Bab 34
Part spesial nihh..
Panjaaang banget.
Jadi siapkan cemilan dan bantal buat membaca lebih lama dari biasanya ya.
Tapi maafkan jika isinya percakapan semua karena Ini udah part terakhir ya sebelum epilog.
Banyak sebenarnya yg kurang lengkap, tapi aku bingung mau nyusunnya dalam satu bab ini gimana.
Mau nambah part udah deadline yaa...
Mau fokus sama reallife juga hehe...
Yaudah deh gak mau kebanyakan curhat.
Selamat membaca. ....
.
.
.
.
.
.
.
"Mas Fhi."
"Hmm.."
"Mas Fhi kenapa sabar banget ngadepin Keylha?"
Tangannya terhenti mengotak-atik laptop putih lumayan lusuh, kepalanya mendongak menatapku yang duduk menyender kepala ranjang.
"Sabar gimana maksudnya? Mas ya gini-gini aja." Netranya kembali fokus pada laptop yang di bongkarnya.
"Ya sabar ngadepin Keylha yang manja, kek anak kecil, gak mau disalahin. Banyak pokoknya."
"Udah resikonya nikah sama anak bayik." Mas Fhi tergelak dan itu bikin aku kesal.
Kulemparkan bantal meski tak tepat sasaran dan membuat Mas Fhi menatapku penuh sayang, padahal aku melemparinya penuh kesal.
Beranjak dia membereskan laptopnya kemudian mengambil posisi duduk tepat di ujung kakiku. Hendak kulipatkan kaki tapi ditahannya dan memijatnya pelan. Aku bergeming sesaat yang kemudian meminta untuk berhenti memijat.
"Gak papa, tapi kok kaki kamu makin berisi ya?"
"Ih, Keylha kan suka makan, Mas." Sengaja kumanyunkan bibir meski tak dilihatnya.
"Enggak ini beda, kayak balon, kembung."
"Katanya Teh Anis wajar."
"Iyyakah?" tanyanya sambil menatapku intens.
"Ih, jawab dulu pertanyaan Keylha."
"Yang mana?" Tuh kan, Mas Fhi nyemeblin.
"Tauk ah."
"Yang ... kenapa Mas sabar?" Aku mengangguk dengan wajah cemberut. Sebenarnya nggak boleh menunjukkan muka masam kepada suami, yang harusnya ditunjukin senyum merona semenderita apapun keadaannya.
Tapi aku? Sering bahkan selalu cemberut kala dibuatnya kesal tapi sayang. Dan Mas Fhi selalu sabar. Aku seberuntung itu.
"Ya emang keadaannya begitu, Key."
Pasalnya jika dia sabar karena iba pasti ada batasnya, atau dia sabar karena sudah terlanjur menikahi gadis kecil sepertiku pasti juga ada jeda dan keluhannya. Aku tahu dia orangnya nemang sabaran, tapi rasanya sabarnya dia beda ke aku. Aku sering membuatnya marah dan jengkel tapi dia tak pernah mau marah, cukup pergi dan balik lagi.
"Tapi bukan karena Mas cinta 'kan?"
"Kalau iya kenapa?" Dan kelimatnya sontak membuatku merinding seketika, bahkan dia mengucapkannya tanpa jeda. Alih-alih menatapku, dia malah fokus memijit kakiku yang terasa di elus bukan di pijit.
Aku menggeleng kuat seolah itu nggak akan mungkin. "Kita bahkan ketemunya sekali sebelum akad, Mas."
"Kalau sekarang mungkin, tapi sabarnya mas tuh dari pertama nikah, kuat banget sama sikapnya Keylha, sabar banget. Mungkin kalau laki-laki lain udah gak tahan dan ceraikan Key."
"Hush, jangan ngomong gitu." Wajahnya terdongak mentapku intens.
Aku diam. Kukira dia akan menjelaskan kenapa bisa sesabar itu.
