Bab 20
Usai kepergian Ilham, kucoba abaikan vas bunga itu dan menelusuri ruangan ini kembali. Disisi kanan, banyak buku-buku berderet di sana. Yang kukira Mas Fhi tidak suka baca, ternyata aku salah. Kuhampiri beberapa deret buku yang tertata rapi. Ternyata buku-bukunya hanya buku tentang elektronik, desain dan lain-lain.
Aku mencoba mengelilingi ruangan ini lagi tapi pikiranku tidak focus, tulisan Intan seolah tergambar jelas di ingatanku, pun nama Intan yang tertera di layar handphon Mas Fhi.
"Kamu tahu siapa Intan?"
Akhirnya aku memilih menanyakan hal ini di ruangan sebelah, ruangan dimana Ilham terlihat serius dengan benda-benda berkabel yang tak kupahami.
"Ha? Intan?" tanyanya mengalihkan fokus dari benda di depannya ke ambang pintu.
"Iyya, Intan. Tadi aku baca nama di Vas bunga."
"Oh, Itu Vas punya Intan." Apa? Aku tidak salah dengar?
"Siapa Intan?"
"Lo mending tanya Yasfhi siapa Intan bagi dia. Kalo lo tanya gue, jawabannya dia temen gue."
Siapa Intan bagi Mas Fhi? "Ma-maksudmu?"
Dan perbincangan kami terhenti saat orang yang baru pertama kali kulihat datang dan pintunya terhalang olehku.
"Permisi. Boleh saya lewat?"
Pintu otomatis disangganya agar tidak tertutup. Padahal sepanjang bicara dengan Ilham aku sekuat tenaga menahan pintu untuk tak tertutup. Meski pada dasarnya pembatas ruangan ini adalah kaca bening, aku tetap saja merasa tidak nyaman jika berduaan dengan orang asing, terlebih baru aku kenal.
"Pacar lo, Il?"
"Kenapa kalo pacar gue?"
"Ya pacar gak baik lo biarin pacarnya berdiri nungguin."
"Duduk, Mbak!" seseorang dengan senyum ramahnya mempersilahkan aku agar tidak berdiri. "Jangan suka berdiam diri di pintu mbak, kata orang tua tettelnya muter balik."
Aku hanya mengangguk dan menggeret kursi—yang disodorinya—ke depan pintu yang sudah dia sangga.
"Enggak bakalan bailik, wong tettelnya udah dimakan. Iya 'kan, Key?" Ilham mengerling. Dih, tipe cowok banyak tingkah nih.
"Maksudnya?"
"Namanya Keylha, istri bos kita."
"Oh, Maaf mbak, dikira pacar Ilham. Cantik soalnya," pujinya. "Ilham suka gonta-ganti dan biasanya cantik-cantik," lapornya seperti merasa bersalah telah salah presepsi.
"Kenalin nama saya Andro, adik tingkat Mas Yasfhi di kampus."
Aku cukup mengangguk untuk menanggapi, karena setelahnya aku enggan berbicara lagi. Ruangan dipenuhi perbincangan keduanya yang tak aku mengerti. Sayagnya pendengaranku harus difokuskan lagi kala laki-laki bernama Andro menyebutkan nama Intan.
"Bang Yasfhi kemana? Tadi di depan ada mbak Intan tapi gak jadi masuk karena nggak ada motornya."
"Ssstt," suara Ilham seperti menginstruksi untuk tak bicara lagi.
Aku yang tadinya mengotak-atik HP untuk menanyakan keberadaan Mas Fhi beralih menatap keduanya. Ilham yang tertangkap melototi Andro tiba-tiba menggaruk leher kanannya dan Andro yang membalas tatapan Ilham tak mengerti.
"Intan siapa And?" tanyaku hati-hati.
"Itu mbak, masa lalu bang Yasfhi." Aku melirik Ilham yang berdeham sambil menatap Andro—yang tak menatapnya—dengan geram.
"Masa lalu ya?" Andro mengangguk dan tatapannya beralih pada Ilham yang memanggilnya.
"Lo lupa apa gimana? Yang bicara sama lo istri Yasfhi. Lo bisa jaga perasaan nggak sih?" sarkas Ilham yang membuat Andro keder.
Andro memutar kepalanya ke arahku dengan rasa bersalahnya lalu meminta maaf. Bagiku tidak ada yang perlu di maafkan dalam hal ini. Andro hanya berusaha jujur.
"Gak perlu minta maaf, nggak ada yang salah."
Setelahnya aku berlalu meninggalkan ruangan itu. Aku memilih menyendiri di ruangan Mas Fhi, mencoba mencari buku yang bisa ku baca untuk mengalihkan semuanya.
Aku bingung bagaimana harusnya hati ini merespon. Ingin bilang sakit dan kecewa, sayangnya semuanya masih abu-abu. Tapi untuk bilang tidak rela, aku bilang ada sedikit disana. Ingin kutepis semuanya saat respon Mas Fhi atas kehadiran Ilyas biasa saja seakan aku juga tidak berhak cemburu atas apapun tentangnya, tentang masa lalunya, pun tengtang apa-apa yang berhubungan dengannya.
Tiba-tiba pintu berderit, terbuka sepatuh dan menampilkan sosok Ilham disana.
"Jangan salah paham sama yang dikatakan Andro." Sedikit kutarik ujung-ujung bibirku untuk menanggapi.
"Masa lalu yang di maksud Andro sebatas perasaan tidak sampai pada ikatan." Aku mencoba mencerna perkataan Ilham yang tak ku mengerti. "Dulu Yasfhi hanya menyukainya, belum sempat mengungkapkannya. Tapi Intan keburu dijodohkan. Kejadiannya udah lama, sekitar tujuh tahun yang lalu," lanjutnya lagi.
"Aku nggak masalah," kataku sambil menggerakkan kepala ke kanan-kiri untuk meyakinkannya.
"Kalo lo gak percaya, bisa tanya gue apa yang ingin lo tahu. Kita bertiga sekelas dan tentunya aku tahu semuanya meski Yasfhi mencoba menutupinya. Dia itu laki-laki yang kurang berpengalaman soal perempuan.
"Andai lo tahu bagaimana frustasinya dia setelah lo bilang harus bikin lo jatuh cinta. Itu pun aku tahu pas dia nyari kertas kecil yang katanya udah di keraskan agar tidak sobek dan meminta bantuankau mencarinya." Aku melotot menanggapi itu. Pasalnya rasa bersalah kembali menggerogoti dan yang pasti malu karena sampai Ilham tahu.
"Tapi sepertinya tips-tips dari gue berhasil sampe bikin dia senyum-senyum sendiri akhir-akhir ini."
"Tips-tips apa?" suara baritone menyela dari belakang Ilham.
"Eh, kaget gue. Pake salam kek. Yaudah gue permisi nyonya Yasfhi, jangan bilang tips apa, oke?" aku terkikik melihat tingkah Ilham yang seperti maling tertangkap basah pemiliknya.
Ilham berlalu dan Mas Fhi masuk ke ruangan dengan buah tangan yang diserahkan padaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top