang membuatku kesal telah datang, bahkan suara motornya tak terdengar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top