Bab 16
Ada yang nunggu nggak ya?
wkwk .... sebelumya cuma mau bilang sudah mulain konflik bathin Keylha yang udah mulai nyaman sama Yasfhi.
happy reading.
.
.
.
"Mas Fhi."
"Hmm." Dia masih focus sama laptop rusak.
Aku baru tahu kalau kerjaannya benerin laptop dan aku baru sadar banyak laptop berserakan di bawah televise.
"Kapan selesainya?" tanyaku yang menunggunya. Pasalnya belum ada coklat hangat yang dia buatkan mala mini.
"Sebentar lagi." Tanpa mengalihkan fokusnya.
Beberapa menit kubiarkan, berharap ada pertanyaan 'kenapa' setelah 'sebentar lagi'. Tapi nihil.
"Udah malem loh, Mas."
"Iyya, tahu."
Ish. Nyebelin banget 'kan jawabannya. "Mas Fhi nggak mau buat coklat hangat?"
Dia memutar kepalanya untuk bisa melihatku. "Bilang aja kamu nunggu coklat, bukan karena malem."
Kepalanya diputar lagi kembali pada laptop di hadapannya. "Iya Keylha nunggu coklat. Tapi ada yang pengen Key bilang."
"Bilang aja, Key. Mas dengerin, kok," katanya yang masih setia duduk dilantai tanpa alas dan hanya tampak punggungny dari penglihatanku.
"Duluuu sekali, sebelum sama Mas Fhi, sebelum kenal—" aku ragu. Maka aku membuat jeda. Bagaimana responnya? Harusnya dia tanya 'kenal siapa?' tapi yang dilakukannya hanya menoleh dengan raut tanda tanya.
"—kenal Ilyas." Mas Fhi tahu Ilyas. Hanya sebatas tahu nama dan juga seseorang yang aku kenal dekat.
"Keylha punya cita-cita sederhana, pengen punya suami yang biasa ngimamin Key sholat, atau rajin ke masjid biar jadi contoh buat generasi agama dan Negara di masa depan." Sengaja kupakai istilah generasi, karena istilah anak rasanya berat untuk kuuraikan.
Pergerakan Mas Fhi pada laptop terhenti. Dia beralih mengamatiku. "karena guru pertama seorang anak adalah orang tuanya. Key pengen punya generasi yang meramaikan Masjid, rumah Allah. Key ingin mengajarinya mencintai masjid." Aku tertunduk menatap seprei ungu muda di depanku. "Jadi Mas mau 'kan bekerja sama untuk cita-cita sederhana, Key? Mas mau cita-cita ini juga menjadi cita-cita, Mas?"
Ragu-ragu aku mendongakkan kepala, menatap Mas Fhi yang sepertinya tatapannya tak beralih sedikitpun dariku. Saat mata kami bertemu, ujung-ujung bibirnya tertarik dan mengangguk. Terakhir yang kulihat pergerakannya menutup laptop dan beranjak keluar.
Kling.
Gatget sepi yang sedari tadi kumainkan untuk menunggu Mas Fhi tiba-tiba menunjukkan notifikasi. Sebenarnya malam belum larut. Jam masih menunjukkan 19.57, tapi rasanya aku ngantuk ingin segera tidur. Tapi merasa ada yang kurang jika belum minum coklat buatan Mas Fhi.
+26xxxxxxxxx
Assalamualaikum, Key.
Key.
Waalaikumussalam. Siapa?
+26xxxxxxxxx
Ini aku, Key. Ilyas.
Muhammad Alif Ilyas. Kalo kamu lupa.
Deg.
Aku memindahkan handphone dari penglihatan yang mulai panas.
Dadaku berdesir. Ada rasa hangat ketika seseorang yang sudah dianggap segalanya hadir, namun ada luka pula yang tertaut, menyisakan sesak di dada. Penglihatanku kabur, menggenang tanpa diminta, sedang gatget yang kugenggam bersuara tanpa jeda.
Aku tahu, itu adalah pesan dari orang yang sama. Tidak mungkin Mas Fhi, dia sedang didapur membuatkanku coklat hangat.
Kuraup udara dalam-dalam lalu di lepas perlahan untuk menyesuaikan deru di dada, pun sesak yang menghambat pernapasan. Setelah dirasa tenang, aku kembali menghadapkan mata pada layar yang memunculkan pesan berderet dari nomer yang tak disimpan.
+26xxxxxxxxx
Maaf, Key.
Maaf untuk semuanya, maaf sudah hilang kabar tanpa jejak.
Maaf kalau sikapku nyakitin kamu.
