Bab 2

To-tok-tok

"Key ini mamah."

Kuhembuskan napas yang tadi mulai tersentak. Kukira Mas Yasfhi, ternyata mamah yang mengantarkan beberapa bingkisan berbalut kertas motif. Ya, ini ciri khas anak santri. Sore tadi aku tak luput mengundang teman pondokku, teman kuliahku. Haru-biru tentu terjadi antara kami, apalagi saat mereka menanyakan apakah aku masih akan lanjut kuliah? Tentu saja aku sendiri tidak tahu bagaimana jawabannya.

Mengingat kuliah, mamah tidak pernah tahu soal kuliahku. Mas Yasfhi? Tentu saja dia tahu. Sebelum menikah, dia memberikan handphone genggam yang kali ini kupegang, dia menanyakan apa-apa yang menyangkut diriku, termasuk kegiatanku dipondok. Kala aku bilang sebenarnya aku gk pengen nikah, aku kasih alasan bahwa aku masih kuliah, ingin melanjutkan sampai tuntas.

Tapi, disini kutanya lagi diriku. Apa benar kuliah adalah alasannya? Disisi lain aku tidak mau membatalkan pernikahan yang terlanjur aku iyyakan. Aku sudah bilang padanya bahwa mamah tidak tahu perihal ini. Saat Mas Fhi tanya bagaimana aku membayar kuliah, tentu saja aku gunakan uang jajan dari mamah.

"Key, jatah bulananmu mamah kurangi, ya, kan kamu nggak sekolah."

"Yah, Mamah, kok dikurangi, sih? Jangan donk, please!"

"Mamah nggak akan ngurangin uang jajanmu, tapi ada yang mau mamah bilang. Kemarin ada laki-laki yang kerumah sama ibuknya, anaknya baik, mamah udah kenal. Kamu nikah ya? Tanggalnya udah ditentuin, 3 bulan lagi. Jadi nanti kamu pas pulangan nggak usah balik lagi, nanti mamah pamitin."

Aku ingat banget kalimat-kalimat mamah yang tanpa sadar membuatku patah. Dari awal mamah memang ngelarang aku kuliah karena masalah biaya, kedua adikku saja tidak disekolahkan. Aku mending punya ijazah SMA sedang mereka tidak punya. Kepergian babah benar-benar mengubah segalanya.

Perihal bujukan Mamah soal menikah itu, kalau boleh aku menolaknya aku akan menolaknya. Tapi dengan alasan apa? Dengan alasan aku masih ingin menuntaskan kuliah dan akhirnya Mamah tahu kalau aku kuliah diam-diam? Atau alasan karena ada seseorang yang aku tunggu? Sedang seseorang itu sudah tiada sejak pinangan pertama yang aku tolakdadaku rasanya ada yang menghimpt mengingat itu, mengingat Ilyas yang juga tiba-tiba menghilang.

Maka tidak ada pilihan lain selain menerima. Tapi, apakah aku benar-benar menrima? No, ini masih berat bagiku, rasanya benar-benar seperti mimpi bahwa aku adalah seorang istri dari Akbar Yasfhi.

Berkali-kali aku menarik nafas dan menghembuskannya kasar. Berpikir keras bagaiamana caranya agar tidak tidur berdua. Aku belum siap jadi istri. Sungguh. Ada kesal, takut, dan degub jantung yang menyerang namun tak seperti yang aku rasakan saat akad tadi pagi. Mungkin ini wajar karena aku tak terbiasa berdua dengan laki-laki asing yang bahkan aku baru menemuinya minggu lalu.

Lamat-lamat aku masih mendengar perbincangan para bapak-bapak muda yang masih ramai membahas perekonomian masyarakat. Seketika mengerahkan segala ide bagaimana caranya. Aku tidur lebih dulu dan bangunnya sudah ada dia? Oh no.

