Bab 13

Bersyukur. Itu yang Babah ajarkan. Apa yang aku nafikan? Padahal jelas banget surah Ar-Rahman mengulang-ngulang ayat yang sama 31 kali.

Fabiayyi 'aala'I Rabbikumaa Tukadzdzibaan. [maka nikmat tuhamu yang manakah yang kamu dustakan.]

Hening. Aku sendiri ditemani isak tangis yang mulai tak teratur. Sesekali deru motor yang melintas depan rumah terdengar. Apa seperti ini yang selalu mamah rasakan setiap hari sendiri? Kemana diriku selama ini? Kenapa baru menyadari? Apa karena aku terlalu sibuk dengan duniaku? Padahal bukan hanya kali ini aku menemani mamah, tapi tak pernah mamh tinggal.

Kukeluarkan isi yang memenuhi rongga hidung, mencoba menghentikan aliran sungai kecil di pipi. Perlahan tapi pasti, kubuka lembar demi lembar dan terbaca semua kenangan yang sempat kutulis. Kepergian babah, rasa kehilangan setelahnya lalu mencoba menghindari kenangan, persahabatan dengan Rihanna Shabira, keputusan aku pindah pesantren, pun sampai dimana lembar itu ditulis untuk Gus Ilyas.

Tidak, tidak;

Kita ini layaknya kuas

Dipegang di tangan sang pelukis kanvas;

Adalah di luar pengetahuan kita

Di mana kita terdampar kini dan lusa

[Jalaluddin Rumi]

Kalimat pertama dari Rumi yang Ilyas kenalkan kepadaku. Sya'ir itu seolah menjadi pengingat dengan keadaanku saat ini. Padahal Ilyas memberi sya'ir itu untuk menguatkan diri masing-masing tentang dirinya yang ditinggal Uminya, pun tentang diriku yang di tinggal Babah. Bahwa semua itu adalah takdir.

Kemudian yang dia bilang; kamu, aku, kita berhak bahagia. Jangan hanya karena masa lalu kita terikat dan enggan beranjak.

Begitukah? Aku harus beranjak lalu meninggalkanmu jauh dibelakang? Bagaimana denganmu? Apakah akan terus berlari walau tujuan bukan lagi aku?

Kling.

Ish. Si Hanna ganggu saja, orang mellow juga.

Hanna: Key ...

Key..

Key...

Aku: apasih?

Hanna: gapapa, gabut aja.

Sengaja tak kubalas, tapi dia tidak protes.

Aku: menurutmu, ikhlas itu apa?

Hanna: menerima.

Aku: I know.

Hanna: lha terus?

Kembali aku hanya membacanya. Lagi sedih dia ganggu, giliran dibutuhin ngeselin. Untung sayang.

Hanna: Ikhlas itu menerima. Kata bang Panji Ramdana 'mengikhlaskan bukan berarti melupakan'

Hanna: tapi key, bagi aku yang namanya ikhlas kita perlu melupakan. Nggak sepakat ya sama argument bang panji? Aku sih iyes sama kata-katanya. Tapi konsepnya gini loh, kalo kita sodaqoh 5 ribu ke masjid 1 kali terus diingat terus. Ap itu yang namanya ikhlas? Padahal Tuhan menganjurkan 2 hal yang harus kamu lupakan. Lupakan saat kamu berbuat kebaikan, karena dengan begitu kita nggak akan sombong dan riya. Seperti uang lima ribu yang aku bilang, kalau ada orang yang ngajak bersodaqoh kalau kita ingat pasti bilangnya dalam hati 'ah, kemaren kan aku sudah sodaqoh 5 ribu ke masjid, sudahlah' dan atuhnya apa? Kita nggak mau berbuat baik lagi karena merasa sudah. Iyya, kan?

Menurutku sih gitu. Karena konteks melupakan dan mengikhlaskan itu sesuatu yang berdampingan erat. Nah anjuran kedua kan kita harus melupakan keburukan orang pada kita. Karena kalau sudah lupa kita nggak akan punya rasa dendam atau sakit. Ibaratnya udah ikhlas gitu loh. Jadi nggak bakalan inget lagi dan di tandai seperti 'ituloh orang yang nabrak aku kemaren sampe jatuh'.

Tapi balik lagi ke kata pertama ya, Key. Ikhlas itu menerima. Aku nerima dia berlaku buruk kepadaku dengan artian aku berusaha melupakan keburukan itu.

Missal gini deh, kamu Cuma punya satu hati, kan?

Aku: Emmm

Pada dasarnya aku masih mencerna dan perlahan membenarkan Hanna.

Hanna: nah ibarat kamu Cuma punya satu gelas yang isinya jus jeruk, tapi disisi lain gelas yang kamu punya mau kamu tuangin susu. Emang bisa jus jeruk dituangin susu jadi susu? Yang ada jadi jus jeruk-susu dan meluap membuat kotor sekitar, sedang kamu maunya susu saja nggak ada rasa jeruknya. Maka jus jeruk itu mau nggak mau kamu buang 'kan lalu gelasnya kosong dan bisa dituangin susu.

Hati kamu nggak bisa isi dua nama, yang ada ambur adul dan meluap kek susu dan jeruk kalo disatuin terus bikin sekitarnya kotor. Kamu mau karena dua nama yang kamu paksa masuk dalam satu hati pada akhirnya banyak yang terluka, melukai orang sekitarmu, orang-orang yang kamu sayang dan berdampak buruk pada dirimu sendiri karena rasa jeruk dan susu itu aneh di lidahmu.

Aku paham maksud Hanna. Tapi bagaimana cara melupakan Ilyas? Cara mengikhlaskannya?

Ah, lagi-lagi aku terlalu memikirkannya sendiri seolah aku bisa , padahal Tuhan bilang Dia akan selalu ada. Jelas banget dalam surat Al-Baqarah ayat 186 yang isinya 'dan apabila hamba-hambaku bertanya bertanya kepadamu tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepadaku ...'

Allah sendiri berjanji akn mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Nya. Lantas kenapa aku seolah menjadi orang paling terpuruk karena tak bisa mengikhlaskan, pun menerima keadaan.

***

"Mamah tiap hari kesepian begini?" tanyaku setelah mamah datang dan kami berkutat di dapur. Tepatnya hanya mamah, aku menemnainya di ambang pintu.

"Iyya, kenapa?" pasalnya baru beberapa jam mamah tinggal aku sudah sangat kesepian. Kenapa aku melupakan banyak hal dan kenapa aku baru sadar saat merasakan sendiri. Padahal mamah sudah biasa ditinggal, bahkan sebelum aku menikah memang begini yang beliau jalanin karena semua anaknya yang belum berkeluarga berada di pondok.

"Mamah nggak merasa kesepian?" jawabannya hanya menggeleng.

"Sepi itu hanya untuk orang-orang yang nggak tahu cara manfaatin waktu, Key."

Benar. Sesendiri apapunkalau kita mampu manfaatin waktu, bisa mengisi dengan kegiatan bermanfaatapalagi disukai, pasti tidak akan merasa kesepian.







kepotong ya?

maafkan... aku benar-benar ngantuk. mata udah sipit, kegiatan seharian full dari kemaren. jadi yang penting udah mencakupu minimal word untuk update langsung up. besok deh lanjutannya percakapan mamah sama Key, oke?

typo bertebaran, aku gak sempat ngedit langsung up

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top