Bab 31
Istri mana yang tidak hafal kala bunyi motor suaminya datang. tapi kali ini, derap langkah yang biasa aku tunggu setelah bunyi motornya dimatikan tak ada. Tanpa sadar orangnya sudah di depan penglihatan.
Tak tega sebenarnya harus melihatnya menggayuh sepeda. sudah dua hari berlalu motornya masuk bengkel. setiap kubilang kenapa tidak pakai mobil, jawabannya biar lebih simple dan nggak ribet. pakai mobil juga harus mutar lewat jalan luar. Kalau motor jarak tempuh lebih dekat karena Mas Fhi menerobos jalan persawahan.
"Mas Fhi udah solat?"
"Udah," jawabnya sambil membaringkan punggung. kutawari untuk dipijat tapi dia menolak.
"Tidur aja, Key, sudah malam. nggak usah buat coklat hangat ya? Mas capek."
Aku mengangguk saja menuruti lalu membaringkan tubuh di sampingnya. Mungkin motor Mas Fhi macet karena ditinggal orangnya selama dua hari. Itu hanya kemungkinanku, karena aku tidak paham masalah motor. Bagaimana mau paham, mengemudi saja aku belum lancar.
Tiba-tiba perutku rasanya tidak enak, ada sesesustu yang mendesak untuk keluar. Aku hendak bangun tapi kepala tiba-tiba pusing. Ku urungkan niat ke kamar mandi, yang ku lakukan justru berbaring menghadap Mas Fhi. Ingin memeluknya, tapi takut menganggu tidurnya. Akhirnya yang kulakukan hanya memeluk lengan meriamnya, mencoba menekan rasa sakit yang ada.
Akhir-akhir ini kepalaku memang tersering pusing, tapi tidak berlangsung lama, setelah di abaikan terkadang hilang tanpa di sadari. Aku juga malas bantu-bantu ibu di dapur, males nyapu lantai, males nyuci. Tapi tak ku keluhkan sama Mas Fhi, aku harus lebih dewasa, aku bukan anak kecil lagi yang suka merengek.
***
"Key." Panggil Hanna yang terdengar dari spiker hp.
"Hmm." Kubalas seadanya karena kapala benar-benar lagi tidak bisa di ajak kompromi.
"Kamu udah lupain Ilyas?" mendengar nama Ilyas, hatiku tak lagi merespon. Sungguh.
"Harus ya aku lupain?"
"Ikhlasin maksudnya."
"Kenapa tanya Ilyas?"
"Kamu sensi banget ya denger nama Ilyas. Padahal udah gk boleh cemburu."
"Siapa bilang cemburu."
"Nadamu yang bilang. Nada suaramu."
"Enggak, udah ikhlas kok. Banget malah."
"Oh, kalo ikhlas buat aku lah Ilyasnya."
"Dih, emang barang? Lagian Mas Caironya mau kamu kemanain?"
Tiba-tiba terdengar suara handel pintu di tekan. Aku yakin itu pasti Mas Yasfhi.
"Ye ... kalo Allah bilangnya jodohku Ilyas, aku bisa apa? Hahaha. Eh tapi kamu bneran ikhlas kan?"
"Emm... tunggu ya, Mas Fhi pulang kerja."
"Ntar gk nelfon lagi?"
"Iyya nelfon. Nggak aku matiin tapi sambil izin mas dulu."
"Giliran udah punya mas ya sana sini izin. Herr," gerutu Hanna seolah tak rela di tinggal. Tentu saja hal itu membuatku terkikik sendiri.
"Kamu juga gitu nnati kalo udah nikah," jawabku asal setelah Mas Fhi mendorong handel pintu kamar.
Aku menyalaminya, menanyakan apa-apa yang dibutuhinya, meski pusing mendera aku mencoba menahannya dan tak meringis di depannya. Handphone sengaja ku tahu di hp. Usai pamit aku telfonan dengan Rihanna, Mas Fhi memilih membersihkan diri.
