Bab 12


 "Mas Fhi tahu nggak?" dia menghentikan gerakannya yang hendak menyendok es krim lagi, menatapku lalu menggeleng. Kukira kalimatku yang terjeda akan dibalas 'tahu apa'.

"Kalau sedekah terbesar itu adalah seorang suami ynag menyuapi istrinya meski hanya sesuap?" [note]

Aku nggak paham ekspresi apa yang Mas Fhi tunjukkan, tapi sedetik kemudian dia kembali focus pada eskrimnya, menyendoknya dan diarahkan ke mulutku. Tentu aku yang tidak siap masih tercengang dan kaget. Sedetik kemudian aku sadar perkataanku yang seolah memintanya menyuapiku.

Memang benar aku ingin disuapinya hanya untuk betapa inginnya aku menghadirkan rasa, sampai membawa hadits dalam menyindirnya agar aku tak kerkesan meminta disuapi. Tapi dia paham tanpa kujelaskan lebih detail lagi.

Sampai tiga suapan aku belum merasakan apapun sekedar kupu-kupu bertebaran didalam ruas-ruas rusuk, atau sekedar nervous yang tak terelakkan. Kali ini aku kembali menatapnya dalam. Dimana? Dimana respon hatiku?

"Jangan natap gitu, Key, Mas takut." Tak kuperdulikan suaranya.

Hhh. Andai kamu tahu Mas, bahwa sampai detik ini aku masih berusaha mencintaimu, mencoba mengistimewakanmu. Hatiku hambar, Mas. Bagaimana cara mencintaimu? Menyayangimu? Merasakan kehadiranmu yang berarti?

"Mau disuapin lagi?" tawarnya. Aku menggeleng dan nggak sadar ternyata mangkuk es krim milik Mas Fhi telah tandas.

***

Lagi-lagi mobil ini membelah jalan. Mas Fhi nggak pernah pergi kerja dengan mobil ini. Kenapa? Aku tak perduli.

Andai Mas Fhi tahu bahwa aku muak padanya, aku bosan bersamanya. Justru karena itu aku semakin melawan rasa hatiku, mencoba untuk terbiasa dengannya agar rasa nyaman perlahan hadir.

Karena yang kutemukan dari pertanyaan 'apa alasan aku belum bisa menerimanya? Apa karena aku tidak mencintainya?' yang jawabannya adalah, semua hanya soal waktu dan aku perlu membiasakannya; membiasakan kehadiran Mas Fhi, membiasakan banyaknya waktu untuk dilewati berdua, tentunya aku harus membiasakan diri untuk lebih menghargai keberadaannya.

Karena padanya aku harus ta'dzim.

Kali ini aku tak lagi melihat bahu jalan atau lalu-lalang orang yang searah. Aku menatapnya dengan harapan aku bisa jatuh cinta, aku punya momen lebih banyak bersamanya.

Suara dering handphone Mas Fhi memenuhi mobil.

"Aku lagi di jalan, Il. Sepertinya aku akan datang agak siang."

Telfon ditutup begitu saja. Sekilas tatapannya menujuku, "jangan menatap mas seperti itu."

Aku akhirnya beralih, memilih menatap lagi diri sendiri di kaca spion. Mas Fhi kurang apa? Ilmu agamanya? Aku bisa melengkapi kekurangan itu meski pada dasarnya aku jauh dari kata baik dalam hal agama. Jujur perempuan mana yang tak ingin di bimbing? Aku pun sama inginnya dibimbing, tapi apalah daya jika Tuhan bilang aku harus melengkapi seseorang dengan kelebihanku.

Memangnya aku punya kelebihan? Biasanya aku selalu insecure kalau sudah adu argument sama Ilyas. Argh, Ilyas lagi, Ilyas lagi.

"Gak mau turun?"

Ternyata pagar putih dan rumah ber cat merah muda menjadi penyambut pertama mata. Aku selalu tak sadar kala mobil sudah berhenti.

