Bab 33

Bismillahh...
Update yaa...
Semoga tidak kemalaman.

Happy rading..🤗🤗

00.22, 23 Juli_Love you

Mas Fhi benar-benar pulang larut malam, sekarang napasnya sudah mendengkur. sepertinya sangat kelelahan. Suatu waktu aku bertanya selepas berbincang bercanda dan bercerita horor.

"Mas, kejadian apa yang paling mas takuti dalam hidup, Mas? "

"Mati," katanya.

"Mas takut masuk neraka ya? "

" Bukan itu, mas takut, Klo mas mati neng gimana? Dedeknya juga giman? Jadi mas kalo naik motor sendiri diluar selalu hati-hati, kalo mas kenapa-kenapa neng gimana nanti? "

Aku?

Aku langsung berhamburan dipelukannya. Kata kata terlalu miskin untuk mengutarakan rasa. Aku terisak dalam. Ia mendekapku erat. Eraaatt sekali.

Semenjak saat itu, aku tak pernah tidur lebih dulu, selalu menunggu ia terlelap dan menatap wajah lelahnya. Kemudian seperti biasa , menangis sejadi jadinya. Memeluknya erat kadang jika tangisku tersengal aku menjauh. Agar isakku tak mengganggu tidurnya. Selalu begitu setiap malam. Seperti malam ini.

Aku tau bahwa semua tak ada yang abadi. Setiap ada pertemuan pasti menjanjikan perpisahan tak pernah tahu kapan. Hanya tentang siapa yang akan lebih dulu meninggalkan.

Aku selalu bersyukur.. Saat sentuhan lembut dibahu kembali terasa diawal fajar. Aku bersyukur melihatnya lagi. Aku bersyukur Allah masih mempertemukan kita hari ini.

Berikutnya kucoba pejamkan mata, tapi entah mengapa rasanya susah sekali. Mas Fhi memelukku dari belakang, karena tadi aku pura-pura tertidur dan berbaring membelakangi tempat tidurnya.

Usia kandunganku baru lima bulan dan baru terlihat perubahan di perutku yang semakin membesar.

Sebulan yang lalu perutku masih rata, makanku masih sembarangan. Aku tahu saat aku memberontak, Mas Fhi marah tapi dia menahannya agar tak meluap.

Saat itu aku memang belum percaya keberadaan janin ini, karena usia empat bulan perutku masih seperti biasa. Hanya rasanya memang ada yang aneh, seperti ada sesuatu di dalam.

Baru setelah Mas Fhi mengajakku ke dokter kandungan. Aku di USG dan  melihat janin yang mulai berdetak pada sebuah layar.

Saat itu pula tanpa sadar tangisku pecah. Aku menangis tersedu-sedu sampai membuat Mas Fhi bingung bagaimana mengehentikan tangisku.

Dan sejak saat itu, aku benar-benar percaya bahwa Tuhan mempercayakan mahluk baru kepadaku. Aku baru menyayanginya saat benar-benar merasakan bahwa gambar yang bergerak itu berada di perutku.

Aku merasa menjadi ibu yang tidak baik karena belum percaya keberadaannya. Aku minta maaf pada Mas Fhi sepulangnya. Tapi Mas Fhi bilang aku nggak salah, justru ia berterimakasih.

"Terimakasih, Key."

Aku tersentak. Ingatan itu? Kenapa suaranya seperti nyata?

Terasa gerakan yang menumpuku bergerak tepat dimana tangan Mas Fhi berada. Kuputar kepala dengan susah.

"Kenapa belum tidur?"

"Cuma terbangun."

"Mas tahu kamu pura-pura tidur saat Mas datang."

Skakmat. Mas Fhi sebenarnya orang apa bukan sih? Kadang dia bisa membaca situasi, kadang pula nggak peka sama keadaan. Aku nggak ngerti. Apa dia hanya pura-pura tidak peka saja?

"Tidur, Key."

"Keylha sudah tidur, Mas, sebelum mas dateng."

Ya, aku sempat terlelap dan terbangun karena aku tertidur sebelum Mas Fhi pulang. Sebenarnya aku punya alasan kenapa harus pura-pura tidur saat dia datang. Mas Fhi selalu protes kala aku menunggunya, apalagi kalau pulangnya seperti sekarang. Tengah malam.