Kuraih lagi gatget yang angka detiknya masih berjalan. Hanna tipe orang yang setia sepertinya, dia rela menunggu meski ku abaikan lama.
"Sebenaranya kemaren tuh Ilyas ngubungin aku," seruku sambil berjalan menuju Emperan Rumah.
"Oh iyyah? Terus." Di dengar dari suaranya dai antusias banget seolah yang punya rasa sama Ilyas adalah dia bukan aku.
"Iyya. Sempet bikin aku gelisah lah, takut, nyesek juga sih pastinya." Aku memilih duduk di kursi kayu khusu bersntai, kugantungkan kaki-kakiku.
"Terus-terus? Dia chat gimana." Tuh, kan, apa dibilang? Dia tipe yang kepoannya akut, lebih tepatnya simpatinya udah kelewat batas. Hehe.
"Ya nggak ada dia cuma minta maaf dan ngucapin selamat gitu."
"Terus?"
"Apanya yang terus?"
"Chatannya. Kamu jawab apa?"
"Nggak aku bales."
"Kok nggak dibales?" nah, kan, dia protes. "Kenapa? Takut sama masmu?"
"Enggak. Dia malah no respon pas aku kasih tahu." Iyya, Mas Fhi no respon, dia kayak nggak ada cemburu-cemburunya sama sekali, tapi minta nomer Ilham saja di larang. Kebalik nggak tuh?
Oh atau Mas Fhi takut apa yang pernah dialami dulu? Suka gadis yang sama dengan sahabatnya? Aduh, pikiranku kemana? Eroro sepertinya.
"Masa? Lah terus kenapa nggak dibales? Kamu ngerasa terhianati dia pergi gitu aja, merasa yang paling sakit sendiri?"
Jleb. Kalimat-kalimat Hanna menghentikanku pada pikiran-pikiran tak jelas.
"Entahlah Han."
"Kamu nyadar nggak sih, kalau sebenarnya Ilyas juga tersakiti, dan bisa jadi sampai sakitmu sembuh dia masih merasakan patah hati. Patah karena nggak dapet restu dari Tuhan."
"Halah... kalimatmu toh Han, kayak yang udah pernah patah aja." Kubawa Hanna bercanda, karena dari nada suaranya dia mulai serius. Hanna jika sudah serius, semua seolah menyeramkan, kata-katanya seperti anak panah tepat pada sasaran.
"Dih dibilangin nggak percaya. Logis dongn Key. Pasalnya kamu udah ada penggantinya, diganti malah. Nah dia? Emang ada tempat dia melepas dan bersandar?"
oke. Sepertinya gurauanku tidak mempan dan aku mulai terbawa hawa serius Hanna. "Memangnya kamu tahu dia juga patah seperti yang pernah aku rasakan?"
"Nah, itu. Bukankah hal itu kamu yang lebih tahu? Kamu yang bisa memperhatikan bagaimana gelagat Ilyas ke kamu, bohong atau serius kah perasaannya ke kamu?
"Key, ingat! Sesungguhnya patahnya seorang laki-laki itu sulit untuk di sembuhkan. Kalau kamu sebagai perempuan merasa sulit, kesulitan Kaum Adam lebih parah dari itu.
"Asal kamu tahu, yang membuat laki-laki seperti itu adalah, karena sekali dia menjatuhkan hati, dia tidak akan pernah memindahkannya."
"Dari mana kamu tahu?"
"Aku memang tidak banyak pengalaman perihal Kaum Adam, tapi aku banyak membaca, bukan hanya buku tapi juga membaca keadaan sekitar, membaca pengalaman-pengalaman orang sekitar."
Kukatakan Hanna memang lebih peka pada sekitar, lebih pandai membaca keadaan, lebih terbuka atas apa yang ada di hadapan. Tidak seperti diriku yang apa-apa semua harus serba di paksakan.
