Bab 27 (2)


Mas Fhi memang pergi, tapi tak lama kemudian dia datang. Pergerakan kasur terasa.

"Keylha, Kamu nangis?"

Tuh, kan. Udah tahu aku sesenggukan gini masih ditanya coba. Jadi, aku biarkan saja itu pertanyaan tanpa jawaban.

"Keylha, ngadep sini ke mas." Aku hanya menggeleng.

"Ayo dong, Key. Jangan kayak anak kecil gini. Kamu ngertiin mas dikiiiiit aja, mas capek, capek juga ngadepin kamu gini, membingungkan," keluhnya panjang dengan suara yang melemah tapi penuh penekanan.

Aku tetap tak bergerak. "Terserah kamu, mas capek mau tidur." Dan ... tangisku semakin pecah.

Detik berikutnya dengkuran halus terdengar. Aku mencoba meredakan tangis dan ikut terlelap, tapi sampai waktu yang lama aku masih tak bisa terlelap.

Ya Rabb, aku telah membuatnya marah. Maka ampuni aku.

Dan sampai suamiku memaafkanku, Allah pun tidak akan memberi maafnya sebagaimana ridhaNya ada pada ridha suamiku. Aku gelisah tak menentu. Bagaimana jika aku tertidur dalam keadaan tidak Mas Fhi ridhai, Mas Fhi sedang marah padaku, kemudian Allah takdirkan aku untuk kembali kepadaNya. Sungguh aku akan mati dalam keadaan tidak baik.

Bagaiaman aku akan menghadap Tuhan dan mendapat berbagai macam pertanyaan tentang tanggung jawabku sebagai istri? Hiks. Aku harus meminta ridha Mas Fhi, aku harus meminta maaf padanya.

Akhirnya aku berbalik dan tampak wajah lelahnya yang mendengkur menghadapku. Aku ragu untuk membangunkannya. Tapi, mau tidak mau aku harus membangunkannya.

"Mas Fhi, hiks. Mas, bangun, Mas. Hiks. Mas Fhi." Jujur aku tak tega membangunkan wajah lelahnya yang terlanjur pulas, tapi bagaimanapun aku harus mendapat maaf darinya.

Mas Fhi tetep tidak bangun. Maka aku goncangkan sedikit lengannya hingga pergerakan kelopak matanya terbuka. Mata itu berat rasanya untuk dipaksa terbuka dan menatapku sendu. satu tangannya menangkup pupuku yang tidak menempel pada bantal.

"Kenapa?" suaranya serak.

"Hiks. Maaf ganggu tidur, Mas." Dia hanya menanggapi dengan senyum sambil memejanmkan matanya. "Maafin juga sudah bikin Mas Fhi marah. Maafin Keylha yang gak ngertiin Mas Fhi. Padahal Keylha bisa bahas besok setelah capeknya Mas hilang."

Mas Fhi menarikku dan di dekapnya. "Maafin mas juga yang gak bisa nahan emosi, sudah marahin kamu," katanya terdengar berbisik di sela-sela telinga. Sedang aku tetap terisak dalam dekapan hangatnya. "Mas benar-benara capek hari ini, tapi kamu nyambut mas begitu. Maafin mas sudah bentak kamu."

Aku mencoba melepas pelukannya tapi tangan Mas Fhi semakin erat memelukku. "Gak papa gini. Mas pernah baca tapi nggak tahu diaman. Katanya kalau istri marah cukup di peluk. Dan semalam mas melupakan itu untuk di praktekkan dan membuktikan benar tidaknya."

Aku mendongak, menatap rahang kokoh yang bergerak karena berbicara banyak. Padahal tidurnya aku ganggu. "Mas gak marah tidurnya keganggu?" Jawabannya hanya menggeleng kemudian melepas dekapannya.

Mas Fhi menegakkan punggungnya dan menarik tanganku untuk terbangun juga. Tangannya bergerak untuk menghapus sisa buliran yang membasahi pipi.

"Kamu kenapa belum tidur?"

"Hiks. Key takut Allah panggil Key dalam keadaan membuat Mas Fhi marah. Hiks. Key takut menghadap Allah dalam keadaan berdosa. Hiks."

"Sudah jangan nangis. Maafin mas sudah marah."

"Keylha yang harusnya minta maaf," selaku dalam isak.

"Udah jangan nangis. Kamu masih mau dengern alasan tentang Rayyan?"

Aku mendongak, menatapnya yang telah hilang mata pekatnya. Sepertinya aku benar-benar mengganggu tidurnya hingga hingar binger begitu.

"Mas Fhi gak ngantuk? Kan mas capek. Tidur lagi aja," ucapku sambil menahan tangis, menghapus jejak-jejak air yang membasahi pipi.

Kedua tangannya meraih tanganku lalu di genggamnya. Tatapannya tidak di mataku, tapi di tanganku. Senyum yang tadi terukir menyejukkan, kini berubah. Bibirnya terbuka dan mengatup seperti ragu apa-apa yang akan di sampaikan.

"Kantuk mas hilang. Jadi kita selesaikan soal ini malam ini lalu tidur. Mas gak membawa beban dalam tidur, kamu pun tak membawa banyak pikiran. Biar tidur kita nyaman."

aku akhirnya mengangguk mengiakan saat Mas Fhi mendongakkan kepalanya enuntut jawaban dariku.

"Sebenarnya, awal-awal nikah Mas sudah nemuin Rayyan di pesantren. Mas ingin dekat sama adik-adik mas layaknya adik sendiri.

"Dari situ perlahan Rayyan mulai membuka apa-apa yang mengganjal di hatinya. Di umur segitu, harusnya dia memang telah lulus SMA tapi dia hanya lulus menengah pertama."

Aku masih menyimak penjelasannya tanpa mengalihkan tatapan dari mata seriusnya. aku seperti menemukan banyak rahasia disana.

"Kamu tahu kenapa mas bantu dia bisa kuliah dan ikut persamaan SMA?" 

hanya gelengan kepala yang kusuguhkan untuk menjawabnya. "Karena anak semuda Rayyan sudah bisa berpikir dewasa. mas juga melihat diri mas di masa lalu." 

Tatapannya mengantung, membiarkan aku menatap rambut-rambutnya menggantung. 

"Rayyan bilang, dia ingin jadi orang sukses. dia ingin seperti mas, bisa berdiri dan bertanggung jawab atas ibu. pun dengan Rayyan. dia bilang hanya dia laki-laki dalam keluarganya yang baktinya tetap pada ibunya. ke empat saudaranya akan berpisah dan ikut suaminya masing-masing.

Dari situ genangan mulai membuncah dan menuntut untuk keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top