Maaf, Key. Aku tahu aku salah, aku pengecut, lari tanpa menjelaskan.
Harusnya sebagai laki-laki, aku tidak begini, harusnya aku bertanggung jawab pada anak gadis orang yang telah kuambil hatinya. Aku pengecut, Key, lari karena sakit sendiri tanpa berfikir bahwa kamu juga akan sakit.
Kenapa baru sadar sekarang? Dulu kemana? Aku membacanya perlahan, menekan dada dalam-dalam, agar sakit yang kurasa mundur perlahan.
+26xxxxxxxxx
Maaf, Key. Aku tahu berapa kalipun maafku tidak akan mengembalikan semuanya, kamu akan tetap terluka. Tapi, Key, aku pergi karena alasan. Tapi, mau beralasan seperti apapun mungkin kau tak akan menerima.
Sungguh, Key. Aku tahu mamah mu, aku tahu keluargamu. Aku pergi karena tak ingin menjadi penyebab mamahmu kecewa padamu, Key. Aku tak ingin kamu menolak kehadiran orang-orang baik karena menungguku yang belum tentu baik untukmu. Tuhan lebih tahu porsi untuk kita, Key.
Dan, terimakasih Key, terimaksih pernah menjadi bagian ceritaku, pernah menjadi pelangi di hari-hariku.
Dan terakhir, selamat atas pernikahanmu. Barokallahu laki wabaroka alaikuma wa jama'a baynakuma fii khair.
Sakit sebenarnya, tapi abaikan. Barangkali kita memang bukan jodoh. Walau aku bilang kamu yang terbaik untukku, tapi jika Allah telah bilang bukan kamu, aku bisa apa? Meski kamu bilang aku yang terbaik untukmu jika Allah bilang bukan aku jodohmu, kamu bisa apa?
Kita cukup saling menerima, kan, Key? Menerima ketentuan Allah.
Intinya terimakasih pernah hadir, dan maaf. Maaf untuk semuanya.
Tanpa terasa, nyatanya genangan yang sejak awal ditahan luruh membasahi permukaan pori-pori pipiku. Kalimat-kalimat Ilyas mengingatkanku pada surah Al-Baqoroh ayat 216. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Terdengar gesekan kaki dan lantai yang mulai mendekati ambang pintu kamar, cepat-cepat aku mengusap sisa air yang membasahi pipi, meletakkan benda pipih yang dipegangku dan tersenyum saat seseorang tampak dihadapanku, membawakan secangkir coklat panas kesukaanku.
Ya, aku mulai suka coklat panas semenjak berada disini, mas Fhi selalu rutin membuatkannya. Saat aku tanya kenapa selalu buatkan aku coklat, jawabnya,
"Karena aku suka coklat."
"Terus karena Mas suka aku juga harus suka?"
Ia hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu kutanya lagi, "Kenapa?"
"Biar kupunya teman minum coklat hangat."
"Ya, nggak harus buatkan aku setiap hari, Mas. Mas Fhi bisa buatkan kalo mau ditemani."
"Emang sekarang kamu belum suka?"
"Suka, kan mas buatin tiap hari, jadi kecanduan deh."
"Nah itu."
"Kenapa?"
"Semua hanya soal waktu dan terbiasa, Key."
"Maksudnya?"
"Kamu lebih pintar untuk mengerti."
Aku paham kemana arah tujuan pembicaraan itu, meski aku mengakui sudah mulai merasa nyaman, tidak suka ditinggal sendiri saat malam, aku harus diam. Aku ingin memastikan hati ini bagaiaman maunya, aku tidak mau menyimpulkannya.
Setelah aku meraih cangkir putih bertuliskan chocolatos, tidak ada pembicaraan diantara kami, hanya beradu sapa lewat mata. Perlahan aku menyeruput cokelat panasnya dengan diperhatikan Mas Fhi.
"Kenapa liatin gitu sih, Mas?"
dia hanya menggeleng dan tersenyum, membiarkan istrinya bingung.
"Kamu kenapa belum tidur?"
"Nungguin Mas," balasku singkat dan tersenyum tenang, berharap tidak ada protes lagi kala aku selalu menunggunya pulang atau menungguinya bekerja seperti barusan.
"Berapa kali mas bilang, jangan nunggu mas pulang atau nungguin mas kerja seperti barusan?"
Aku hanya bisa tertunduk saat harapan tak terwujud, Mas Yashfi masih mendebatku. Aku bosan mendengar protesan Mas Yashfi yang selalu bilang tidur duluan, tidak usah menunggunya pulang.
