Bab 29

yang merasa part sebelumnya kurang lengkap silakan dibaca lagi.

mungkin wp rada bermasalah, karena tampilan di laptop sama di hp saya beda. di laptop lengkap tp di hp kepotong-potong.

. . . .. . . . warning [ 18 +] . . . . . .

.

.

happy reading...

.

bismillah.. semoga adamnafaatnya.

.

.

"Key ...."

Sayup-sayup terdengar suara memanggilku lembut.

"Key, sayang, bangun."

Panggilan itu, manis ... sekali, keadaan masih gelap dan panggilan sayang itu membuatku semakin ingin tenggelam, larut lebih dalam lagi.

"Key... Hey, bangun sayang." Mataku terperanjat kala pipiku terasa dingin oleh pertemuan dua kulit yang ... lebih kasar.

Mataku sudah terbuka penuh, wajah yang setiap akan tidur kutatap lekat kini berada tepat didepanku. Aku belum sepenuhnya sadar, masih menelisik wajah penuh tetesan air dengan rahang kokohnya yang tertarik, menyambutku dengan senyum.

"Bangun, kamu belum mandi loh, udah subuh, mas mau ke masjid dulu."

Dia mengecup bibirku sekilas lalu beranjak dari posisi jongkoknya. Aku tersipu. Kutatap punggung berlapis baju koko warna telur asin itu, rabut basah yang sudah ditutup peci, sarung kotak-kotak berwarna biru cerah, lalu menghilang diambang pintu setelah salamnya berlalu dipendengaranku.

Aku masih belum merubah posisiku, selimut menutupi seluruh tubuhku. Mas Fhi bilang apa tadi? Aku belum mandi? Padahal ia tahu aku tidak biasa mandi subuh-subuh, dingin.

Saat aku bergerak hendak menyadarkan diri sepenuhnya, tiba-tiba ... arghh, Astaghfirullah, pantas saja dia menyuruhku mandi. Pipiku memanas seketika, bukannya beranjak aku malah semakin merapatkan selimutku, tidak ada siapapun di sini, Mas Fhi pun sudah berangkat, tapi aku malu sendiri.

Andai saja aku boleh minta suatu keajaiban, ingin kupinta apa yang terjadi semalam sampai saat ini adalah mimpi. Oh, Tuhan, aku malu sendiri.

***

Pagi ini kegiatanku adalah membantu ibu yang menerima catering kue Tart untuk pernikahan tetangga jauh. Saat kubilang kenapa ibu tidak membuka toko kue saja? Jawaban ibu, kalo toko harus punya merk, dan menghidupkan merk itu tidak mudah, harus dapat izin, dan urusannya semakin ribet. Biar saja kata ibu, akan ia jalani bisnin ini santai tanpa harus ada target kerja seperti mas yang berangkat pagi-pagi lalu pulang sore. Ibu bilang, beliau lebih suka kerja begini, lebih kondusif dan menyenangkan tanpa perlu target.

"Ambilkan tepung di lemari bawah ya, Key, bawa aja semua."

Begitulah yang bisa kubantu, mengambilkan sesuatu yang dibutuhkan ibu, membantu memecah telur, menuangkan tepung sesuai ukuran yang diperintah ibu, pun bahan-bahan lainnya selagi ibu mengerjakan yang lain, sesekali menjaga oven kala ibu sedang mengaduk bahan.

"Ibu, banyak pelanggannya, ya?"

"Enggak begitu, ada lah yang kenal-kenal paling yang pesan kue ke ibu dan memang udah percaya."

"Bagaimana ibu memulainya?"

"Dulu waktu Yasfhi masih kecil, bapaknya masih ada, ibu sering bantu-bantu tetangga kalau lagi hajatan, seiring waktu ibu dipercaya ngehendel kue-kue yang akan dibuat," ujar ibu panjang sambil mengelap Loyang yang akan digunakannya lagi, dan aku yang membantu melapisinya dengan mentega agar tidak lengket.

"Sampai pada saat bapaknya Yasfhi tiada, ibu yang kerjanya sebagai ibu rumah tangga kebingungan bagaimana membiayai hidup dan sekolah Yasfhi. Tabungan yang ibu punya dari bapak hanya cukup beberapa bulan. Setelah itu, setiap ibu bantu kue atau diberi tanggung jawab mengurus kue, ibu selalu dibayar meski niat ibu hanya ingin membantu."

Adonan kue mulai ibu tuang perlahan, lalu memasukkannya ke oven. Lalu, ia duduk ingin melanjutkan cerita. Jarang-jarang aku mendengar kisah Mas Fhi dan ibu kalau bukan dari ibu. Mas Fhi irit bicara.

"Ibu bahkan pernah jadi tukang cuci rumahan, yang waktu itu mesin cuci hanya dimiliki orang-orang ber-uang banyak. Disela-sela itu, tetangga juga sering minta bantuan ibu membuat kue, tidak jarang kue dibuat dirumah. Semakin hari, semakin banyak tetangga ibu yang minta, bahkan tetangga jauh yang belum ibu kenal juga minta dibuatkan kalau punya hajat."

