Bab 27 (1)
bismillah..
warning.... cek typo ya... abis nulis langsung up. udah ngantuk pula, pengen gak up tapi takut kena punnishment baca 56 part. huhuu...
part ini paanjaang banget. aku bawain besok yah lanjutannya.
selamat membaca....
semoga suka yaa...
.
.
.
Aku nggak habis pikir bagaimana Mas Fhi menyimpan semuanya dariku. Kalimat-kalimat mamah masih lekat di kepala.
"Mamah nggak punya niat sekolahin Rayyan, enggak sama sekali. Apalagi kuliahin. Tapi Yasfhi tiba-tiba nemuin mamah, minta izin buat sekolahin Rayyan sekitar dua bulan yang lalu. Awalnya mamah nggak izinin, Yasfhi cuma menantu mamah. Mamah nggak mau bebanin dia. Tapi Yasfhi bujuk mamah. Yasfhi bilang, berarti mamah nggak nganggep Yasfhi anak mamah juga. Kalo bener mamah nganggep Yasfhi anak mamah juga, maka keluarga mamah juga tanggung jawab Yasfhi. Mamah nggak bisa apa waktu itu, Key. Perkataan Yasfhi nggak ada yang salah. Justru mamah merasa di tampar."
"Iyya, tapi bagaimana anggapan orang-orang, Mah? Keluarga Keylha seolah manfaatin Mas Fhi saja."
Mamah terisak saat mengungkapkan itu semua. Adzan Magrib sudah terdengar tapi Mas Fhi juga belum pulang. Aku sudah menelfonnya, tapi jawabannya sebentar lagi. Selalu begitu.
Hanya telfonku yang diangkat, sedang pesanku belum dibaca sama sekali.
Me: Mas, udah malem, pulang. Keylha mau ngomong sesuatu [3 emot marah]
Aku tahu ini pesan ke sekian yang tidak akan pernah di abaca sampai pulang. Tapi rasa kesalku membuatku tak mau berhenti meramaikan notifikasi HPnya.
Me: Mas Fhi.
Me: pulang.
Me: Mas Fhi.
Me: pulang
Me: Mas Fhi.
Me: Mas Fhi.
Me: Mas
Me: Mas Yasfhi
Me: aku ngambek nih
Me: Mas Fhi.
Me: Mas Yasfhi
Me: Astaghfirullah. Mas Fhi....
Me: Akbar Yasfhi
Me: pulang, ih.
Me: oke cukup. Cape bujuk Mas Fhi pulang. Jangan ngchat balik, jangan telfon. Aku gak mau.
Setelahnya aku bergegas keluar karena mamah sudah memanggil untuk solat Maghrib berjemaah.
"Aa' kemana, Mah?"
"Solat di pesantren."
"Nggak balik lagi?"
"Balik ntar, mau ketemu Yasfhi katanya."
Teh Ayna datang, aku memulai iqomah dan mamah yang menjadi Imam. Ini momen yang selalu aku rindukan. Sejak kecil mamah selalu disiplin ngajarin anak-anaknya berjemaah di rumah, sedang Babah ke masjid kecuali lagi sakit. Berharap aku bisa mencontohnya.
Usai solat, kebiasaan kami tetap berada di tempat hingga waktu solat isya tiba. Sela-sela waktu terserah kami masing-masing mau mengisi dengan apa. Dzikir atau mengaji. Tapi tidak dengan Te Ayna, si kecil Azka bahkan terkadang menangis sebelum solat selesai di laksanakan.
Sampai pukul delapan pun tidak ada tanda-tada Mas Fhi akan pulang, pesan yang aku kirim benar-benar tak terbaca. Menelfonnya? Ah, aku terlanjur marah padanya. Seharusnya aku tidak begini, aku tidak perlu marah. Tapi, yang Mas Fhi lakukan sudah melampaui batas. Dia terlalu ikut campur urusan keluargaku.
"Aa'," panggilku saat Rayyan fokus dengan benda berlayar di depannya.
"Kenapa, Teh?" tanyanya tanpa melihatku.
"Dari mana dapet laptop?"
"Di pinjemen Bang Yasfhi," jawabnya hati-hati dan memutar kepalanya agar bisa melihat ekspresiku.
"Aa' yang minta kuliah ke Abang?"
"E, enggak, Teh." Takut-takut dia melirik dan kembali fokus pada layar di depannya. Tepatnya pura-pura fokus.
"Aa' ngerti nggak sih perasaan teteh?"
"Perasaan apa, Teh?" tanyanya polos.
"Bang Yasfhi itu Cuma kakak ipar, A'. nggak usah deh minta macem-macem, apalagi kuliah."