"Mas--"
"Kamu--"
Mulut kami terbuka bersamaan dan sama-sama menjeda. Aku diam lebih lama membiarkan ia melanjutkan kalimatnya.
Tapi yang Mas Fhi lakukan bukan melanjutkan, justru merebahkan punggungnya di tengah-tengah kasur dan meletakkan kepalanya tepat diatas pahaku. Jujur aku geli tapi ditahan.
"Kamu mungkin lupa, bahkan bisa jadi tidak ingat sama sekali kalau kita pernah bertemu."
Ha? Pernah bertemu? Kapan?
"Waktu kamu masih kecil," jawab Mas fhi langsung setelah mendongakkan wajahnya dan melihatku bingung.
"Di mana? Kapan?"
"Dulu Mas sama kayak kamu tinggalnya di Jakarta, tetanggaan juga. Bisa dibilang masih family jauh."
"Terus kenapa pindah?"
"Dan ini bagian paling menyakitkan. Mas paling nggak suka saat di tanya kenapa pindah."
"Maaf." Aku merasa bersalah.
"Tapi sekarang udah nggak. Mas udah baik-baik aja, Neng."
Jeda. Tatapan Mas Fhi lurus. Dari matanya aku menemukan banyak rahasia dan luka yang di pendamnya sendiri.
"Jadi?"
"Jadi apa?" tanyanya sambil menatap wajahku yang tepat berada di atasnya.
"Jadi mau lanjut ceritanya?"
"Kalau kamu mau."
"Mas Fhi." Mas Fhi menatapku lagi. "Ada bagian yang perlu kita bagi untuk meringankan beban."
Mas Fhi meraih tanganku lalu di dekapnya. "Kisah itu bukan lagi beban bagi mas." Tanganku bergerak dan sesuatu yang lembut nan hangat menempel lama. Mas Fhi menciumnya. "Makasih."
"Untuk?"
"Semuanya."
"Ihs, gak jelas mas nih. Lanjut aja ih ceritanya."
Tanganku kembali di dekapnya seolah takut kehilangan. Terasa hembusan napas yang lebih besar. Mas Fhi seolah menghirupnya dalam penuh penghayatan.
"Bapak nikah lagi, Neng."
"Ha?"
Kepalanya bergerak seolah membenarkan pendengaranku. "Waktu itu, Mas hendak masuk sekolah menengah pertama. Dan bapak nikah lagi. Mas masih kecil memang, tapi bukan berarti mas belum ngerti. Mas ngertiii banget."
Ada sesuatu yang memaksa untuk keluar. Dadaku rasanya sesak. Dia berbicara tanpa menatapku. Tapi aku tahu mata itu menunjukkan penuh luka.
"Tapi kamu tahu apa yang ibu lakuin?" tanyanya menatapku dan aku menggeleng. Pasalnya dia nanya sesuatu yang waktu dan tempatnya tak ada aku di dalamnya.
"Ibu minta maaf."
"Lah, emang ibu salah?"
"Mas juga gak paham waktu itu kenapa ibu minta maaf, padahal bapak yang salah. Mas benci bapak waktu itu.
"Tapi ibu terus minta maaf berkali-kali. Ibu bilang, 'maaf kalau selama menjadi istri belum baik, kurang memenuhi hak bapak, belum bisa bikin bapak seneng.
"Ibu waktu itu nangis-nangis sampek duduk. Bapak yang keras maksa ibu untuk bangun dan memeluknya. Bapak minta maaf balik. Intinya Mas gak paham waktu itu, karena Mas tahunya bapak yang salah."
"Tapi sekarang Mas udah paham?"
Kepala Mas Fhi bergerak ke kanan-kiri. "Sampai sekarang pun Mas belum paham apa yang sebenarnya terjadi."
"Mas gak pernah berusaha cari tahu?" Lagi-lagi hanya gelengan yang kuperoleh.
"Sebulan setelah itu bapak meninggal. Baru ibu pindah ke sini. Karena di Jakarta kita nggak punya siapa-siapa, saudara ibu di Jawa Timur semua."