Ya Allah, sungguh aku benci situasi seperti ini, andai boleh aku menghilang, ingin rasanya menghilang dan balik ketika sadar bahwa semua ini mimpi. Sayangnya berandai-andai adalah perbuatan yang tidak Allah sukai. Pun ini bukan film. Tiba-tiba satu notifikasi pop up muncul di layar benda persegi yang diberinya sebulan lalu.

KakPutri

Key? Kamu beneran bahagia?

Kak Putri sudah sampaikah?

Jangan mengalihkan. Dijawab yang jujur. Ok?

Harus ya?

Nggak harus, tapi wajib.

Kak Putri bisa saja, setidaknya ada sedikit hiburan untuk menenangkan hati yang tak karuan.

Key bahagia kok, Kak.

Tapi bohong? Bener nggak?

Sok tahu nih kak putri. Hihihi [emot tertawa berjejer tiga]

Key?

Iyya?

Kamu bahagia?

Iyya, Key bahagia.

Bener?

Setidaknya meski Key nggak bahagia, harus pura-pura bahagia, Kak.

Berarti senyummu palsu?

Ada ya senyum palsu?

Kenapa tetap dijalani kalau tidak membuatmu bahagia?

Kak Putri sendiri?

Tok tok tok

Seketika kulempar benda pipih yang kupegang. Perbincangan dengan kak Putri terputus bersamaan dengan aliran darahku yang juga seolah terhenti. Gugup, kesal, benci, dan ... entahlah.

Aku tahu itu pasti dia. Kenapa masih ketok pintu? Mintanya dibukain? Manja banget, dasar Om-Om. Akhirnya dengan hati lelah dan terus menggerutu, aku memutari kasur untuk menuju pintu dan membukanya.

Astaghfirullah. Harusnya aku tidak boleh bersikap seperti ini, dia suamiku.

Tidak ada sapaan, kami berdua sama-sama hening dalam berhadapan. Aku yang mengalah, mundur dan melangkah menjauh, kudekati meja belajar, mengambil selembar kertas untuk kutuliskan sesuatu disana. Aku tidak peduli dia mau apa, sedang apa, yang aku tahu dia harus membaca kertas ini sebelum tidur.

"Enggak setua umurnya, kok. Gak cocok dipanggil Om."

Sekelebat bisikan Hanna tadi pagi menyebul dalam ingatan, membuyarkan sedikit konsentrasi berpikirku. Baik, kali ini aku setuju dengannya, Rihanna Shabira, sahabat terbaik yang aku punya, yang rela ke Jember hanya karena ingin menghadiri pernikahanku.

Usai menulis, aku menghampirinya yang telah terbaring sempurna, merenggangkan otot-otot kekarnya. Kuulurkan separuh kertas yang sengaja kurobek dan kembali ke meja belajar. Aku tidak mau tidur se kasur, sungguh ini sesuatu yang tabu bagiku berdua dengan laki-laki asing di kamar.

Heuft.

Ternyata begini menjalani pernikahan tanpa cinta? Semuanya kaku, canggung. Aku lelah Tuhan. Kubiarkan kepala tergeletak di atas meja beralaskan buku catatan yang biasa kupakai untuk kuliah.

Nangis, nangis, dan nangis lagi. Begitu yang kulakukan selama tiga bulan terakhir. Menolak perjodohan pun bukan pilihan. Maka aku harus jalani ini bagaimanapun caranya, bukankah ini sudah keputusanku untuk tak membuat mamah kecewa?

Aku tidak perduli kertas-kertas kosong dan bertinta ini basah karena airmataku, aku tidak perduli. Malam ini, aku harus janji pada diriku sendiri, ini adalah terakhir kalinya aku menangis, aku bukan anak kecil lagi, bukan anak gadis lagi, biarkan saja kubawa air mata ini terlelap, berharap ia akan senyap.

Lima menit berlalu, sesak masih terasa, mata enggan terpejam. Akhirnya kupilih untuk tegak, menghapus sisa hujan dari mataku, memutar kepala 180 derajat, ingin memastikan ia benar-benar membaca kertas yang kuberikan.