"Han, perutku nggak enak. Udah dulu ya, dan makasih buat tausiahnya."
"wah ... wah ... parah, orang di bilang tausiah. Aku Cuma gak mau temenku ini masih menyimpan marah atau kesal."
"Iya, iyya, makasih. Udah dulu ya, Assalamu'alaikum."
Usai Hanna menjwab salam, aku bali ke kamardengan perut yang rasanya kurang nyaman, berharap dengan olesan minyak kayu putih bisa reda. Disamping itu, ku perhatikan Mas Fhi yang sudah rapi dengan seragam kokonya.
"Mau kemana, Mas?"
"Mas mau ke Masjid, Neng, Bantu akang takmir bersih-bersih dulu seblum berjemaah maghrib."
Tuhan tidak pernah salah memilihkan untuk hambanya, hanya terkadang hambanya saja yang kukuh seolah lebih tahu terhadap takdirnya.
Perlahan tapi pasti, Mas Fhi berubah. Dia yang baik semakin terlihat baik ketika ibadahnya meningkat, dia sudah rajin pergi ke masjid, bahkan meski tubuhnya lelah bekerja seharian, ia tetap ingin meringankan bebean orang lain.
Bagaimana aku tidak akan luluh? Jika saja dulu aku lebih lebar membuka mata, lebih menerima keberadaannya, mungkin akan sangat mudah.
Apapun yang menjadi takdirmu, akan mencari jalannya sendiri menemukanmu. _Ali
Aku melupakan itu, melupakan kalimat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib bahwa sekuat apapun aku tidak menerima takdir ini, takdir akan tetap berjalan menemuiku. Sekuat apapun aku tak menerima kehadiran Mas Fhi, dia akan tetap menjadi takdirku.
Atau sekuat apapun aku mempertahankan Ilyas, dia tak akan pernah bertahan jika bukan takdirku.
Dan Hanna benar, mungkin saja hari ini Ilyas masih berusaha menyembuhkan, masih berusaha menerima keadaan, dan aku sebagai manusia dengan sombongnya mengabaikan pesan yang mungkin dengan berat hati dia sampaikan.
Segera kucari nomer yang pernah menghubungiku, yang pesan-pesannya tak mendapat balasan. Segera kubuka saat nomer itu di temukan, tapi ternyata sudah ada balasan, tapi aku tidak pernah merasa membalasnya. Apa Mas Fhi dulu yang membalasnya?
Akhirnya aku memilih menanyakan langsung pada Mas Fhi saat dia pulang nanti.
Usai solat Maghrib, perut yang kurasa tidak nyaman sudah reda. Alhamdulillah. Sampai adzan isya, aku hanya berbaring di kasur dengan buku yang pernah Mas Fhi belikan. Sebenarnya sudah hatam, tapi entah kenapa buku Rindu karya bang Tere pengen aku baca ulang.
Sampai jeda adzan isya lama, aku masih terpaku pada buku tebal bersampul merah ini dan tidak menyadari kedatangan Mas Fhi. Sadarnya ketika dia buka pintu kamar dan protes karena salamnya tidak ada jawaban.
Aku secepat kilat beranjak untuk mencium punggung tangannya, tapi sakit di kepala tiba-tiba mendera. Aku mengaduh dan tampak sama-samar Mas Fhi berlari kearahku yang berdiri dekat kasur sekaligus sebagai penyangga.
Oh, Allah, sakit sekali, Keylha tidak kuat. Dan rasanya tubuhku luruh, kakiku tak mampu menyangga, penglihatanku tak lagi berwarna. Hitam, pekat, dan aku tak bisa merasakan apa-apa.
follow ig ku ya.. @melodybisu
jangan lupa cek work aku yang lain di KBM app dengan nama yang sama, "meoldybisu" oke?
jazakumullah khair udah mau baca tulisan absurdku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top