Oh Allah ... aku ingin memeluknya, mendekapnya erat, menyalurkan kekuatan.
"Mas nggak pernah mau tanya soal itu ke ibu karena gak mau membuka lukanya yang berarti itu juga lukaku sendiri."
Kugenggam lebih erat tangan-tangan besar yang mendekap tanganku. "Mas Fhi tahu kenapa wanita ketika meminta maaf selalu berkali-kali?" Mas Fhi menggeleng kecil. "Karena maaf yang pertama untuk kesalahannya, dan maaf yang selanjutnya untuk permohonan agar tak meninggalkannya."
"Jadi kamu kalo minta maaf berkali-kali karena nggak mau mas tinggal?"
"Iyyalah, siapa juga yang mau ditinggal lalu jadi janda." Mas Fhi tergelak mendengar jawaban ketusku dan menatapku dari bawah penuh curiga.
"Bener karena takut jadi janda?"
"Ish apaan sih, Mas pertanyaannya."
"Bukan karena kamu udah cinta?"
Seketika kuputar kepala kearah manapun yang penting tidak menatapnya dan wajahku pun tak tampak jika di lihatnya.
Terasa pergerakan kepala Mas Fhi diatas paha yang berputar menghadap perut lalu menelusupkan wajahnya disana, tangannya pun tak tinggal diam mengusapnya penuh sayang.
Geli sebenarnya, tapi aku ter-enyuh.
"Dek, Ami kalau malu pipinya kayak tomat, merona, bikin Abu pengen gigit," katanya terdengar menggema di pendengaran dan sukses membuatku semakin panas dingin.
"Apaan sih, Mas. Bangun ih, Keylha juga mau tiduran."
"Mau denger lanjutan ceritanya nggak?"
"Yang mana?"
"Apa yang nggak kamu ketahui."
"Mas gak ngantuk?" Dia hanya menggerakkan kepalanya. "Yaudah Key sambil tiduran juga lah."
Mas Fhi segera beranjak. "Mas bikin coklat dulu."
Tak lama kemudian Mas Fhi datang dengan dua cangkir putih dan membawanya kehadapanku.
"Kok satunya putih?"
"Susu vanilanya punya kamu."
Mas Fhi menyebalkan. Padahal kukira tadi dia juga akan membuatkanku coklat. Aku rindu coklat buatannya. Selama hamil Mas Fhi hanya membuatkanku susu hamil. Dan aku bosan.
Kutatap dia penuh keki. "Kenapa?" Tanyanya seolah tak mengerti. Ya sudahlah, sampai kapanpun dia akan pura-pura tidak peka.
"Mau duduk di teras rumah nggak?"
Kulirik jam dinding yang menunjukan pukul sembilan lewat sembilan. Kutatap Mas Fhi dan memberinya isyarat dengan anggukan. Kemudian dia membawakan cangkir-cangkir putih yang dibawanya tadi. Aku mengikutinya dari belakang.
"Dingin Mas," keluhku setelah sampai di ambang pintu.
Mas Fhi menggusarkan rambutnya dan membawakan cangkir-cangkir itu lagi ke dalam.
"Yaudah di sini saja," katanya menyerah dan merebahkan punggungnya di kursi panjang ruang tamu.
Kisah di mulai saat aku kecil, dimana Mas Fhi dan aku bertemu.
Jakarta, 2 september
18 tahun yang lalu
Hari itu mendung. Yasfhi Kecil yang baru lulus Sekolah Dasar sedang mempersiapkan diri untuk masuk sekolah menengah pertama. Ia teramat bahagia karena tinggal menghitung minggu dia akan bertemu kawan-kawan baru, lingkungan baru, guru baru, dan tentunya seragam baru yang kemarin sudah selesai ibu jahit.
Pikiran Yasfhi terbang pada waktu yang akan datang. Ia tersenyum menatap langit depan rumahnya, lama. Tapi sedetik kemudian bapak datang dengan seorang perempuan yang kemudian perempuan itu berhenti di pembatas halaman rumahnya dan pinggiran jalan. Sedang bapak tetap melanjutkan langkahnya setelah menatap perempuan itu meminta dukungan.
