Bab 17

**Warning_ini pakai pove 3 (pove penulis)**

"Kita sama, Key. Kamu dilahirkan dari seorang ibu, aku pun begitu; Kita sama-sama berpijak dibumi, berdiri dibawah langit; aku manusia, kamu pun juga. Lantas apa yang membuat berbeda?" katanya kukuh.

"Yas, kamu nggak paham. Coba kamu ngaca."

"Enggak ada kaca dikamar," potong Ilyas saat masih tersambung percakapan dalan telfon.

"Ish, bohong. Foto yang berkemeja biru kotak-kotak memegang hp di depan cermin lemari itu dimana kalo bukan di kamarmu?"

Terdengar suara Ilyas yang tergelak, mengelak pun Keylha kalah telak, sudah terlanjur malu mendeskripsikan fotonya begitu detail.

. "Ciee ... hafal banget sama fotoku, rinci sama warna bajunya, jenisnya. Aku bergaya bagaimana yang itu? Ganteng nggak?" goda Ilyas lebih lanjut, ingin mengalihkan pembicaraan yang mungkin bagi Ilyas itu menyakitkan. Ia terlanjur nyaman, terlanjur menjatuhkan hati pada gadis bermata bulat yang sedang ia dengarkan suaranya dengan menggerutu kesal.

"Auk ah, kamu mengalihkan topic."

"Mengalihkan bagaimana, Key? Kan benar kamu segitu rincinya, aku merasa jadi orang yang ngangenin, ditatap setiap hari gambarnya, ditatapnya lekat-lekat." Ilyas terkikik usai menutup kalimatnya.

"Gus, saya serius," ujar Keylha yang mulai kesal. Keylha tahu, laki-laki dibelahan bumi yang lain ini akan berhenti menggoda karena sudah kesal sendiri dengan panggilan 'Gus' tadi.

"Aku nggak suka ya, Key." Nadanya terdengar serius, gelak tawanya yang terdengar hilang begitu saja.

"Mau bagaimana pun, ajunana tetap Gus, nggak bisa mengelak itu, nggak bisa lari dari tittle itu," jelas Keylha kukuh. Tak ada lagi suara dari seberang, hanya desahan nafas yang seolah kesal, frustasi, dan benci. Tapi mencoba menahan, pasrah, dan menyerah.

"Saya hanya perempuan biasa, Gus. Perempuan sederhana dari keluarga biasa-biasa saja."

"Key," suaranya memohon, "please, jangan manggil 'Gus' seserius apapun kita bicara, aku udah jelasin kita sama, nggak ada yang beda, kan? Buat aku kamu nggak perlu jadi 'Ning' untuk bersanding dengan seorang 'Gus,' karena yang terpenting buat aku ... kamu cukup jadi diri kamu sendiri yang mau mendampingi aku, menerima kekuranganku, mau jadi ibu dari anak-anakku." Jangan tanya bagaiamana respon hati Keylha, zat endorphin bertebaran disana.

"Tapi, Gus," rajuknya lagi, "saya nggak pinter, saya nggak cantik, saya—"

"Kamu cantik dengan sendirinya," potong Ilyas lembut, "dan pembahasan yang sering kita debatkan panjang lebar tentang kitab-kitab kuning tak bermakna, apa masih tidak cukup membuktikan kepandaianmu, kelihaianmu? berhenti merendah hanya karena kamu ingin mundur. Bilang kalau kamu nyerah, nggak usah bahas kemana-mana." Suara Ilyas menyerah, pasrah. Tidak terdengar kilatan suara yang marah sedikitpun, justru suaranya melemah.

Dan Keylha memutuskan sambungan sepihak. Apa katanya? Mundur? Setelah bagian hatinya diambilnya, dimiliki tanpa sengaja, mengisi relung hatinya penuh. Dan Ilyas bilang mundur? Keylha tidak se naif itu, dia hanya merasa harus sadar diri, hanya merasa insecure dengan apa yang Keylha miliki.

Sejujurnya, Keylha telah terbang dengan semua ungkapan Ilyas, tentang Ilyas yang masih menganggapnya istimewa, menganggapnya berharga, membuatnya merasa di spesialkan.

***

Dering Handphonnya terdengar, nama Ilyas terpampang dan Keylha enggan mengangkatnya, enggan untuk berdebat panjang lagi. Walau Keylha tahu, Ilyas menelponnya pasti untuk meminta maaf. Selalu begitu setiap Keylha kesal, ngambek, marah, walau pada dasarnya Keylha sendiri yang membuat kesalahan.

Itulah kenapa Keylha tak segan-segan menjatuhkan hatinya pada laki-laki diseberang yang tengah menelfonnya berkali-kali dan menyerah ketika ia paham perlu jeda untuk mengembalikan mood gadisnya. Hal sepele seperti ini yang Keylha sukai, laki-laki itu selalu mengalah, tak pernah marah meski Keylha yang salah. Tapi, perihal mundur, pembahasan itu masih membekas, menyisakan kekesalan entah sampai kapan.

Tapi, pada akhirnya saat panggilan Ilyas tak lagi tertera de layar Hp-nya, Keylha gelisah, khawatir, apakah Ilyas marah? Bukankah selama ini dia tidak pernah marah? Atau dia menyerah? Oh, tidak, Ilyas tidak boleh menyerah, Keylha harus bertindak, paling tidak ia menelfonnya balik. Tapi, ego Keylha menguap, ini bukan dirinya, biarkan saja begitu.