Tidak ada sabggahan lagi dari Mas Fhi, bukan karena dia sudah kembali tidur, tapi karena pelykannya semakin merapat. Deruan napasnya terasa di tengkuk hangat.

"Dedeknya apa kabar?"

"Belum juga keluar udah di tanyain. Apalagi kalau udah keluar? Ibunya pasti dilupain."

Mas Fhi tergelak mendengar protesanku yang terdengar rajukan.

"Maksud Mas, ibu dedeknya, Neng."

"Mas Fhi besok tanggal berapa?"

"Sekarang?"

"Besok, ihh.."

"Besok kapan yang kamu maksud? Sekarang udah pukul dua yang tanggalnya udah ngikut siang hari."

Apa? Pukul dua dini hari? Dan aku belum tidur?

"Iyya, pokoknya itu."

"Tanggal dua lima. Kenapa?"

"Ada apa besok?"

"Ada apa emangnya?"

Ish, padahal aku cuma mau ngingetin kalau tanggal itu adalah hari lahirku. Berharap ada surprise. Tapi kalau di kasih tahu besok adalah hari penting buat aku, hari di mana aku bertambah usia, hari dimana aku melihat luasnya bumi. Maka bukan lagi surprise jika Mas Fhi membawakan sesuatu hanya karena ku ingatkan.

Tapi, yasudahlah.

***
Mas Fhi lagi-lagi pulang lebih awal, tapi dia tidak membawa apa-apa, hanya dua buah laptop yang biasanya ia kerjakan di rumah.

"Mas Fhi."

"Ya?"

"Ilham itu udah nikah belum sih?"

"Belum."

"Umur berapa emang?"

"Duapuluh delapan."

Sengaja kutanya umur biar dia peka. Aku sudah tahu beda umur Mas Fhi sama Ilham tiga tahun. Itu karena Ilham kuliahnya kemudaan dan Mas Fhi ketuaan satu tahun dari usia sewajarnya masuk universitas.

"Sekarang hari apa, Mas?"

"Hari senin."

"Tanggal berapa?"

"Dua puluh lima, Key." Jawbaan Mas Fhi seperti di paksa.

"Mas Fhi gak ada acara apa-apa?"

Dia hanya menggeleng sebagai jawaban sedang netranya fokus menatap laptop yang di operasinya.

"Dua lima itu bulan apa, Mas?"

"Mei."

"Iya, bulan apa."

"Ya bulan Mei, Key." Dia mulai kesal rasanya. Tapi entah kenapa lucu aja. Biar tahu rasanya aku juga kesal sebenarnya jika dia benar-benar melupakan hari lahirku.

"Mei itu bulan apa?"

"Apanya sih, Neng, bulan apa?" Netranya menatapku gemas.

"Maksudnya bulan berapa?"

"Lima."

"Tanggal berap--."

"Iya, iyya Mas tahu itu tanggal lahirmu."

Nah, lho? Kalau sudah tahu terus--

"Emang kenapa sama tanggal lahirmu?" tanyanya sambil berdiri dan berjalan ke arah kamar.

Ish, masih nanya juga. Dia gak ngerti apa kalau hari lahir itu penting?

"Kamu ngarep hadiah? Mau hadiah apa? Biar mas belikan," katanya setelah membawa alat-alat perlengkapannya dari dalam kamar.

"Apasih." Ya bukan hadiah lagi dong kalau aku yang minta dan milih.

Akhirnya aku memilih pergi dan masuk kamar. Namun, sebelum di tutup Mas Fhi sempat bilang.

"Kalau mau keluar buat ngerayain, siap-siap bakda ashar."

"Enggak ah, males."

Bayangin coba gimana aku berharap dia ngasih sesuatu walau nilainya kecil tapi pada akhirnya berakhir begini.

Emang ya, yang namanya berharap kepada manusia pasti kecewa menyertai.

Sampai waktu isya tiba, aku belum berbicara padanya. Padahal aku tidak lagi marah padanya, aku hanya kesal apda diri sendiri bisa-bisanya berharap begini yang pada akhirnya bikin sakit sendiri.