Yasfhi yang kala itu tak mengerti apapun mengejar bapak, ingin mencium tangannya seperti biasa yang dilakukannya jika bapak pulang kerja.
Beberapa langkah lagi Yasfhi akan sampai, namun langkahnya terhenti tepat di ambang pintu dapur. Di sana tampak ibu yang berlumuran tepung di tangannya tercengang menatap bapak.
"Aku izin nikah lagi."
Yasfhi memang baru anak dini yang hendak memasuki masa puber, tapi bukan berarti Yasfhi kecil tidak mengerti dari kata "lagi". Ia mengerti, teramat mengerti, terlebih ketika ia melihat ibunya meluruhkan cairan bening dari sudut matanya.
"Maafin aku, Mas," ucap ibu dan luruh di lantai tepat di depan bapak.
Yasfhi kecil melihat semua kejadian itu yang kemudian menjadi luka terdalamnya. Yasfhi kira kejadian seperti ini hanya ada dalam sinetron yang menemaninya dan ibu kala malam.
Yasfhi kecil yang cukup mengerti dengan kejadian itu pergi membawa luka tak berdarah didalamnya.
Hilang sudah impian dan angan akan sekolah baru juga seragam baru yang sempat ia bayangkan. Bagaimana jika bapak pergi? Bukankah ibu akan berjuang sendiri untuk menyekolahkannya? Tapi bukan itu yang terpenting bagi Yasfhi. Yang terpenting baginya adalah, apakah dia tidak akan punya bapak? Bapak akan pergi bersama istru barunya? Lalu ibu?
Arghh...
Yasfhi ingin marah jika bisa karena bapak telah membuat ibu menangis. Tapi bagaiaman akan marah sedang bapak sudah mengajarinya untuk menahan marah.
Kaki kecilnya ia bawa melangkah entah kemana, tapi setidaknya kakinya tak lagi berpijak di sekitar rumahnya.
Beberapa langkah sudah ia lewati yang kemudian terhenti karena sosok gadis mungil sedang berjinjit hendak mengambil bunga sepatu di depan rumahnya. Tidak ada seorang pun yang menemaninya. Akhirnya Yasfhi menghampiri, berniat membantu gadis kecil nan menggemaskan.
Setelah sampai, gadis kecil itu tidak menyadari kehadiran Yasfhi, atau mungkin pura-pura abai dan lebih memilih fokus pada bunga yang ingin diambilnya.
Tanpa menunggu lama, Yasfhi segera memetik bunga dan di ulurkannya pada gadis mungil yang sedari tadi berjinjit. Dan apa responnya? Gadis kecik itu malah menangis tersedu. Yasfhi bingung, tentu saja dia ketakutan, tidak mengerti apa yang membuat gadis kecil nan menggemaskan itu menangis hingga membuat pipi tembemnya memerah.
"Adek kenapa?" Tanya Yasfhi dengan nada ketakutan sekaligus khawatir jika dirinya yang menyebabkan anak kecil itu menangis.
Tidak ada jawaban dari si kecil, dia hanya mengusap airmatanya dan berjinjit hendak mengambil bunga yang lain. Yasfhi lagi-lagi menyodorkan bunga yang dia petik tapi mendapat penolakan lagi. Akhirnya Yasfhi kembali memetik bunga yang tadi hendak anak kecil itu ambil. Kejadian yang terulang lagi, Yasfhi mendapat penolakan daei bunga yang diambilnya.
Yasfhi menyerah. Anak kecil itu menangis lagi dan semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba seorang perempuan mengangkat anak kecil itu ke dalam gendongannya sambil menatap Yasfhi ramah dengan senyum teduh sama seperti ibunya.
"Maaf, Tante."
