Tangga Emas


Hari ketigabelas, bulan sebelas.


Mater pelatihan hari ini biasa saja. Hanya mengulang olah fisik dan beberapa kali latih tanding. Aku bahkan menonton dari tepi lapangan dengan terkantuk-kantuk.

Apakah Si Bayi Besar mengalami kemajuan dengan kemampuan beladirinya atau tidak, bisa ditanyakan langsung pada orang yang melatihnya—jangan lupa tanyakan juga pada orang-orang yang menjadi lawan latih tandingnya.

Yang lebih menarik perhatianku hari ini adalah obrolan kami di saat istirahat makan siang.

Entah dari mana asalnya tiba-tiba topik pembicaraan jadi mengarah ke situ. Mungkin karena aku menyinggung soal takhayul angka tigabelas. Mungkin karena kulihat dia melahap seekor ikan goreng utuh, mulai dari menggigit kepalanya.

"Apa yang terjadi bila makhluk hidup mati?" ulangnya, setelah menelan nasi yang dia kunyah.

"Tubuhnya akan membusuk dan terurai oleh bakteri, dibantu serangga dan makhuk hidup pemakan bangkai lain hingga akhirnya habis tidak bersisa. Bila beruntung, nutrisi yang ditinggalkan bisa menghidupi tanaman yang ada di sekitar situ."

Jawaban logis yang datar tanpa citarasa. Aku kagum dia bisa menjabarkan itu semua, kemudian dengan santai menggigit ikan goreng lagi tanpa rasa bersalah. Kudengar mayoritas orang dari negeri asalnya sudah hilang nafsu makan hanya karena melihat kepala ikan atau ceker ayam di piringnya.

"...Hanya itu?"

"Ada kebudayaan yang berusaha mengawetkan mayat juga," tambahnya setelah terlihat berpikir sejenak.

"Maksudku ... Apa tidak ada dongeng atau kepercayaan bangsamu tentang apa yang terjadi pada jiwa yang telah mati?" tanyaku, agak jengkel karena dia tidak juga menangkap apa yang ingin kutanyakan.

"Tentu saja ada," jawabnya kalem. "Ada dongeng yang sering kudengar waktu kecil dulu, bila seumur hidup kau tidak pernah berbuat dosa maka jiwamu akan menaiki tangga emas tidak kasatmata, menuju padang bahagia. Di sana kau bisa bertemu dengan sanak saudara yang sudah pergi lebih dahulu."

"...Bagaimana kau bisa tahu kalau itu tangga emas, padahal tidak terlihat?"

Tawa Si Bayi Besar berderai renyah mendengar celetukan pertanyaanku.

"Aku juga berpikir begitu dulu," timpalnya di sela-sela tawa. "Konon yang pertama menceritakan tentang tangga emas dan padang bahagia itu adalah seorang shaman—manusia yang memiliki kemampuan untuk jadi medium kaum tak kasat mata, yang diajak kaum peri dan roh alam untuk mempelajari mantra tertinggi. Tangga emas itu hanya bisa dilihat bila jiwamu bersih dan terberkati oleh para roh alam."

"Kukira bangsamu tidak percaya dengan adanya roh alam?"

Bukankah karena itu bangsanya dan beberapa negara lain yang beraliansi, mendirikan plate, tudung tameng anti-magis? Tanyaku walau tidak terucap.

"Oh, mereka percaya, kok...," jawab Si Bayi Besar santai.

"Karena mereka terlalu percaya, mereka ketakutan dengan apa yang mampu dilakukan oleh para roh alam. Ironis juga ... Akibat pendirian plate yang belum dikalibrasi dengan baik, pada tahun-tahun pertama, sebagian besar penduduk bangsa kami kehilangan nyawa. Berkat itu kami bisa memulai dari awal, membangun ulang negara dengan dasar yang sama sekali baru."

Aku terdiam. Kisah tentang bencana yang dulu terjadi dalam kungkungan plate memang pernah kubaca di salah satu sejarah mancanegara. Namun mendengar langsung dari orang yang berasal dari tempat itu terasa janggal. Membuatku merasakan ada ketidaknyamanan yang perlahan tumbuh. Apakah karena dia menceritakannya dengan begitu tenang, seperti sama sekali tidak ada kaitannya dengan kemalangan itu?

"Lalu ... Apa yang terjadi dengan para jiwa itu?" tanyaku setelah cukup lama. "Apabila plate magis dibangun karena rasa takut pada para roh alam, bagaimana nasib jiwa-jiwa yang mati di dalam plate? Pergi ke mana mereka?"

"Aku juga tidak tahu," jawab Si Bayi Besar. "Tidak ada lagi shaman yang cukup murah hati, mau menceritakan pengalamannya selama di dalam plate. Keberadaan dan pengetahuan mereka dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Pilihannya bukan hanya: deportasi atau bungkam selamanya. Yang terburuk, mereka bisa tewas karena reaksi berlebihan dari pemerintah setempat."

"Oh...," gumamku pendek. Rasanya menyedihkan sekali, menutupi pengetahuan hanya karena ketakutan pada hal yang tidak mau mereka mengerti. "Kuharap ... Para jiwa yang mati itu bisa tenang dan tetap pergi ke padang bahagia," komentarku pelan.

"Tenang saja ... Aku yakin batasan plate sekarang tidak akan menghalangi para roh alam membimbing jiwa-jiwa yang baik."

Benar juga. Kabar terakhir yang kudengar, roh-roh alam dalam plate bukannya tidak ada. Hanya berkurang jumlahnya. Para jiwa yang mati itu juga pasti masih bisa keluar dari plate dan mendapat bimbingan roh-roh alam di luar. Sikap positif Si Bayi Besar ini terkadang ada bagusnya juga.

"Aku jadi tenang, kalau kau mati suatu saat nanti, aku tidak perlu merangsek masuk ke dalam plate untuk memasukkan para roh alam untuk jiwamu," candaku.

Lelaki di hadapanku itu kembali tertawa.

"Tidak perlu repot-repot, Lanfan. Tidak akan ada roh alam yang mau memberkati, apalagi menjemput jiwaku."

Aku mencoba ikut tertawa pada candaan tak lucu itu, tetapi saat kulihat kilau di sepasang mata cokelatnya. Seketika bulu kudukku meremang. Dia tidak bercanda.

"K-kalau begitu, shaman itu yang salah!" tukasku cepat.

"Um ... Lanfan?"

"MANA ADA MANUSIA YANG SAMA SEKALI TIDAK BERBUAT SALAH SEUMUR HIDUPNYA?!" semburku, begitu berapi-api hingga bangkit dari kursi. "JUSTRU DENGAN BERBUAT SALAH LALU PELAN-PELAN BERUSAHA MEMPERBAIKINYA ITULAH YANG DISEBUT DENGAN MANUSIA!!!"

"Anu ... Lanfan, bisa pelankan sedikit suaramu?" bisik Si Bayi Besar. "Kau mengganggu orang lain...!" tambahnya seraya melirik sekeliling.

Dia benar. Dengan pipi memanas karena seisi ruang makan memandang padaku aku kembali duduk.

"Yah ... Namanya juga dongeng untuk anak-anak. Mungkin yang menulis ceritanya sengaja menggambarkan sang Shaman sebagai sosok sempurna," komentar Si Bayi Besar seraya meniup panas dari cangkir tehnya. "Kita yang manusia biasa dan masih hidup ini baru akan tahu jawabannya kelak."

Lalu dia menghirup nikmat isi cangkirnya setelah memberikan senyum lebarnya yang biasa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top