Ia masih terlihat menyender di depan dipan, tapi kepala disangga sebelah tangan, sedang tangan satunya masih memegang kertas yang kuberikan, ditatapnya tanpa pergerakan. Wajah sedikit tertunduk membuatku melihat jelas pahatan Tuhan pada hidungnya yang begitu sempurna, sedikit terhalang rambut-rambutnya yang bergelantungan.

Arghh. Kenapa malah memperhatikannya? Aku tahu wajah lelahnya bercampur raut yang sulit untuk didefinisikan. Tapi biarkan saja, apa peduliku? Dia hanya perlu membacanya, menyimpannya dalam-dalam, menulisnya ulang dalam ingatan.

Aku memang tidak mencintainya, tapi aku bisa berusaha mencintainya, dan akan lebih mudah jika ia yang membantuku untuk mencintainya. Tapi untuk kali ini, aku lagi tak ingin berusaha, biarkan dia saja yang berusaha membuatku jatuh cinta.

Aku kembali pada posisi semula. Jujur, aku belum bisa menerima pernikahan ini. Aku benci, aku kesal: kesal pada diri sendiri, kesal pada semua orang, kesal pada takdir Tuhan yang bagiku kurang adil. Kenapa Tuhan menciptakan rasa jika pada akhirnya akan dipatahkan?

Kling.

Satu notifikasi pesan masuk dari seseorang. Saat kubalikan benda kotak dan membuka siapa pengirim pesan, membuatku menoleh pada seseorang yang berada beberapa meter dibelakang yang sudahmerebahkankembalipunggungnyadiataskasur, mendekaperatbantalpanjang. Kenapa masih mengirim pesan jika bersuara masih bisa terdengar?

Mas Yasfhi

insyaAllah aku ngerti. Ini memang konsekuensi yang harus kuhadapi [emot senyum tulus]

tanpa membalas, aku memutar ulang kepala ke belakang, memastikan sang pengirimpesan. Dia seolah nyaman dengan keadaan, bahkan setelah tulisan pada kertas kecil yang kuberikan. Kukira akan ada pesan lanjutan untuk memintaku tidur di kasur dan dia yang mengalah tidur di kursi belajar, atau pesan perhatian agar aku tak terlelap disini. Nyatanya aku salah, berekspektasi terlalu tinggi itu membuat patah. Dasar, om-om nggak peka.

***

Tok tok tok.

"Key."

Punggungku terasa nyilu, tulang leher terasa patah. Aku benar-benar tertidur di kursi berbantalkan buku catatan di atas meja. Kucoba renggangkan otot-otot saat bunyi ketukan terdengar lagi, berdiri lalu merenggangkannya lagi. Aku memutar tubuh ke belakang, hendak melihat seseorang yang tidur di kasur dengan nyaman tanpa memikirkan seseorang yang tertidur di meja belajar. Ternyata sudah tidak ada, kemana dia?

Ish, kenapa aku malah mengurusinya. Kesal sebenarnya, dia tipe orang yang nggak peka, atau memang tipe laki-laki yang kurang perhatian? Oh Allah beri aku kesabaran jalani ini semua.

Dan kesalku semakin bertambah saat ketukan pintu mengisi telinga. Kulirik jam beker diatas meja. Masih jam 3 dan dia sudah hilang? Ini lagi orang masih waktu tahajjud sudah sibuk membangunkan. Aku menggerutu sambil berjalan untuk membuka pintu, Astaghfirullah. Disisi lain aku berterimakasih, karena jika tidak dibangunkan, barangkali aku telat melaksanakan ritual malamku denganTuhan.

Saat kubuka pintu, ternyata Mamah. "Kamu belum bangun?"

"Ini Keylha sudah bangun."

***

Ini masih petang, dan para krucil belum bangun, tapi para tetangga yang membantu ,ulai berdatangan. Enatah untuk apa, padahal acara sudah selesai. Barangkali masih mau membantu perabotan yang berantakan.

Aku mencoba mengalihkan kekesalan dengan membantu bang Iwan nyapu di halaman.

"loh, loh, manten baru kok mau nyapu?"