Ini bukan pertama kali ke rumah mamah, tapi entah mengapa rasanya ada yang berat disini, ada yang harus aku tangisi.

Mamah menyambut, pun aku yang langsung memeluknya. Di bahunya tangisku tumpah. Aku nggak ngerti tangis apa ini, mau bilang rindu setiap waktu aku akan selalu merindukan sosok mamah yang cinta kasihnya tiada tara.

"Yasfhi pamit kerja dulu, Mah. Nanti balik kesini," pamit Mas Fhi.

Jadi, pagi menjelang siang itu aku ditinggal sendiri di rumah mamah, menemani mamah.

"Key, mamah harus ke undangan nikahan. Kamu mamah tinggal sendiri nggak papa?"

Aku hanya mengangguk dengan senyum sebagai pengantar.

Usai mamah pergi aku masuk ke kamar, tempat yang sudah menemaniku selama sembilan belas tahun ini. Disini aku seolah mengenang lagi malam dimana aku harus tertidur di meja belajar, pemilik tempat tapi seolah tak punya tempat dan kursi belajar adalah satu-satunya tempat.

Penglihatanku buram, tapi aku masih bisa melihat buku bersampul biru kecil yang aku selipkan diantara buku-buku yang belum aku hibahkan. Aku mengambilnya, duduk di kursi kayu kecil yang masih sama. Kubuka halaman pertama.

Terimakasih sudah menjadi bagian dari kisah

Terimakasih sudah bahagia untuk diri sendiri

Terimakasih untuk masih tetap kokoh berdiri

Jangan menangis, kamu tidak sendiri

Cinta harusnya tak pernah terpisah oleh apapun

Cinta itu ada disini, mendarah daging, bersatu dalam diri.

itu adalah halaman pembuka saat pertamakali aku harus bertahan karena kepergian Babah, aku solah bertanggung jawab menjadi sandaran Iya dan Rayyan yang masih kecil.

Bah, Keylha sudah dewasa kah?

"Keylha kan paling jelek, Bah."

"Putri Babah tidak ada yang jelek sayang, siapa yang bilang jelek? Putri babah masih punya hidung, mata dan telinga lengkap, tangan lengkap, kaki juga lengkap. Jeleknya dimana?"

"Wajahnya. Kulit Keylha paling gelap diantara Teteh dan Iya."

""Hey, Allah bilang, Dia telah menciptakanmu dengan sempurna. Sang pencipta bilang sempurna, lantas kenapa ciptaannya bilang belum sempurna? Emang Keylha bisa bikin wajah, tangan, mata, hidung dan kepala sendiri?"

Keylha kecil menggeleng. Babah mengusap kepalanya lembut.

"Keylha pernah ketemu pengemis di pintu pasar itu nggak kalau diajak mamah?"

Keylha kecil mengangguk dengan bibir cemberutnya.

"dia nggak punya kaki, tangannya sebelah, tapi dai selalu tersenyum menyambut orang-orang yang melewatinya. Kenapa? Karena dia bersyukur. Apa Key tahu ddia pernah perotes karena Allah gak kasih dia kaki?"

Keyla kecil lagi-lagi hanya menggeleng.

[note]: hadist yang dikutip dari buku Semulia Akhlak Nabi karya Amru Khalid halaman 25.

"Senyumanmu kepada saudaramu adalah sedekah, anjuranmu untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sedekah, petunjukmu terhadap orang yang tersesat jalannya adalah sedekah, engkau mengosongkan isi bejanamu untuk engkau berikan ke bejana saudaramu adalah sedekah, engkau menyingkirkan rintangan dari jalan adalah sedekah, engkau menunjukkan jalan bagi orang yang buta adlah sedekah, dan sedekah yang paling besar adalah seorang suami menyuapi istrinya walaupun hanya satu suapan." [HR. At-Tirmidzi no. 1956]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top