Harusnya aku tak perlu berharap apa-apa lagi, Mas Fhi sudah memberikan segalanya, tidak ada yang kurang, bahkan kubilang berlebihan. Kasih sayangnya, perhatiannya, kejutan-kejutan tak terduganya.

Aku kurang apa? Sudah Allah kasih Mas Fhi sebaik itu. Aku kurang bersyukur.

Usai solat isya, aku memilih berbaring di kasur dengan buku sebagai pengalihan. Berharap rasa kesalku hilang. Tapi, bukannya hilang justru tulisan di buku yang aku baca sama sekali tidak di tangkap oleh saraf-saraf di kepala.

Terdengar bunyi handle pintu. Tak perlu ditanya lagi siapa pembukanya, itu pasti Mas Fhi yang pulang dari masjid.

"Neng, beneran gak mau keluar?" Aku hanya menggeleng tanpa menolehnya.

Tak lama kemudian kasur terasa bergerak. Mas Fhi memelukku lagi dari belakang.

"Membaca sambil tiduran gak baik." Kututup bukunya seketika.

"Mas gak pernah rayain yang namanya hari kelahiran." Terjeda. Dia seolah memberi jarak pada waktu untuk melanjutkan kalimatnya tapi tak kunjung dilanjutkan.

Aku memilih memutar badanku hingga bisa menatapnya utuh. Mas Fhi kemudian menangkup wajahku.

"Maafin, Mas." Aku hanha menggeleng sebagai jawaban bahwa dia tidak bersalah dalam hal ini.

"Bagi mas hari kelahiran itu tidak penting. Tapi mas nggak tahu kalau hari kelahiran itu penting buat kamu."

Aku menatapnya sambil memberikan senyum paksa.

"Padahal hari kelahiran itu menandakan dan mengingatkan kapan kita dilahirkan dan di beri kesempatan melihat dunia, Mas."

"Iya. Tapi entah kenapa mas tak memikirkan hari lahir untuk dirayakan. Mas hanya mengingatnya bukan untuk dirayakan sebagai suatu yang menggembirakan layaknya mendapat tambahan uang jajan atau mendapat suatu prestasi gemilang.

" Mas hanya mengingat bahwa tanggal kelahiran salah satu alarm bahwa umur kita semakin pendek, kematian semakin dekat."

Tentu saja aku terharu dengan kalimat-kalimatnya. Mas Fhi benar. Bertambahnya usia bukanlah sesuatu yang pantas di rayakan, itu cukup menkadi lengingat saja bahwa kematian semakin mendekat.

***

[Hanna:

Sayang...

Happy anniversary 🥳🥳
Sudah sembilan bulan kita melangkah bersama. Dan kau selalu menjadi suami yang sempurna.
Semoga Allah senantiasa menjaga kita dalam mahabbah ini.

Sayang ...
terimakasih untuk selalu Cinta.
Katamu Cinta adalah memberi dan menerima.
Pendapat yang sederhana, tapi aku percaya artinya begitu besar dalam sanubarimu.

Sayang ...
Sekarang hari lahirku,
Awalnya aku berharap mendapat kejutan istimewa
Tapi saat memandangmu _

Aku sadar bahwa kau selalu memberi kejutan setiap harinya .

Menyelesaikan pekerjaanku tanpa diminta misalnya.
Memberi kejutan kecil setiap datang kerja, dan banyak lagi yang susah ku-utarakan.

Aku sadar bahwa aku selalu kau istimewakan. Hingga aku tak lagi berharap mendapat kejutan istimewa.
Karena kau selalu melakukannya
Setiap hari.!! Untukku
Tanpa harus menunggu hari kelahiranku.

Doa yang kau mintakan pada Allah pun tak pernah berhenti..
Bahkan,
Setiap kali kau menatapku, doamu terlantun,
Bukan hanya dalam bait-bait sholatmu
Aku percaya itu.

Aku mencintaimu mas.

Semoga Allah menyatukan kita hingga ke surga-Nya

__Key__

]

Kukirim catatn kecil ini pada Hanna sebelum tidur. Aku sempat menulisnya saat Mas Fhi sudah terlelap lebih dulu.

Selamat malam, Mas. Maaf dan terimakasih. Love you.

Alhamdulillah...
Update kan?
Lunas ya...

Jazakumullah khair sudah mampir dan baca cerita absurdku.😍😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top