Bab 18
Aku nggak ngerti sama Mas Fhi, dia berharap aku membalasnya? Lalu bagaimana dengan hatinya? Tidak adakah rasa cemburu jika aku membalasnya?
Aku 'iya' saja jika harus membalasnya. Tapi apakah dia mengerti kalau hal itu kulakukan untuk menjaga perasaannya, untuk menjaga perasaanku, terutama untuk menjaga agar hatiku yang mulai nyaman tak lagi goyah.
Argh. Pada dasarnya semua tentang Ilyas tak bisa kutapik, dia berbeda. Aku tahu kesalahannya adalah mendekatiku, membuatku nyaman dan akhirnya tenggelan dalam rasa yang belum tentu Tuhan ridha.
Terlebih, berkali-kali aku bilang pada diri sendiri kalau ini salah, Ilyas salah. Tak seharusnya kita berbagi kisah atau membahas banyak hal dalam telfon yang isinya hanya berdua lalu akan desebut khalwat?
See? Mungkin berbicara lewat telfon atau saling chatingan dengan non mahram adalah hal yang terdengar biasa. Tapi yang pernah aku dapatkan bahwa telfonan atau chatingan dengan lawan jenis juga disebut kholwat.
Seperti yang aku alami, merasa diterbangkan, senyum-senyum sendirian. Tidak mungkin kalau aku bilang tidak membayangkan bagaimana ekspresi Ilyas ketika mengungkapkan, atau membujukku ketika sudah ngambek.
Hey, bukankah itu bagian dari halusinasi? Membiarkan kepala berkelana pada sosok yang bukan mahram disana?
Ah, aku pernah menyesalinya. No, bukan pernah, justru kali ini aku masih menyesalinya. Tapi kenapa aku terlambat. Aku menyesal setelah semuanya berlalu, itu pun karena aku baru tahu bahwa berbicara lewat telpon genggam bisa mengakibatkan zina pikiran.
"Key."
Sayup-sayup seperti ada yang memanggil, padahal langit masih gelap. Aku tetap terpaku pada langit gelap dari balik jendela kamar. Tadi, bacaan Quranku buruk. Entah kenapa fokusku kemana-mana, tidak pada tulisan bertinta yang membaca akan mendapat kemuliaan.
"Keylha."
Aku menoleh. Mas Fhi muncul dengan tampang cemas. Aku tak mengerti kenapa, padahal aku hanya duduk sambil menatap langit.
"--mamah."
"Ha? Kenapa mamah, Mas?"
Mas Fhi menggusar kasar rambut bergelantungnya.
"Kamu kenapa, sih, Key?"
Kalian tahu? Mas Fhi tak pernah memanggilku Keylha, terlebih setegas itu. Yang membuatku merasa berbeda adalah senyumnya. Biasanya semarah apapun dia padaku, se kesal apapun padaku dia tak pernah marah.
Oh, jangan lupa cara dia memanggilku 'Keylha'. Panggilan itu mirip banget sama logat Ilyas, seperti ada sesuatu yang membumbui suaranya kala memanggil namaku.
Dulu, Ilyas ingin memanggilku Zakiya, tiga kata yang akan lebih susah pelafalannya daripada Keylha. Tapi aku yang melarangnya. Aku tidak suka, karena jika dipanggil pendek dalam satu kata pasti pilihan orang-orang adalah 'Kiy atau Za' yang semua panggilan unik itu seperti nama anak laki-laki.
"Keylha."
Kali ini suaranya lebih naik lagi seoktaf. Aku benar-benar lupa apa pertanyaan Mas Fhi hingga membuatnya geram.
"Mas tanya apa tadi?"
Raut Mas Fhi menunjukkan dia telah jengkel tapi berusaha ditahan. Yang dia lakukan justru tersenyum tapi tidak dengan matanya. Langkah kakinya diayunkan untuk mendekat ke arahku.
Tib-tiba mushaf yang kupegang beralih pada tangannya. Ia meletakkan pada dipan baru yang kata ibu memang di sediakan untukku. Ibu begitu sayang padaku layaknya anak sendiri. Tapi akunya saja yang masih merasa canggung padanya.
Setelah meletakkan mushaf, Mas Fhi kembali padaku, menanyakan apa gerangan yang membuatku akhir-akhir ini termenung.