"Aa' gak minta. Justru Bang Yasfhi yang nawarin--."
"Dan Aa' iakan?" Rayyan hanya mengangguk. Umur kami memang hanya selisih dua tahun, tapi Rayyan menghormati aku sebagai tetehnya, menghargai aku yang lebih tua darinya.
"Kenapa?"
"Karena Aa' pengen kuliah, Te."
"Terus siapa yang mau biayain? Mau ngandelin mamah? Teteh nggak kerja yang mau bantu. Dan akhirnya Mas Fhi yang mau nanggung semuanya?"
Rayyan menutup laptopnya. Netranya awas menatapku. Tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.
"Aa' ngerti nggak sih posisinya teteh? Apa orang bilang kalau teteh nikah cuma mau manfain Mas Fhi?"
"Kamu loh yang bilang bahwa penilaian orang itu gak penting."
Aku tersentak saat suara yang menjawab bukan dari Rayyan, justru dari arah pintu. Disana Mas Fhi berdiri dengan kantong hitam di tangannya, pun senyum yang seolah ingin merayuku agar luluh dan tidak marah padanya.
Aku menatapnya dongkol lalu pergi ke kamar tanpa menanggapinya. Ya Allah, maafin Keylha. Ku lirik jam beker sudah menunjukkan pukul Sembilan kurang sepuluh menit. Kulihat lagi handphoneku, bukan berharap mendapat balasan, tapi aku benar-benar tidak habis pikir padanya bagaimana bisa se-abai itu.
Terdengar suara Mas Fhi dan Rayyan berbincang. Perbincangan mereka kurang jelas karena bisik-bisik. Mungkin takut penghuni rumah yang lain terganggu.
Berikutnya Mas Fhi masuk kamar. Aku sengaja berbaring membelakangi arah pintu. Beberapa kali Mas Fhi mencoba membujukku untuk bicara, bahkan dia membawa dengan di selipkan tangkai mawar putih di dalamnya. Aku jadi ingat Rihanna melihat mawar putih. Dia suka yang putih-putih.
"Key, mas ngerti kamu marah karena mas nggak kasih tahu sebelumnya. Mas minta maaf." Aku tetap tanpa respon.
"Key, maafin Mas," bujuknya sambil mengguncang lenganku.
Akhirnya aku bangun, duduk menghadapnya, menatapnya geram.
"Apa? Mas mau apa? Pesan nggak di bales, telfon nggak diangkat. Diangkatnya Cuma beberapa sekali padahal panggilannya puluhan kali. Keylha ini apa, Mas, ha? Sekarang terserah mas deh, mau kuliahin Rayyan kek, Daniyah sekalian. Biar saja orang-orang mengira Keylha yang bujuk Mas, Keylha manfaatin Mas.
"Keylha tahu mamah udah gak bisa kuliahin kita, tapi gak gini caranya, Mas. Mas ngerti ngak sih, Keylha gak bisa terima apa-apa dari orang. Mas udah baik, terlalu baik malah."
"Oh, jadi kamu nganggep Mas orang? Cuma karena mas bukan Ilyas?" suaranya terdengar sarkas. "Mas capek, Key. Kamu bisa nggak sih ngertiin sedikit." Suaranya semakin naik.
Aku tak pernah mendengar Mas Fhi marah. Tapi kali ini? Ada ribuan palu yang seolah mencoba meremuk-remukkan isi di dada, mencoba di hancurkan agar menjadi kepingan.
"Astaghfiurullahaladzim." Lirihnya, kemudia penglihatan yang telah kabur ini melihatnya seolah menggusar rambutnya dengan frustasi. Saat genangan ini mulai luruh, tampaklah bagaimana wajah lelah sekaligus menyesal.
"Maafin mas, Key."
Terlambat. Hati aku terlanjur sakit, terlanjur perih, sesak, dan yang bisa kulakukan hanya menangis.
Aku kembali merabhkan punggungku, membelakanginya lagi, menatap tembok polos dan membiarkan mata ini mengeluarkan sesaknya.
"Maaf, Key, Mas gak bermaksud."
Tubuhku semakin terasa bergetar. Isakan semakin kuat dan hidung tersumbat membuatku susah bernapas.
"Key. Wudhu dulu yuk biar tenang. Mas tenang kamu juga tenang." Aku tetap abai. Sentuhan Mas Fhi di lengan lepas. Kasur bergerak kemudian suara pintu terdengar di tutup, pun suara ketipak langkah yang mulai menjauh.
Aku tergugu sendiri. Tak pernah melihat Mas Fhi semarah itu. Apa aku keterlaluan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top