"Mereka tahu dari mana ibu mahir bikin kue? Kan belum kenal?"

"Ya, begitulah system informasi dari Kaum Hawa, cepat melesat. Jadi jangan kaget." Ibu terkikik kecil dan aku menyetujui.

"Nggak buat lagi, Bu?"

Ibu menggeleng. "Udah selesai."

Akhirnya, aku mulai melepas napas lelah. "Sudah sana kamu solat, udah dzuhur." Aku mengangguk sebagai jawaban sambil berlalu dari hadapan ibu. Niatku ingin balik lagi usai solat dan bantu ibu bereskan.

"Langsung istirahat, nggak usah balik. Ibu yang bereskan." Aku berbalik dan menatapnya lekat. Ibu menatapku balik dan meyakinkan agar aku tidak perlu balik membantunya lagi.

Usai solat dzuhur, aku benar-benar membaringkan punggungku di kasur, sekelebat ingatan menghampiri, lalu membuatku malu sendiri. Tiba-tiba saja ingin menghubungi Mas Yasfhi.

Kuketik beberapa kata, menanyakan lagi dimana, namun urung, kuhapus kalimat itu dan menggantinya dengan tiga huruf, 'Mas...' seolah aku memanggilnya. Namun lagi-lagi kuhapus saat terakhir dilihatnya jam 09.24. Kuyakin dia pasti sibuk. Akhirnya kuputuskan untuk tak menghubunginya, membiarkan rasa rindu menjelma, terurai dalam rasa, dan membawaku dalam alam mimpi yang tak terbaca.

***

Tepat pukul tiga sore, aku terperanjat saat mendengar dzikiran di Masjid. Sepertinya aku tertidur lama, dua jam lebih. Tidak biasanya aku tidur senyenyak dan senyaman ini, aku benar-benar puas. Ucapan Alhamdulillah tak luput kuuraikan, Allah masih memberiku kesempatan bernapas dan bertemu orang-orang baik lagi, menemani Mas Yasfhi untuk hari ini, dan ... semoga seterusnya hingga akhirat nanti.

Seperti biasa, sore hari setelah solat dan membersihkan diri, giliran rumah yang harus kurapihi, berharap Mas Yasfhi tidak pulang malam untuk hari ini, aku ingin segera menemui.

Ah, entahlah, aku ingin didekapnya erat lagi, tapi malu kalau harus mengatakannya sendiri, inginnya ia yang mengerti tanpa kuberi kode lagi.

Pukul empat lewat Sembilan menit, suara deru motor terdengar ditelingaku. Aku senang, doaku terwujud. Allah sebaik itu, hamba pendosa sepertiku masih didengar dan di ijabah doanya.

Thanks to Allah for everything.

Aku tidak tahu harus berterimakasih seperti apa lagi selain mengikuti perintahnya, beribadah sesuai anjurannya, menjauhi apa yang dilarangnya, sayangnya aku masih tersering melakukan apa yang membuatnya murka. Seperti, belum memenuhi hak suami salah satunya, sering marah tanpa sebab. Aku tahu, Allah tidak akan ridho kalau suamiku tidak ridho atas diriku.

Maka, yang kulakukan setiap usai solat tengah malam adalah meminta maaf pada Sang Pemilik segalanya agar mau memaafkan, pun meminta maaf pada Mas Fhi—sang pemilik ha katas diriku—agar mau meridhoi setiap apa yang kulakukan, mau memaafkan apapun kesalahan.

"Assalamulaikum."

Wajah lelah tapi berbinar itu mendekat ke arahku. Aku tak pernah melihat wajahnya se-ceria ini, walau biasanya dia memang tidaka pernah lepas senyum setiap berhadapan denganku. Hari ini, dia berbeda, semakin tampan menurutku. Ah, dasar aku.

Kujawab salamnya lirih setelah orangnya berdiri tepat didepanku. Aku masih memegang sapu yang hendak kuletakkan di tempatnya. Mas Fhi meraihnya, dan meletakkan kesembarang, asal tidak di tanganku.

Mas Fhi membuka kantong plastik yang sejak tadi dibawanya. Keluarlah sebuket bunga berisi tiga mawar merah dan ... jangan lupakan sebatang coklat berukurang besar dengan kartu ucapan terimakasih yang menempel diatasnya, bertulis:

Untuk pelengkap separuhku

Terimakasih(emot tersenyum)

Aku yang menerimanya berbinar. Jadi ingat bunga pertamakali yang Mas Fhi bawakan. Setangkai bunga mawar merah dan bertuliskan 'uantuk Keylha Zakiya' dengan bekas oretan yang sepertinya berkali-kali telah dihapus dan terjawab oleh Ilham bahwa pada awalnya tuliasan itu 'teruntuk istriku, love you' dihapus lagi, 'teruntuk teman hidupku, bersabarlah'. Lalu dihapusnya lagi sampai Ilham lelah, katanya. Dan finalnya jatuh pada pilihan namaku dengan gambar love yang tersenyum.

Aku menyalaminya dan Mas Fhi mengecup keningku sekilas.

"Terimakasih, Key," ucapnya sambil menatapku lekat.

"Te-terimakasih untuk apa, Mas?"

"Ibu kemana?"

Kebiasaan. Ia selalu mengalihkan apa-apa yang tak ingin ia bahas lebih lanjut.

"Nggak tahu, ibu udah nggak ada semenjak Key bangun."

Mas Fhi hanya mengangguk dan pamit berlalu untuk membersihkan diri.

"Mas?" aku mengejarnya sampai ke kamar.

"Terimakasih untuk apa?" tanyaku lagi menuntut jawaban saat ia berbalik dan tak mengabaikan keberadaanku.

"Nanti tanya lagi setelah mas bersih-bersih dan kita makan coklatnya bareng."

Aku menurut, membiarkan dirinya melepas lelah dengan guyuran air yang menyegarkan. Berkali-kali kutanya diri-sendiri, mengira-ngira apa yang telah ku lakuakan sampai membuatnya berterimakasih padaku.

Selang beberapa menit kemudian, Mas Fhi balik dari kamar mandi dengan rambut basahnya. Aku mengajukan diri untuk menyisirnya setelah dia menggunakan kuas santainya, ingin berlagak seperti Aisyah yang menyisirkan surai Rasulullah. Aku juga ingin mendapatkan bagian pahala karena mengikuti sunnahnya.

Di depan cermin, kami berhadapan. Aku sibuk merapihkan rambut hitam basahanya, sedang dia sibuk menatap lekat wajahku. Aku jadi kikuk diperhatikan sedekat ini, pipiku memanas seketika, hawa didalam kamar tiba-tiba menyesakkan, panas. 

Kusegerakan menyisir, tepat disisiran terakhir Mas Fhi mencuri kecup di bibirku sekilas dan membuatnya beku hingga tak bisa bergerak untuk memprotesi kelakuannya. Aku terperanjat kaget dan meletakkan sisir asal, berbalik untuk menyembunyikan semu di wajahku, tujuanku adalah ruang tamu, tempat dimana coklat batang itu diletakkan. Mas Fhi menyusulku.

Sampai di sana, kami sama-sama diam, padahal duduk bersisian dikursi panjang, seperti ada kecanggungan yang menghadang.

"Kamu marah?"

Aku yang masih belum tersadarkan dari apa yang barusan terjadi walau hanya sedetik, namun memberikan efek berkepanjangan. kenapa efeknya lebih parah dari ciuman pertama ya? duh, dasar aku.

"Em?" responku meminta ulang pertanyaan.

"Kamu marah?"

"Ma-marah?" Mas Fhi mengangguk. "U-untuk apa?"

Dasar aku. Bukankah biasanya aku yang banyak bicara dan nyerocos seadanya. Kenapa jadi kikuk seperti patung es begini? Kentara sekali aku gugup hanya karena kejadian tadi. Kejadian yang bahkan wajar bagi suami istri.

"Untuk yang tadi." Jawabnya datar.

"Em.. eng-enggak," Jawabku lagi-lagi gugup. Padahal, aku tak lagi menatap netra hitamnya.

Aku mencoba meraih coklat batang itu untuk mengusir kegugupanku, mengusir kecanggungan yang tiba-tiba menyelimuti kami. Perlahan kami makan dengan diam, menatap langit yang tak lagi biru muda, warnanya telah dipadu jingga muda.

Perlahan, kecanggungan yang ada pada diriku mulai pudar. Seketika aku ingat sesuatu.

"Oh, iyya, Mas bilang makasih tadi untuk apa?"

"Untuk semuanya," jawabnya singkat tanpa menoleh padaku.

"Semuanya?" aku tidak mengerti jalan pikirannya.

Mas Yasfhi lebih merapatkan posisinya, memutar kepalanya agar tepat menatap mataku.

"Ya, terimakasih sudah mau menjadi istriku, mau menemaniku dengan sabar--." Mas Fhi menangkup wajahku lembut. "—dan terakhir, terimakasih sudah mau menjadi istri sepenuhnya untuk mas."

Mukaku kembali menghangat, degup jantungku tak lagi teratur, dan Mas Fhi mendekapku erat. Aku mebalasnya tak kalah erat, menyembunyikan rona diwajahku. Jantung Mas Fhi dapat kurasakan berdetak lebih kencang, beradu dengan detak jantungku yang tak terkendali.

Terimakasih, Oh Allah, terimakasih telah hadirkan rasa senikmat ini, nikmat yang tidak akan pernah dirasakan orange-orang yang belum halal.

Cklek.

"Akbar Yasfhi?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top