"Gak papa, kamu gak salah. Dia ini namanya Keylha, apa-apa maunya diambil sendiri," ucap ibu itu tersenyum. "Adek namanya siapa?"
"Yasfhi," ucap Yasfhi kecil yang mulai tersenyum kecil. Ketakutan yang tadi menderanya luruh hanya karena senyum ibu yang diperkirakan se-usia ibunya.
Dari situ Yasfhi sering bermain dengan anak kecil bernama Keylha yang mapu menghilangkan rasa khawatir dan rasa sakitnya. Lalu sebulan kemudian bapak sakit dan kembali pada Sang Pemilik alam semesta.
Tidak ada yang tahu pasti perihal usia. Baru satu bulan yang lalu Yasfhi membenci bapaknya, mengbaikan kehadiran bapak yang baginya menjadi penyebab luka ibunya. Ibu memang tidak bilang bahwa ia terluka, tapi Yasfhi tahu tangis sesenggukan di setiap malam dalam solat-solatnya adalah bentuk penuturan sakitnya.
Qodarullah, kematian bapak bertepatan denga Yasfhi masuk SMP. Usai kematian bapak, ibu membawa Yasfhi pulang ke Jember, tempat kelahiran ibu. Di Jember pula Yasfhi melanjutkan pendidikan dengan perjuangan ibu. Yasfhi yang paham keadaan ibu, saat kuliah dia sudah tidak dibiayai ibu lagi, dia mencari beasiswa kesana-kemari, pun untuk uang angkot yang membawanya sampai di kampus dia mencari pekerjaan sampingan.
Sejak pindah ke Jember, Yasfhi tak lagi bertemu gadis kacil mungil dengan pipi tembem mata bulatnya. Siapa yang tahu takdir? Yasfhi di pertemukan lagi dengan gadis kecil yang sudah remaja.
***
"Jadi mas cinta aku pas masih balita?"
"Bukan cinta, Key, suka aja, lucu, kamu gemesh. Pas ibu tawarin bahwa perempuan itu adalah gadis kecil yang sering dulu mas ajak main ke rumah, mas iyain, gak ada niatan nolak."
"Cuma gitu? Dari mana cintanya? Keylha kan masih kecil."
"Hati mas udah bilang iya. Sejak bertemu pertama kali hati mas udah gak nolak meski kamu cuekin dan seolah kamu menolaknya. Mas gak tahu hati mas udah merasa yakin kamu bagian dari masa depan mas."
"Udah ish, jangan bahas-bahas yang lalu."
"Lah kan kamu yang mulai."
"Udah ah, Keylha ngantuk."
"Susunya habisin."
"Mas yang habisin," teriakku sambil berjalan menuju kamar.
Aku tidak tahu apa Mas Fhi benar-benar menghabiskan susu itu. Tapi dia tipe manusia yang suka kasihan sama makanan. Tempe sisa kemarin kadang tetep dimakan. Dia bilang 'mubadzir, toh nggak basi'. Pokoknya selagi masih bisa dimakan pasti dia makan kalau ada sisa-sisa.
Dimenit berikutnya Mas Fhi menyusul dari belakang. Kami sama-sama terbaring dan mencoba memejamkan mata. Bukan, buka kami, tepatnya hanya aku yang mencoba sedang Mas Fhi napasnya sudah teratur.
Ah, ini nggak adil, masa Mas Fhi ninggalin aku sendiri begini?
"Mas Fhi." Kucoba bangunkan dia sebelum terlampau jauh nyenyaknya.
"Mas Fhi udah tidur, ya?" Tanyaku sambil menggoyangkang tubuh lelahnya.
"Hmm." Jawabnya mengerang dan menutup matanya dengan lengan besarnya.
"Mas Fhi ih, Keylha gak bisa tidur," gerutuku sambil mengayunkan lengannya.
Perlahan Mas Fhi membuka lengannya yang menutupi mata dan berbalik menghadapku.
"Katanya tadi ngantuk?" todongnya serak dan seperti ditahan agar tak membludak.