"Enggak. Keylha gak merenung, Mas."
"Iyya nggak termenung tapi hanya bengong, iyya 'kan?"
"Apasih, Mas Fhi. Udah deh sana berangkat kerja," todongku mendorongnya yang begitu dekat.
"Langit warna apa, Key?"
"Biru," jawabku asal.
"Coba lihat keluar."
Gelap, hitam pekat. Tatapanku berbelok lagi kepadanya dan menampilkan gigi-gigi yang selalu kagum karena Tuhan takdirkan dia tumbuh dengan rapi.
***
Pagi yang sama dengan hari dan waktu berbeda. Biasanya ada Teh Anis yang akan terlihat mengumbarkan diri untuk sekedar menyapa pagiku.
Ah, aku ingat beberapa hari yang lalu Teh Anis bilang akan ke rumah ibunya untuk menginap beberapa hari, dan tentunya dia juga bilang bahwa ada rasa was-was setiap kali ke pulang ke rumahnya, takut bertemu masa lalunya.
Teh Anis bilang, dia yang pergi ninggalin lalu nikah sama suaminya. Sampai Teh Anis punya anak, si masa lalu tetep nghubungin Teh Anis, bilang nasih sayang dan lain sebagainya.
Hal itu juga membuatku takut. Aku takut akan hatiku yang masih saja merespon kala Ilyas datang menghubungi. Terlebih aku kembali ragu, apa aku benar-benar harus melepasnya? Untuk siapa? Mas Yasfhi? Bahkan dia sendiri seolah tidak ada masalah dengan kehadiran Ilyas.
Dari sini aku mulai ragu tentang katanya yang mencintaiku. Apa benar cinta bisa di devinisikan semudah itu.
Aku terperanjat kala sentuhan dibahu terasa. Kuputar kepala ke kanan. Ibu ternyata sedang tersenyum.
"Kamu kenapa to nduk? Ibu perhatikan akhir-akhir ini sering melamun sampe salah-salah. Tadi di panggil Akbar sampe berkali-kali nggak denger."
"Eh? Iyya tah, bu? Dimana Mas Fhi?" Kuputar retina ke segala arah untuk mencari sosok yang katanya memanggilku tapi di abaikan.
"Masih ke kamar mandi."
Tidak ada jawaba dari pertanyaan ibu dariku perihal apa yang membuatku sering begini, karena pada nyatanya aku sendiri tidak tahu.
Ah, mungkin aku tahu tapi berusaha abai, menganggap semuanya masih berjalan dengan semestinya. Padahal tidak begitu. Kemarin ibu memintaku untuk mengambilkan lengkuas, tapi justru yang ku ambil jahe. Ibu tertawa dan beranjak sendiri. Padahal aku bukannya tidak hafal rempah-rempah. Beberapa bulan bersama ibu memberiku banyak pelajaran termasuk membedakan mana kunyit dan mana temu lawak yang keduanya sama-sama kuning.
Mas Fhi muncul dengan wajah basahnya. Ibu memintanya untuk mengajakku keluar. Mungkin aku butuh refreshing, kata ibu. Ibu juga bilang kalau seminggu terkhir ini aku suka berdiam diri, suka melamun.
"Kalau kerjaanmu banyak setidaknya kamu bawa kerja. Nggak masalah toh? Kan kamu bosnya, sekali-kali bawa bu bos." Ibu tertawa girang setelah menggoda Mas Fhi.
Bu bos? Jadi Mas Fhi bosnya? Sebenarnya kerjanya apa sih? Bukannya cuma tukang benerin laptop?
"Key? Mau ikut nggak?"
"Eh? Kenapa, Mas? Ikut apa? Eh kemana maksudnya?" Duh dasar aku.
Ibu terkikik kecil. "Ikut Yasfhi ke tempat kerja."
"Tapi Keylha belum siap."
"Mas tunggu sambil manasin mobil."
Aku berlalu tanpa ingin mengerti kenapa manasin mobil. Padahal Mas Fhi udah mandikan motornya pagi buta tadi dan sudah dipanaskan.
.
.
.
Publish: 17 Oktober 2020
Ig: melodybisu
KBM: melodybisu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top