Bab 32

Well, berat sekali rasanya untuk membuka kelopak mata, kulitku merasakan hawa sejuk, penciumanku penuh bau obat-obatan, tangan kiriku seperti terkekang beberapa ikatan.

Kupaksakan lagi mata ini untuk melihat sekitar. Dengan remang-remang, aku melihat nuansa tembok polos warna putih, selimut biru tipis, tangan kiri tertempel selang hinfus yang menggantung,  dan ... jangan lupa tangan kananku yang terasa berat. Kucoba ikuti arah pandang. Disana, sosok laki-laki penyabar sedang tertidur membungkuk sambil menggenggam tanganku.

Kucoba gerakkan jemari-jemari yang rasanya mulai kaku untuk membangunkan Mas Fhi. Mas Fhi seketika terperanjat, dari posisi duduknya ia langsung berdiri dengan tangan masih mengenggam erat.

"Kamu sudah bangun?"

Yang kulakukan hanya menganggguk sambil tersenyum kecil ke arahnya.

"Jam berapa, Mas?" tanyaku dengan suara lirih yang ku yakini Mas Fhi tidak mendengarnya.

Entah bagaimana dia bisa mengerti dengan gerakan bibirku, lengannya di angkat untuk melihat Jam yang tertempel di pergelangannya.

"Pukul dua lewat empatpuluh tiga."

Kupaksakan suara yang tercekat untuk keluar, sedikit berdeham dengan samar, hingga aku bisa bersuara meski terbatah-batah.

"Key ... belum solat."

"Kamu mau solat?" Aku mengangguk berat sebagai jawaban, dan pusing di kepala kembali terasa saat ku gerakkan.

Aku meringis samar tapi Mas Fhi tetap mendengar. "Jangan di paksakan, Key," mohonnya kembali menggenggam tangan semakin erat.

Kupejamkan mata kembali, lamat-lamat kurasakan nyeri yang menjalar, kunikmati gelap bercampur merah hati pekat.

Mungkinkah ini saatnya aku kembali kepada Sang Pemilik Hak? Bagaimana dengan Mas Fhi? Aku telah berjanji akan tetap disisinya, menemaninya, belajar bersama, meraih impian yang sama, dan berjalan dengan satu misi yang sama.

Bibirku tak mampu kugerakkan lagi, pegangan Mas Fhi di tanganku lepas. Lalu, terdengar derap langkah menjauh dengan tergesa sambil berteriak memanggil Dokter. Itu suara Mas Fhi.

Aku masih sepenuhnya sadar, masih merasakan bagaimana rasanya tangan ini di tusuk jarum, dan dari sana terasa cairan dingin menjalar. Aku juga merasakan bagaimana tubuhku rasanya lemah dan tak bisa di gerakkan.

Dan detik berikutnya aku seolah berada di dunia yang berbeda. Tapi penglihatanku sama, masih gelap, aku seperti melayang dan tak merasakan apapun lagi.

***

Fabiayyi alaairobbikuma tukadzdzibaan...

Samar-samar terdengar suara Mas Fhi yang membacakan ayat-ayat Allah. Hatiku seketika merasakan kesejukan. Aku merindukan suara ini, tapi rasanya mata ini enggan terbuka.

Maka kubiarkan diri menikmati lantunan ayat yang keluar dari bibirnya tulus. Lama-kelamaan suaranya putus-putus, seperti suaranya tercekat. Kupakasakan mata ini terbuka meski berat, ingin tahu kenapa Mas Fhi membaca ayatnya terbata-bata.

Kurasakan ada tetesan dingin yang jatuh di permukaan kulit tangan. Seketika aku baru sadar bahwa tanganku sedang di genggam.

"Mas ...," panggilku lemah saat berhasil membuka mata.

Mas Fhi segera meletakkan mushaf lecil berwarna pink dan mengusap ujung matanya segera.

Tidak ada suara sapaan seperti pertama membuka mata. Dia hanya tersenyum lebar menatapku lama.

"Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Mas panggil mamah dulu," pamit Mas Fhi dan pergi tanpa menunggu persetujuanku.

Tak lama kemudian mamah datang dengan senyum teduhnya yang selalu mendamaikan. Dibelakangnya ibu mengikuti dengan senyum binar penuh semangat.

Aku tak melihat Mas Fhi kembali. "Mas Fhi kemana, Mah?"

"Gak tahu. Katanya mau beli-beli sebentar."

"Masih pusing?" tanya Mamah yang duduk di samping kananku menggantikan tempat Mas Fhi tadi.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa Keylha gak bilang sama ibu kalau sering pusing?"

