Tulisan Pertama : Perkenalan

Hai, saya Nana, saya seorang ibu rumah tangga muda dengan dua anak perempuan kembar yang sedang lucu-lucunya. Usia saya belum genap 25 tahun. Saya membuat tulisan ini karena saat ini saya sedang kehilangan arah,  kehilangan visi dan misi hidup, saat ini saya hanya hidup untuk hari ini. Seperti seseorang yang sedang berjalan di kabut tebal, saya tak tahu kemana langkah kaki ini akan membawa. Ini tidak baik, saya butuh penerangan untuk bisa menyelamatkan keluarga kecil saya melalui kabut tebal ini.

Sebenarnya saya adalah seorang pekerja keras, walau kehidupan tidak pernah keras pada saya. Sejak kecil saya terbiasa mendapatkan apa yang saya minta, tapi sebagai balasannya saya harus menjadi anak yang sempurna. Dan saya menyanggupinya.

Sejak SD saya selalu mendapatkan peringkat pertama dengan nilai yang memuaskan, bahkan pernah saat kelas dua SD saya mendapatkan nilai terbesar di satu sekolah. Saat itu nilai saya lebih besar, bahkan dari anak yang rangking satu di kelas enam. Semua itu tidak saya raih dengan mudah, seperti saya bilang sebelumnya, saya adalah pekerja keras, bahkan sejak usia itu.

Saya sudah terbiasa tidur malam untuk mengerjakan berbagai latihan soal, jika tulisan saya jelek, ibu saya akan menyobeknya dan saya harus mengulanginya dari awal. jika soal matematika satu saja saya luput saya akan mendaptkan tambahan 10 soal lagi dengan tingkat kesulitan yang bertambah.

Saat itu mendapatkan nilai 9 bukan pilihan, disaat anak lain berlarian dengan bangga mendapatkan nilai 9, saya pulang dengan tubuh berkeringat dingin, tangan kaki saya bergetar karena takut, bayangan kertas kertas lembar kerja yang siap dijejalkan sebagai hukuman ketidaksempurnaan angka di kertas ulangan saya sudah menghantui di depan mata.

Tapi seperti orang bijak bilang. "Early Ripe, Early Rotten" siapa yang matang duluan, dia akan busuk duluan.  Begitu juga dengan saya. Saat saya kuliah, saya sudah malas, saya sudah tidak punya semangat, apalagi saat sedang skripsi target saya hanya satu, "Lolos", itu sebuah kata depresi untuk Lulus. Rantai karbon sudah biasa menghiasi transkrip nilai saya setiap semesternya, dan syukurlah saat itu ibu saya sudah menyadari kekhilafannya. Beliau sudah tidak lagi mendewakan nilai seperti sebelumnya.

Untunglah ditahun terakhir perkuliahan itu, saya bertemu dengannya. Seorang teknisi alat baru di lab kami. karena latar belakang pendidikannya, dosen saya memperbantukan dia di proyek besar beliau yang sedang saya bantu kerjakan dan datanya akan saya pergunakan untuk skripsi saya. Karena kehadirannya saya yang sudah hampir menyerah mulai kembali melangkah.

Dialah, suami saya saat ini, seorang teknisi muda lulusan D3 yang dikirim Tuhan dari langit, saat saya benar benar membutuhkan. Haha, ok, maaf, saya mulai berlebihan. Tapi serius, kesederhanaannya benar benar mempesona, Ketekunannya membuat hal yang tidak mungkin jadi mungkin, pekerjaan yang tampak menumpuk jadi terurai dan terlihat mudah,  disaat lelaki muda lain disekitarku hanya jago berdebat dan khatam teori, tapi nol besar saat dimintai tolong memecahkan masalah yang nyata. tipikal mahasiswa di kampus ini.

Oh, ya saya belum cerita ya. Nama lelaki itu adalah, Nana, Nana Mulyana. Nama Nana memang identik dengan laki laki kalau di tanah sunda. sebut saja kenalan saya, ada Nana Suryana, Nana Permana, Nana Sujana, Nana Priyatna, dan mantan supir Ayah saya, Nana Karyana. Begitulah, dengan pola pemberian nama khas sunda, tek tek, dung dung tek, nama Nana tinggal diikuti dengan nama belakang tiga suku kata yang berakhiran Na. Nama saya juga Nana, tapi itu nama panggilan. Nama asli saya Ratna. Ratna Ayu. Kebetulan yang menurut saya takdir ini membawa keuntungan sendiri untuk saya. saat sudah menikah pun panggilan saya tetap, Bu Nana. berbeda dengan sahabat saya Vany yang setelah menikah jadi Bu Anwar. dan Euis yang kini dipanggil Bu Polma karena menikah dengan mahasiswa rantau dari Medan. 