"Gak jadi ngantuk. Dedeknga gerak-gerak."
Dengan spontan Yasfhi terduduk. "Ha? Gerak-gerak?"
Aku terkekeh kecil melihat Mas Fhi kaget dan membuka matanya lebar sambil kedip-kedip.
Akhirnya aku juga ikut terduduk menatapnya sambil senyum-senyum. "Mas Fhi lucu tahu. Wong dedeknya gerak seperti biasa kok, dua tendangan doang."
" Mas ngantuk, Key," keluhnya dan merebahkan punggung lagi.
"Ish, jangan tidurlah, Mas, Keylha tuh pengen makan." Kucoba ayunkan lagi lengan yang sudah terkapar.
Mas Fhi mencoba melirik jam dinding di atas pintu. "Udah pukul sebelas, mau makan apa, Key?"
"Gak tahu pokok pengen makan."
Seketika aku ingat martabak madura yang tipis tapi krenyes, ditambah gigitan cabai dan acar yang gurih.
Hanna. Dia yang suka kuliner dan mengajakku. Jangan lupa ada mbak Faira juga. Rihanna Ufaira. Perempuan harum yang pemberani.
Ya, Hanna punya nama yang hampir sama dengan mbak Faira. Rihanna Shabira dan Rihanna Ufaira. Bedanya dari nama keduanya adalah sabar dan satunya pemberani. Ufaira berarti pemberani.
Aku jadi rindu. Rindu tawa mereka, kejahilan mereka, perdebatan mereka, gesreknya mereka.
Eh? Mas Fhi?
"Mas Fhi, Keylha pengen makan ih."
"Kamu lapar? Mau dimasakin apa?" serunya dengan mata masih rapat juga suara serak.
Masa iya aku mau bilang lapar? "Duh Key nggak laper tapi keknya dedeknya pengen makan. Nendang-nendang."
Hening. Mas Fhi beranjak dan mencoba membinarkan matanya kembali.
"Mau dimasakin apa?" katanya menatapku yang masih terbaring dengan sendu.
"Mas Fhi bisa masak apa?"
Tanpa menjawab, dia beranjak begitu saja. Dia marah kah? Kesal kah? Salahku juga sih, tapi mau bagaimana? Apa aku masih kekanak-kanakan?
"Key gak mau makan nasi loh ya," seruku lebih keras agar terdengar Mas Fhi yang sudah menghilang dibalik pintu.
Lama sekali aku menunggu, mata sudah berat dan pekat, aku nggak kuat. Rasanya ingin terpejam.
Dan meski aku memaksa mata untuk tetap terbuka, akhirnya terlelap juga. Baru pukul satu lewat Mas Fhi bangunin dan dia belum tidur sekalipun cuma nungguin aku yang terlelap.
Aku gak tahu mau bilang Mas Fhi itu gimana, yang bisa aku lakuin cuma bersyukur sama Allah udah kasih lelaki sesabar dan sebaik dia. Perlakuan-perlakuan yang mungkin orang bilang nggak romantis, bagi aku itu lebih dari romantis. Bahkan diamnya dia lebih dari berkata manis.
"Mas Fhi marah ya?"
"Marah kenapa?"
"Mas tidur Key paksa bangunin, setelah bangun Keylha tinggalin tidur."
Mas Fhi menarik napasnya berat. "Udah makan saja, katanya mau makan."
Kulirik nampan berisi martabak ala kadarnya. Nggak ada hijau-hijaunya, putih polos, gosong-gosong. Intinya gak selera. Tapi kupaksain bangun, dia udah berkorban demi aku meski mungkin sedang kesal, capek, tetep jalanin.
"Kenapa? Gak mau martabak? Gak ada bahan apa-apa lagi di kulkas," serunya putus asa.
Tanpa menjawab aku beranjak mendekati ujung kasur di mana Mas Fhi meletakkan martabaknya. Kucoba rubah mimik wajah tak berselera jadi bersemangat untuk menyantap.