Lah terus kenapa? Manten baru ada larangan gak boleh nyapu?

"Key, kok malah disini? Ditungguin mbak Dini loh dari tadi." Kini Teh Ilana yang bersuara, membuatku bingung melihatnya yang juga kebingungan.

"Mbak Dini?" aku tahu mbak Dini petugas MUA yang mendandaniku kemarin. Tapi untuk apa dia kemari? Bukankah peralatannya sudah dibawa semua? Atau mungkin ada yang ketinggalan?

Segera ku berlalu ke kamar, meski enggan karena ada mas Yasfhi dikamar, aku harus tetap kesana, membiarkan mas Yasfhi berdua dengan mbak Dini nggak baik, bukan mahram, kecuali sudah halal. Ah, dasar aku, ngawur.

Sampai didalam, mbak Dini memintaku duduk. Iyya duduk dikursi belajar, kursi yanga sama yang kududuki kemarin untuk didandani, pun kursi yang sama untuk tempat tidurku semalam.

Aku yang benar tidak tahu bahawa hari ini aka nada acara lagi, aku akan berdiri berjam-jam, berposes didepan undangan seperti kemarin, memasang topeng yang entah seberapa tebal agar tak terlihat bagaimana hati ini bergumam kesal. Hari ini aku harus mengulang lagi, hari yang melelahkan dengan gaun berat, make up tebal. Argh aku kesal, benci semua orang.

Mas Yasfhi keluar, mungkin paham dan aku bersyukur, rasa kesal dan sesal rasanya menghimpit dadaku. Pagi itu emosiku tersulut, percekcokan kecil terjadi bersama mbak Dini yang baru kenal kemarin.

"Apa? Pokoknya Key ngga mau didandanin." Dan ini bukan nada yang dibilang meninggi, mbak Dini pasti merasa dimarahi anak kecil sepertiku.

"Tapi, Key-"

"Jadi pengantin tuh ribet, Mbak. Berat, susah, bikin pusing tau nggak. Mbak nggak tahu sih rasanya. Bisanya cuma ngdandanin, nggak tahu ngerasain," umpatku panjang lebar. Sejujurnya aku tidak tahu Mbak Dini pernah merasakan jadi pengantin atau tidak, aku hanya kenal kemarin sebagai periasku. Jadi mana mungkin aku tahu dia sampai seluk-beluknya.

Aku yakin orang-orang pasti mendengar teriakanku. Suaraku bukan lagi meninggi, tapi sudah emosi. Bisa-bisanya orang-orang menyusun acara tanpa persetujuanku.

Tiba-tiba suara daun pintu ditekan, muncul seorang perempuan yang membuatku jengkel sepagian, dengan wajah bingungnya bertanya melalui tatapan mata pada Mbak Dini.

"Nggak mau didandani,"jelas Mbak Dini dengan suara pelan, berharap tidak menambah emosiku.

"Kenapa, Key?"

"Kenapa nggak bilang kalau hari ini ada acara lagi, hah?"

Tampak Teh Ayna yang nanap menerima kalimatku, ia mencoba menghirup udara dalam-dalam, lalu dihempaskannya dengan kasar. Tatapannya beralih pada perempuan disampingku. Aku tidak tahu isyarat apa yang keduanya perbincangkan.

"Key, disana udah siap semuanya, masa mau batal hari ini hanya karena kamu nggak mau didandani?" the Ayna mencoba menekan suaranya lembut.

"Aku nggak mau ya nggak mau.jangan maksa donk."

"Kamu kok gitu ngomongnya?" terdengar suara yang naik beberapa oktaf.

"Kenapa?" emosiku juga semakin tersulut.

"Jangan egois lah, Key. Mamah ini bayar." Bentak Kak Ayna.

"Siapa yang Egois? Key atau kalian yang nggak ngasih tahu? Bikin acara se-enaknya, ini acaranya Key, tapi apa? Keylha robot? Atau boneka yang hanya jadi pajangan dan nggak perlu tahu apa-apa, ha?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top