Eh? Dari mana ibu tahu aku sering pusing? Seingatku sampai aku nggak sadar, tidak ada yang tahu perihal sakit kepalaku yang sering datang tiba-tiba.

Aku hanya tersenyum menanggapi ibu. Mamah menapku dengan sayang dan rasa prihatin.

"Sudah  jam berapa, Mah?"

"Delapan. Kata Yasfhi kamu sempat bangun?" Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Masih pusing?"

"Sedikit."

"Keylha sakit apa, Mah?"

"Sakit biasa karena bawaan janin," jawab mamah lembut tapi mampu membuatku tersentak.

"Apa? Janin? Maksudnya, Mah?"

"Iyya Key, kamu hamil, masih usia empat mingguan."

Aku benar-benar tidak percaya. Jadi di perutku ada mahluk baru? Tak terasa cairan bening menjalar di pelipisku. Aku tidak tahu tangis ini untuk apa. Bahagiakah? Sedang aku belum percaya keberadaannya.

Oh Allah, maafkan hambaMu.

***

Tepat satu minggu di rumah sakit, aku pulang. Dokter bilang aku tidak boleh kelelahan, tidak boleh kerja berat-berat. Harus bedrest  total.

Dan sejak itu, Mas Fhi memperlakukanku seperti bayi. Bena-benar bayi. Makan di suapin, ini dan itu disiapin, aku juga tidak boleh kemana-mana bahkan ke halaman rumah pun tidak di bolehkan. Mas Fhi jadi posesif banget.

Padahal aku bosan di kamar terus, menatap hujan hanya lewat jendela kecil di kamar. Nyapu pun ibu ikut melarang. Sepertinya ibu sepakat sama Mas Fhi untuk membuatku tak melakukan apapun.

Tubuhku memang lemas. Tapi itu juga karena aku tak bergerak sedikit pun. Sungguh dua minggu di kamar membuatku bosan. Aku hanya boleh berdiam diri di kamar dan ruang tamu. Selain itu Mas Fhi melarang. Ibu juga melarangku berada di dapur.

[Han, aku bosan. Pengen liburan, pengen keluar rumah, pokoknya pengen lihat pemandangan selain kamar dan ruang tamu.]

[Ya keluar dong, Key. Kan udah punya MAS. Ajak tuh jalan2]

[Gal boleh, Han]

[Loh? Kenapa? Bukannya Mas mu sayang banget sama kamu? Pasti apa-apa di turutin]

[Aku lagi bedrest. Mas Fhi larang aku keluar bahkan ke halaman rumah sekalipun. Kan aku bosen cuma wira-wiri kamar sama ruang tamu]

[Bedrest kenapa? Kamu abis sakit? Yaudah deh, mau aku hibur gimana biar gak bosen? Asal jangan suruh aku ngbadut ya, gaka ad kostum.]

Tak lama satu video di kirim Hanna. Videonya bergaya ala model di Candi Prambanan.

[New story: Emang bakat jadi model]

Ku kirim di pembaruan ceritaku. Dan video kedua dari Hanna menampilkan matahari tenggelam dengan nuansa pepohonan rimbun lengkap beserta lagunya.

[ itu senja di Prambanan]

[MaasyaAllah... cantiknya]

Detik beriktnya Mas Fhi datang. Pembicaraan bersama Hanna terputus. Ini masih pukul dua siang, tapi Mas Fhi sudah balik. Ya, dia selalu pulang jam segini semenjak aku diminta bedrest sama dokter.

Saat kutanya kenapa pulang lebih awal, jawabannya  ingin lebih banyak punya waktu buat aku.

Dia memang tidak bisa bersikap manis, karena sikapnya sudah manis. Bikin aku meleleh tanpa sadar. Uch.

"Kenapa gak istirahat?" tanyanya setelah aku mencium punggung tangannya.

"Keylha bosen tahu nggak, Mas?"

"Sabar, ya, seminggu lagi boleh keluar."

Ingin merajuk tapi ingat perkataan mamah, aku harus lebih bisa bersikap, harus lebih bisa menjaga emosi karena sudah ada mahluk baru di perutku.

Tapi, apa peduliku? Aku masoh belum percaya keberadaannya, masih membiarkan makan yang tetap aku suka. Buah-buah yang Mas Fhi belikan sampai layu di kulkas tak kumakan.

☝Cung yang mau aku update lagi hari ini...
Jangan lupa follow ig ku melodybisu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top