"Mas Fhi gak mau nemenin Key makan?"
Tidak ada jawaban. Dia hanya menatapku sambil tersenyum yang sedang ragu melahap.
"Besok mas nggak kerja. Kamu mau kerumah mamah?"
Uhuk, uhuk.
Bukan, bukan pertanyaan Mas Fhi salah lalu membuatku tersedak. Tapi aku terlalu spontan menelan beberapa gigitan yang belum halus kukunyah.
Mas Fhi menyodorkan segelas air yang memang dia sediakan diatas nampan.
"Ada yang salah sama pertanyaan mas?"
Sontak aku menggeleng. "Mas Fhi sejak kapan tahu bikin martabak? Belajar dari mana?"
"Kebiasaan. Nanya satu-satu, Key."
Pasalnya martabak ini hanya rupanya yang jelek, tapi rasanya benar-benar gurih. Katanya kalau perut lapar makanan apapun jadi terasa nikmat dan sedap. Sayangnya aku tidak lagi lapar. Berarti martabak ini benar-benar enak.
Aku tahu pertanyaanku belum terjawabkan, tapi aku tidak peduli. Biar saja aku fokuskan dulu memakan martabak sedikit gosong di sana-sini. Satu tersisa dan Mas Fhi sama sekali tak mau memakannya sedikit pun.
Hendak kuambil martabak terakhir saat Mas Yasfhi bilang, "Rayyan udah mulai kuliah dan dia bilang kangen tetehnya."
Ada yang aku lupakan. Rayyan pecinta martabak. Aku ingat satu potong martabak yang menjadi rebutan antara Rayyan dan Daniyah. Tapi kumarahi Rayyan untuk mengalah pada adiknya.
Tanpa terasa pipiku melai menghangat tepat dimana cairan bening menjalar. Rayyan yang kala itu benar-benar mengalah demi Daniyah dan dia hanya bisa membersihkan sisa-sisa potongan kulit martabak yang tertinggal hingga bersih tak tersisa.
Seketika aku menyesal karena memarhinya sebegitu hebat. Harusnya kala itu aku jadi penangah dan bisa membagi martabak itu jadi dua agar keduanya sama-sama kebagian.
"Key, kenapa?"
Aku tersadar bahwa martabak potongan terahir yang kupegang masih menggantung.
"Ha, em ... enggak. Inget Rayyan. Makanna favoritnya martabak."
"Terus kenapa nangis?"
"Keylha pernah marahin Rayyan karena gak mau ngalah sama Iya."
Perlahan kesuapi martabak kedalam mulut. "Mas Fhi gak keberatan biayain Rayyan kuliah?"
"Mas gak biayain kok. Rayyan kuliah dengan usahanya sendiri, mas cuma bantu bagaimana dia bisa kuliah. Karena Rayyan sendiri awalnya tetep gak mau kuliah meski ingin. Karena dia bilang gak mau ngerepotin mas yang anggota baru, Rayyan juga gak mau nanti mamah marah karena merepokan mas.
"Mas sempat bujuk tapi Rayyan kekeh. Akhirnya mas nyari cara lain dengan iming-iming beasiswa. Dan Rayyan benar-benar bisa dapetin beasiswa di kampus ternama dengan usahanya sendiri. Dia punya kemauan beasar dan kuat, Key."
Dan martabak pun habis. Mas Fhi yang membereskan dan menyuruhku tidur lagi. Sayang jika aku tidur lagi, ini sudah menunjukan tengah malam lewat hampir mendekati sepertiga malam. Jika aku tidur tanpa melakukan ritual solat malam, bisa jadi kebablas.
Maka kuputuskan untuk solat dulu dan Mas Fhi menjadi imam. Sungguh haluku nyata beberapa dekade kemudian. Diimami solat malam, bermunajat pada Tuhan dalam satu waktu, menyentuh buminya bersamaan dengan permohonan masing-masing, lalu diakhiri doa yang sama dengan aku yang cukup meng-Aamiinkan.
Maka nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top