Bab 21
Seperti arahan Ilham, aku benar-benar tidak memberi tahunya perihal tips itu saat Mas Fhi bertanya. Selanjutnya tiada respon darinya, sama seperti kehadiran Ilyas yang seolah bukan masalah baginya.
"Mas Fhi, pulang ke rumah Mamah ya?" Dia hanya mengangguk.
"Sekalian Key nginep di sana boleh?" Lagi-lagi hanya anggukan sebagai jawaban. Aku bosan, aku kesal. Selalu saja seperti itu.
Ku perhatikan wajahnya yang seperti menyimpan banyak sesuatu di sana. Tapi apa?
"Tadi Mas Fhi keluar kemana?"
"Ada keperluan." Jawabannya singkat sekali.
"Iyya kemana?" Nadaku seolah memaksa.
"Tadi tuh Ilham nanyain Mas Fhi pergi kemana, tapi apa yang Key tahu? Key kayak istri bohongan aja gitu yang nggak tahu suaminya kemana, chat juga gak dibales, telpon gak diangkat.
"Yang wajib izin keman-mana itu memang istri, suami nggak wajib izin sama istri kecuali izin mau nikah lagi.
"Tapi setidaknya, Mas, kasih tahu mau kemana, mau ngapain dan lain-lain. Bukan apa, tapi untuk menghargai keberadaan istri. Apa gunanya punya istri tapi tiap orang tanya istrinya gak tahu.
"Dengan Mas begitu, Key ngerasa nggak dihargai keberadaannya tahu. Key kayak yang vuma dibutuhin buat nemenin ibu, bukan jadi istri. Kalo gitu kenapa gak sewa orang saja, jangan nikahin orang."
Emosiku diatas rata-rata. Aku cuma mau Mas Fhi tahu. Aku kesal padanya. Tapi tersebab apa? Intan? Atau hanya pelampiasan perihal kedatangan Ilyas yang tak diharapkan?
Apa aku perlu membandingkan lagi dengan Ilyas? Ah, stop, Key. Membandingkan hanya membuatmu lebih sakit. Aku kesal pada Mas Fhi mungkin karena aku juga kesal pada diri sendiri? Ah sudahlah.
Sampai dirumah mamah, seperti biasa siang menjelang sore mamah berkutat dengan buku-bukunya atau Quran didalaminya.
Usai menyalami Mamah, aku ke kamar berkutat dengan buku kesayangan. Apa aku bawa saja ke rumah Mas Fhi?
Arghh. Bukannya aku harus melepas apa-apa yang berkaitan dengan Ilyas? Termasuk buku ini. Apa aku perlu membuangnya?
Tidak, tidak. Kenangan adalah kenangan, bagian dari hidup yang pernah terlewatkan.
Kubuka lembar terakhir yang kutulis dengan tinta biru.
Kamu harus bahagia Key
Bersama siapa pun. Tidak harus aku.
Kala itu perdebatan sengit antara aku dan Ilyas terjadi. Ilyas bilang aku harus bahagia bersama siapa pun. Sedang bahagiaku ada padanya.
Bagiku Ilyas segalanya. Karena padanya aku menemukan sosok pelindung setelah kepergian Babah, sosok pemimpin yang menuntunku bukan menuntut.
"Kenapa di tolak, Key?" Tanyanya enteng sekali. Seolah hatinya bukan untukku. Tentu saja ada rasa perih waktu itu mengingat dia seolah berharap menerima pinangan itu.
Iya, pinangan pertamaku--pinangan sebelum Mas Fhi. Aku menolaknya karena bagiku masa depanku masih panjang, terlebih laki-laki yang aku temui bukan kriteria yang aku harapkan. Intinya jauh sekali dari harapan di masa depan.
"Maumu aku harus menerima? Lalu --" aku kesal kala ia memotong ucapanku yang belum selesai. Padahal aku ingin bilang bagaimana dengan hatimu yang seolah tidak masalah.
"Jangan bilang alasan kamu menolak adalah aku?"
What? Kalau aku jawab iya, kira-kira apa jawabannya?
Dan ternyata jawabannya, "gak gitu caranya, Key. Kalo sikapmu begitu, disini aku yang salah. Kita memang komitmen buat jaga hati masing-masing, tapi tidak untuk saling mengikat."
Jeda.
"Kamu harus percaya takdir. Kalau jodohmu aku, siapa pun yang menghadang akan di hilangkan, pun jalan untuk menyatukan akan di permudah.
"Jangan menolak hanya karena aku alasannya. Aku belum tentu yang terbaik. Barang kali yang datang adalah terbaik untukmu menurut Allah.
"Sekali lagi jangan gantungkan harapan pada manusia sepertiku. Aku lemah. Terakhir jangan gantungkan kebahagiaanmu padaku. Bahagia itu bisa kamu raih dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kamu mau.
"Kamu gak harus bersamaku untuk bahagia."
Perkataan Ilyas tepat banget panahnya pada sasaran. Tapi kala itu logikaku tidak berjalan. Perasaan dan egoisme lebih mendominasi.
Aku marah, aku kesal. Dan sejak percekcokan itu Ilyas menghilang. Pesannya singkat, padat dan jelas.
'Aku harus bahagia', katanya.
Dan selanjutnya, mamah tak meminta persetujuanku lagi perihal pinangan. Beliau memutuskan sendiri. Tentu saja aku tak bisa berontak atau menolak seperti sebelumnya, terlebih aku tak lagi puny alasan bertahan. Ilyas menghilang.
Tiba-tiba sepetong coklat yang sudah terkupas dari bungkusnya teronggok dihadapanku. Aku paham betul tangan itu milik siapa. Siapa lagi jika bukan pelengkap separuh agamaku?
"Katanya coklat bisa mengurangi beban pikiran," katanya datar dengan senyum simpulnya.
Cokalat itu yang dia beli saat kembali kekantor, buah tangan yang selalu dia bawa. Tapi tidak bohong jika aku senang. Karena pada dasarnya aku suka makan, suka ngmil, dan ada rasa hangat saat Mas Fhi tahu dan mengerti tentang hal itu.
Tapi, lagi-lagi aku harus kembali diragukan atas sikapnya yang manis dan penuh kasih sayang padaku tapi tidak ada respon tentang Ilyas.
Apa yang aku mau? Dia marah dan cemburu atas kehadiran Ilyas? Atas dasar apa aku mau dia begitu? Karena harus punya cinta untukku? Sedang aku sendiri belum mencintainya.
Dia menatapku sambil makan coklat. Tatapan yang bagiku sulit diartikan. Karena jujur, aku tak banyak menatap mata laki-laki kemudian bisa aku tafsirkan dia kenapa dan sedang apa didalam pikirannya. Pengalaman menentukan katanya, dan aku tak berpengalaman sama sekali perihal menatap laki-laki. Dari kecil hingga dewasa hidupku di pesantren yang jauh dari kaum adam.
"Mas Fhi kenapa?"
"Gak papa," senyumnya menyertai
"Boleh kutanya?" Dia hanya mengangguk.
"Siapa Intan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top