5 menit berlalu. Masih tidak ada notif apapun dari seberang, padahal Keylha menunggunya. Dan kali ini Keylha menyerah, ia menggeser tombol darurat yang langsung terhubung dengan nomer Ilyas. Tidak perlu menunggu lama, sejak panggilan itu tersambung, sejak itu pula angka detik panggilan mulai berjalan.

Keylha bungkam, ia tak pernah melakukan ini sebelumnya, tapi kehawatiran untuk kehilangan Ilyas adalah sebuah ketakutan untuk dia hadapi.

"Key?" akhirnya, suara dari seberang membuat Keylha bernafas lega.

"Hmm."

"Maaf, aku tidak bermaksud—"

"Iyya." Keylha memotong ucapan Ilyas telak.

Terdengar desahan nafas dari seberang yang melepasnya bebas, Ilyas seolah lega.

"Jadi, jangan pernah bahas masalah ini lagi, ya?" Keylha mengangguk meski ia yakin seseorang yang suaranya ia dengar tak akan pernah melihat jawaban yang Keylha berikan.

"Key," panggil Ilyas lembut. Suara ini yang selalu Keylha suka, panggilan lembutnya, suara itu seolah membujuk Keylha untuk tak kemana-mana, bertahan apa pun rintangannya, penguat kala ia tumbang dengan masalah yang ia hadapi.

"Keylha," panggil Ilyas lagi lebih tegas namun masih terdengar halus dipendengaaran Keylah.

"Hmm," jawab Keylha singkat. Ada banyak alasan kenapa bibirnya masih terkatup, enggan berbicara dengan seseorang yang baginya segalanya.

"Buku yang aku kirimkan ke lewat Rayyan, sampai?" lagi-lagi Keylha hanya mengangguk.

"Key," tegas Ilyas lagi.

"Iyya, makasih."

"Kamu suka?"

"Suka," balasnya singkat.

"Kamu masih marah?"

"Enggak."

"Jawabnya masih singkat. Yaudah aku matiin dulu biar marahmu re—"

"Jangan," sergah Keylha memotong kalimat Ilyas. Jujur saja ini adalah sesuatu yang konyol bagi Keylha, ia dibuat malu sendiri. Kentara sekali ia masih rindu.

Sedang di seberang terkikik sendiri, selalu suka dengan tingkah Keylha, menggemaskan, ingin ia cubit pipi chubbynya kalau saja ada didepannya.

"Oke, nggak aku matiin. Terus mau ngapain?"

"Eh?" Keylha terkaget mendengar pertanyaan Ilyas.

"Aku beli bukunya di Gramed deket Universitas Jember, Key. Aku Cuma mau lewat aja, tapi inget kalo kamu suka buku. Tapi sepertinya, aku salah ambil buku—"

"Nggak salah kok," potong Keylha, "Aku suka bukunya, sukaa banget, seneng deh tambah banyak koleksi buku aku. Dua sudah aku baca, satunya yang belom."

"Jangan keseringan begadang, Key. Sesuka apapun kamu sama buku tetep jaga kesehatan, jaga mata jangan sampe capek, jaga tubuh jangan sampe lupa makan, jaga minum jangan sampe dehiderasi."

"Iyya," jawab Keylha senang dengan rentetan perhatian dari Ilyas.

"Aku tahu kamu, kalo sudah ketemu buku suka abai sama sekitar, apalagi sama diri sendiri, suka lupa makan, suka lupa minum, suka lupa waktu, itu bahaya, Key, apalagi sampai ...."

Ilyas sengaja memberi jeda kalimatnya. "Sampai apa?" sergah Keylha tidak sabar.

"Apalagi sampai lupa aku." Suara tawa Ilyas terdengar, sedang Keylha masih menetralisir deru di dadanya. Ilyas selalu bisa membuatnya tersipu. Bagaimana bisa ia akan berpaling? Bahkan mundur. Keylha masih menyayangkannya.

"Key."

"Hmm."

"Itu bahaya."

"Apanya bahaya?"

"Kalau kamu sampe lupa aku." Ilyas terkikik lagi. Suka sekali menggoda gadisnya ini.

"Ish, iyya ihh."

Setelahnya panggilang berakhir karena Ilyas punya tanggung jawab dirumahnya.

***

Itu adalah bagian tersulit untuk aku membuat lupa tentang kehadiran Ilyas. Sikap manis Ilyas, selalu ngerti aku, tahu gimana ngemongin aku, tahu bagaimana ngobatin rasa kesal dan ngambekku, terlebih tahubagaimana memebimbingku kala sikapku di atas kewajaran.

"Key," tiba-tiba suara Mas Fhi terdengar, sepertinya dia telah terlelap, tapi terganggu karena aku yang bergerak gelisah ditempat tidur. "kamu belum tidur?"

"Belum," jawabku tanpa berbalik arah menghadapnya, aku masih menatap tembok-tembok, dan tentu saja masih memegang benda pipih yang layarnya sudah gelap.

Tiba-tiba kasur bergerak, tangan Mas Fhi tiba-tiba muncul dan meraih Handphone yang aku genggam. Akhirnya aku memilih duduk dan berbalik menghadapnya. Kuperhatikan cahaya yang menerangi wajahnya, membuat wajah itu jelas berkerut dibagian keningnya, membuat kedua alisnya mendekat.

Mas Fhi menghela nafas, lalu tatapnnya beralih padaku. "Kenapa nggak dibales?"

Tanpa menjawab, aku hanya mengangkat kedua bahuku. Mas Fhi meletakkan HPku didekatnya, memintaku untuk terlelap.

Kenapa nggak dibales? Kenapa? Mas Fhi berharap aku akan membalasnya? Atau ... ah sudahlah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top