Padahal yang dilakukan aku adalah suatu pengabdian. Itu pun karena wejangan dari Mamah. Aku juga ingin belajar menjadi istri yang sebenar-benarnya, menyambut suaminya kala pulang kerja, menyiapkan segala kebutuhannya, melayani setiap keinginannya.
Seperti yang Mamah bilang. Aku hanya ingin jadi istri yang seperti itu, tidak lebih, hal sederhana. Tapi kenapa Mas Fhi selalu memprotesinya? Ia tak akan mengerti maksudku, untuk menjelaskan pun rasanya pasti mendapat penolakan walau itu suatu kebenaran.
Bukankah hal ini juga suatu kemajuan? Dia tidak suka kah?
Mas Yashfi mengacak kepala berhijabku, "Udah nggak usah dipikirin, cepet habisin, sikat gigi dan tidur."
Aku mengangguk dan tersenyum lebar menerima kepalaku diacaak-acak olehnya, membuat hijabku berantakan. Aku selalu suka kala Mas Yashfi melakukan itu, aku juga suka kala ia mencubit manja pipiku.
"Kalo aku bilang nungguin coklat buatan, Mas, apa Mas masih mau protes?"
Mas Yashfi berbalik arah, duduk dipinggiran kasur menghadap diriku sambil tersenyum dan menganguk kecil, memberi jawaban iyya lewat tatapan hangatnya. Lalu aku ingat sesuatu tentang sebelumnya yang mengganggu hatiku, segera kuambil handphone yang ku letakkan disamping kursi hias, beranjak mendekati Mas Fhi, mengusap-ngusap layarnya, mencari sesuatu untuk ditunjukkan.
Aku yakin, Mas Yashfi merasa aneh dengan tingkah istrinya yang tiba-tiba berdiri dan mendekatinya, tampak sekali dari ekspresi wajahnya. Aku bernafash berat kala menyodorkan gatgetku yang memunculkan chat room dengan seseorang dimasa lalu.
"Siapa?" tanya Mas Yashfi bingung.
"Ilyas."
"Iyya kenapa sama Ilyas?"
"Baca aja."
Mas Yashfi menurut. Aku memperhatikan wajah seriusnya yang menghadap layar handphon. Namun, tak ditemui wajaha kecewa disana. Lama-lamat, aku mulai ragu, dia benar menyayangiku dan mencintaiku, atau ia hanya bersikap layaknya suami yang seharusnya?
Selang beberapa menit kemudian, Mas Yashfi mengembalikan benda pipih itu ke tangan ku dan berujar untuk segara tidur. Aku beranjak ke kamar mandi sebagai jawaban. Setelah keluar, aku melihat Mas Yashfi yang telah terbaring di posisinya, terlentang, menatap langit-langit kamar kosong.
Akhirnya, aku juga berbaring disampingnya, berbaring membelakanginya, mengambil handphon kembali, membalas pesan yang tak sempat ku balas karena sibuk mengontrol hatiku.
Aku mencoba untuk terlelap setelah melirik suamiku sekilas, memastikan apa yang sedang dilakukannya dan Mas Yashfi telah terpejam dengan raut lelahnya, sedang pikranku masih berkelana menyusuri pertanyaan-pertanyaan dikepala perihal respon Mas Yashfi—suamiku— yang biasa-biasa saja. Ditambah ingatanku kembali pada kenangan manis yang tercipta dengan seseorang yang mengambil penuh hatiku. Ilyas.
Muhammad Alif Ilyas. Laki-laki yang aku kenal ketika dirumah, teman dekat adikku, dan entah bagaimana kami berkomunikasi lewat pesan setiap libur pesantren. Dan perkenalan itu bermula sejak aku mulai pindah ke Jember, melanjutkan jenjang SMAku yang kurang setahun lagi usai.
Pertemanan itu berlanjut hingga dua tahun kemudian, saling mengenal, saling berbagi keluh dan kesah, saling memotivasi, dan yang pasti saling menghibur diri. Kami saling memberi kenyamanan, saling mengisi hati.
Sampai pada akhirnya, kami saling berucap janji untuk saling menjaga hati. Tapi itu tidak sepenuhnya aku terima, aku masih sadar siapa diri ini, dari golongan mana keluargaku, kami berbeda.
"Kita sama, Key. Kamu dilahirkan dari seorang ibu, aku pun begitu; Kita sama-sama berpijak dibumi, berdiri dibawah langit; aku manusia, kamu pun juga. Lantas apa yang membuat berbeda?" katanya kukuh.
"Yas, kamu nggak paham. Coba kamu ngaca."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top