Ok, kembali cerita tentang suami saya. Dia adalah seorang pemuda yang baik, hanya terpaut satu tahun dari saya. Status kami sudah berbeda karena dia lulusan D3 dan langsung bekerja, sedangkan saya adalah Mahasiswi tingkat lima yang seharusnya sudah lulus semester lalu.

Kang Nana, begitu aku memanggilnya, dia berasal dari keluarga sederhana, Anak pertama dengan empat orang adik. dia kuliah dengan biaya sendiri, uang pendaftaran dia pinjam dari pamannya yang juragan baju bekas di pasar Cimol. dan dia kembalikan dengan cicilan semampunya. Untuk membeli buku dan kebutuhan kuliah sehari hari, juga biaya semesteran dia bekerja serabutan, seringnya dia mengajar les anak-anak SMA, juga mengetikkan tugas teman temannya. lumayan, dari situ dia masih bisa membantu menghangatkan dapur di rumahnya, walau hanya sekedar dengan seliter beras atau sekantung plastik telur.

Cerita diatas saya dengar saat pertama kali saya mampir ke rumahnya. Tepatnya empat minggu setelah saya Wisuda, atau dua minggu setelah dia datang ke rumah, melamar langsung pada Ayah. Saat itu, mati-matian saya menahan air mata, ketika mendengar ibunya bercerita. Air mata perempuan mulia itu sudah mengalir lebih dulu bahkan saat saya datang dengan beberapa kantung plastik oleh-oleh. saya tidak mungkin ikut menangis, nanti dikira saya sedih. Saya berusaha hanya menunjukan senyum dan mengatakan betapa saya sangat mengagumi anak cikalnya itu, berakhir dengan sebuah pelukan yang tak akan pernah saya lupakan bahkan hingga sekarang, saat wanita mulia itu sudah tidak lagi bersama kami. Penyakit meningitis yang ganas telah menjadi pengugur dosa wanita tegar itu, dan menjadi jalan kembali ke haribaan Tuhannya.

Ah, keberanian Kang Nana melamar saya langsung juga menjadi cerita tersendiri, mungkin nanti akan saya ceritakan, mungkin juga tidak. yang pasti masih terbayang sorotan matanya saat dengan yakin menjawab semua pertanyaan Ayah saya. bahkan saat tingkat pendidikannya dipertanyakan juga penghasilannya yang masih sebatas UMR Kota kami yang tidak seberapa. Saat itu bahkan gaji Pak Nana Karyana supir ayah sudah lebih tinggi dari gajinya.

Singkat cerita, Kang Nana berhasil meyakinkan ayah, bahwa dengan kerja kerasnya, dia bisa menjadi imam dan pemimpin yang baik bagi keluarga kami. Dan ya, dengan izin Tuhan, dia berhasil membuktikannya. Sedikit demi sedikit kami membangun rumah tangga kami dari nol, bahkan disaat ada dua dapur yang harus dia tanggung. Nah, lalu kenapa saya sekarang berakhir menjadi ibu rumah tangga yang kehilangan arah, itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kemampuan suami saya memimpin rumah tangga. ini murni, keruwetan yang saya buat sendiri di kepala saya. Murni, masalah yang harus saya sendiri yang memecahkannya. kadang saya berpikir saya harus di rukyah, mungkin ada jin ruwet yang bersarang di kepala saya, atau mungkin saya hanya seorang wanita yang kurang bersyukur, bisa jadi. 

Dan inilah salah satu ikhtiar saya, menulis. Ya, menulis untuk mengurai, menulis untuk mencari hikmah, menuliskan kenangan yang bisa membuat saya bersyukur, menulis untuk di baca oleh saya setahun kemudian, atau saya di lima tahun, sepuluh, atau lima belas tahun yang akan datang jika saya masih hidup. siapa tahu saya yang nanti butuh diingatkan, betapa saya yang dulu memulai semua ini dengan sebuah cita cita besar. Membangun peradaban dunia yang lebih layak huni, dari rumah kecil yang kini sudah bertambah dengan dua malaikat bermata jernih yang saya yakini Allah takdirkan rencana besar dihidupnya. Si Kembar Aisya dan Fatima.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: