Space Opera
Hari keenam, bulan sebelas.
Space, the final frontier.
Maaf, aku hanya ingin mengucapkan frase itu saja. Aku sedang tidak dalam penjelajahan terakhir. Juga tidak sedang berada di luar angkasa. Aku saat ini sedang berada di sebuah ruangan serba monokrom biru-hijau dan kelabu.
Satu-satunya benda yang terlihat seperti kaca jendela—atau monitor televisi, entah yang mana, hanya menunjukkan pemandangan laut di malam hari. Sejauh mata memandang, hanya terlihat warna gelap kopi dengan glitter tersebar acak. Menakjubkan, tetapi juga mengerikan. Aku tidak bisa melihat batas cakrawala dengan langit.
Apakah yang di ujung sana itu rembulan? Aku tidak begitu jelas melihat karena tertutup salutan awan dan kabut tipis. Rasanya aku pernah melihat pemandangan seperti ini, hanya tidak bisa mengingat di mana.
Tidak banyak perabot di ruangan itu. Membuat sebuah meja putih susu di tengah, terlihat mencolok. Bahkan lampu ruangan tertanam di dinding dan langit-langit.
Aku baru akan mengkhawatirkan apakah aku bisa keluar dari tempat itu ketika apa yang sedari tadi kukira hanya garis dekoratif di salah satu dinding ruangan, tergeser membuka dengan suara desis halus. Mataku nyaris copot karena terlalu membelalak ketika melihat siapa yang masuk. Si Bayi Besar itu, dengan penampilan aneh.
Berbeda dengan kaos berleher tinggi dan jaketnya yang biasa, lelaki itu memakai setelan berwarna merah maroon dan hitam. Seperti jahitan ala baju militer, hanya saja potongannya lebih ketat dan kombinasi warnanya tidak biasa. Ada lencana berkilau di dada kirinya.
"Penampilan macam apa itu?" Aku mencela, setengah menahan tawa.
"Anda bicara soal apa, Nona?" balasnya, terlihat heran. Aku mengernyit. "Apa ada yang aneh dengan penampilan saya?" tanyanya sembari mengeluarkan sebilah papan putih.
Astaga, apakah dia akan bercermin? Aku tahu dia sangat memperhatikan penampilannya tetapi tak kusangka dia akan bersikap narsis di hadapanku.
Ternyata tidak. Pada papan itu dia menekan gambar dan logo yang tak kumengerti, di hadapanku muncul sebuah ilusi semi transparan. Titik-titik berkilauan yang terlihat seperti bintang aneka ukuran. Aku tidak mengenali konstalasi itu.
"Jadi, kita langsung saja ... Beritahu saya, dari sistem planet mana anda berasal?" tanyanya. Kalimat yang terdengar formal dan kaku itu pernah kucela habis-habisan. Aku ingin mengajukan protes tetapi ada pertanyaan penting yang harus dia jawab terlebih dahulu.
"Ruangan aneh apa ini ... Apakah kalian sedang mengerjaiku?"
Bukannya menjawab. lelaki itu malah menghela napasnya lalu menatapku dengan tajam.
"Saya sedang tidak punya waktu untuk bercanda, Nona," ujarnya memulai. "Sekarang ini anda hanya punya dua pilihan, mengakui tempat asal anda, sehingga bisa segera kami pulangkan atau kami akan menuduh anda sebagai penyusup, dan menjebloskan anda ke planet tahanan!"
Aku mengerjap bingung. Apakah Si Bayi Besar itu salah minum sesuatu hingga berhalusinasi yang aneh-aneh?
Yang pasti, aku tidak suka nada bicaranya yang sok penting itu. Aku harus menghukumnya!
Namun ketika aku merogoh, mencari kertas mantraku yang biasa di dalam kantong bajuku, aku tidak menemukannya. Bukan hanya kantong bajuku telah lenyap, pakaian yang kukenakan juga berbeda dengan biasanya.
Modelnya memang mirip dengan bajuku tetapi baju yang seharusnya terdiri dari potongan atas dan bawah itu berubah menjadi setelan overall. Aku tidak ingat pernah berganti pakaian.
Lelaki di hadapanku melangkah mendekat, menembus ilusi yang memisahkan kami. Tidak punya senjata untuk mencegahnya, aku pun mulai bergerak mundur perlahan. Ketika berpikir untuk menendang solar pexus-nya dengan lututku bila dia berani macam-macam, aku baru menyadari satu hal mengerikan.
"Anting segelmu...," gumamku dengan suara bergetar. "Anting segel peninggalan kakak yang kuberikan padamu, kemana?!"
"Saya tidak tahu apa yang anda maksud," jawabnya dingin. "Tapi sepertinya anda sudah tidak bisa ke mana-mana lagi?"
Aku baru menyadari bahwa tumitku sudah menyentuh dinding. Pintu keluar hanya ada di belakang lelaki itu. Aku tersudutkan.
"Sebaiknya anda mulai bersikap sebagai anak baik ... Dengan begitu mungkin saya bisa membantu anda untuk pulang atau...," lelaki itu berhenti sejenak setelah menghantamkan tangannya pada tembok di sebelahku. "...Anda lebih suka bila kita melakukan hal lain dulu?"
DHUAAAKKK!!!
Aku memberinya tonjokan telak di rahang. Membuatnya terhuyung dan terlihat kebingungan.
"Begitu caramu bicara pada pembimbingmu ... Hah?" suaraku masih bergetar oleh amarah.
"Sudah membuat orang bingung, tidak menjawab pertanyaan dengan benar, menghilangkan barang berhargaku, sekarang kau berani coba-coba berlagak?!"
"Eh ... Lho? T-tu-tunggu sebentar ... Harusnya tidak begini...," rintihnya selagi berusaha mencari-cari penopang untuk tubuhnya yang masih limbung.
"Satu pukulan saja kau sudah loyo, ya?" desisku makin dipenuhi kekesalan dan kekecewaan. "MANA HASIL LATIHANMU SELAMA INI?!" bentakku seraya melayangkan tendangan berputar, hingga tumitku menghantam wajah bingungnya.
Darah dan ludah bercipratan.
"Baru dua serangan, kan?" tanyaku seraya meremas tangan hingga sendi-sendi buku jariku menimbulkan suara gemeratak. "Ayo, bangun ... Aku belum selesai!!!" perintahku galak dengan mata berkilauan mengancam.
Lelaki payah itu buru-buru bangkit dan berlari tunggang-langgang menuju pintu keluar. Tentu saja dia kukejar. Rupanya hanya dengan menekan satu lampu bercahaya redup saja pintu ajaib itu akan membuka.
Terbawa amarah, aku terus mengejar mangsaku. Melintasi lorong panjang suram dengan lampu kebiruan. Menerjang meja melayang yang dia dorong ke arahku dalam paniknya. Mencabut apa yang terlihat sebagai tongkat pengendali dari salah satu ruangan yang dipenuhi monitor untuk kupakai menahan pintu ganda yang akan menutup sendiri.
"TOLONG AKUUU! TOLOOONG!!! PEREMPUAN PRIMITIF INI SUDAH GILAAA!!!" jeritnya ketakutan. Aku tidak peduli dan terus saja mengejar sembari melemparkan apa saja yang berhasil kutemukan untuk menghentikan larinya.
"Nah," ujarku setelah lelaki payah itu terpojok di sebuah ruangan kecil. "...Sepertinya kau sudah tidak bisa ke mana-mana lagi, hmm?"
"A-a-ampuni saya ... S-sa-saya bukan orang ini ... S-sa-saya hanya meminjam wujudnya...," rintihnya terbata-bata sembari gemetar ketakutan.
"Kalau soal itu aku sudah tahu," komentarku acuh. Sejak dia tidak bisa menghindari tendanganku dan lari terbirit-birit dengan menyedihkan, hampir tidak mungkin lelaki payah ini orang yang sama dengan Si Bayi Besar itu.
"L-la-lalu kenapa...?"
"Karena kau menjengkelkan," jawabku sebelum mulai memasang kuda-kuda untuk melancarkan serangan berikutnya.
"O-o-operator! Kirim dia pulang sekarang!!!" jerit lelaki payah itu sebelum sikuku mencapai tubuhnya.
Sekelilingku bercahaya terang menyilaukan. Tubuhku terasa berputar-putar tak tentu arah. Ketika aku sudah mulai merasakan sakit kepala yang tak tertahankan, mendadak punggungku membentur sesuatu yang dingin dan keras.
***ooo000ooo***
Mataku masih berkunang-kunang ketika menyadari bahwa tubuhku telentang di lantai ruang belajar.
"Kau baik-baik saja, Lanfan?" tegur suara lelaki payah tadi.
Telapak kakiku baru akan akan menyepak wajahnya ketika melihat anting perak peninggalan kakakku terpasang di telinga kanannya. Terlambat untuk menghentikan tendangan bagiku tetapi dengan sigap dia mampu menangkapnya. Aku pun menghela napas lega.
Dia mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri, walau tahu akan sia-sia karena aku bisa bangkit sendiri dengan mudah setelah peningku berkurang.
Ketika aku mengedarkan pandangan, aku melihat novel fiksi ilmiah tergeletak di atas meja. Aku ingat membacanya tadi, untuk menunggu Si Bayi Besar menyelesaikan tugas tertulis yang diberikan oleh pelatihnya. Kalau tidak salah ceritanya tentang roman muda-mudi di pesawat antariksa. Agak membosankan hingga sepertinya aku tertidur di tengah cerita.
Aku mendengkus. Rupanya sedari tadi itu hanya mimpi buruk akibat bacaan tidak jelas.
"Aku kaget, lho ... Lanfan," celetuk Si Bayi Besar seraya membereskan buku-bukunya. "Kukira kau dari tadi keluar waktu aku sedang asyik membaca buku referensi."
"Hah...?"
"Aku baru saja jalan keluar untuk mencarimu ketika dengar suara kursi yang terguling ... Tiba-tiba saja kau sudah terjatuh di lantai. Kau bersembunyi di mana tadi sampai aku tidak bisa mendeteksi keberadaanmu sama sekali?"
Pertanyaan polosnya itu sama sekali tidak kujawab karena aku juga sama bingungnya.
Wujud yang dilihat Lanfan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top