Seperti Dongeng
Hari kedelapan, bulan sebelas.
Delapan adalah angka keberuntungan. Aku tidak terlalu mempercayainya tetapi aku menyukai bentuknya yang seperti dua sosok manusia yang saling menghormat pada satu sama lain. Aku sedang mengira-ngira kegiatan apa lagi yang harus dilakukan oleh Si Bayi Besar hari ini, setelah menangkap gagak tempo hari, ketika beberapa pelayan terlihat berlarian.
"Ada masalah apa?" tanyaku pada salah satu yang berpapasan denganku.
"Nona Lanfan!"
Aku harus menangkap barang yang terlempar dari pelukannya. Tak kusangka dia akan seterkejut itu hanya karena kusapa.
"Jadi, apa ada tamu agung atau semacamnya?" tanyaku lagi seraya mengembalikan barang-barangnya.
Pelayan perempuan itu menggelengkan kepala.
"Seseorang ditemukan pingsan di tepi sungai," pelayan itu menjelaskan "Sekarang dia sedang diperiksa di klinik Kampung Kecil."
"Lalu ... Bukankah dia sudah tertangani dengan baik? Mengapa kalian terlihat terburu-buru begitu?"
Pipi pelayan itu bersemu merah. Aku mendengkus.
"Biar kutebak, orang yang pingsan itu ... Lelaki muda dan berwajah tampan?"
Tidak ada jawaban, tetapi melihat pelayan di hadapanku tertunduk malu dengan wajah layaknya hewan krustasea yang direbus, aku yakin tebakanku tepat. Mereka juga bertingkah serupa saat Si Bayi Besar datang kali pertama dulu. Walau sekarang situasi di sekelilingnya sudah lebih tenang.
Mungkin karena sudah terbiasa dengan wajah Si Bayi Besar. Mungkin juga mereka menyadari bahwa yang dihadapi itu makhluk bebal dan polos yang sepertinya tidak mungkin bisa tertusuk panah asmara.
Kehidupan percintaan orang lain sama sekali bukan bidangku. Sungguh! Bagiku, mereka bebas saja mau mencari pasangan dari mana, asalkan tidak mengganggu kewajiban sebagai pekerja di kediaman keluarga.
Melihat kekacauan yang terjadi mungkin aku perlu menegur kepala pelayan untuk lebih memperhatikan kedisiplinan anak-anak buahnya.
"Nona Lanfan!" panggil seorang perempuan menjelang usia paruh baya. Dia terlihat panik.
"Nona Lanfan, izinkan saya pergi menemui seseorang di Kampung Kecil!"
Aku terdiam. Mungkinkah ... Pesona lelaki yang tidak dikenal itu sedemikian hebatnya sampai bisa menggaet minat seorang janda bercucu tiga?
"Saya mendapat kabar dari menantu saya bahwa suaminya, putera bungsuku menghilang sejak semalam!"
Masalah yang sama sekali tidak ada kaitannya. Baiklah, aku akan memintakan izin pada kepala staf rumah tangga untuknya. Dengan demikian Bibi Kepala Pelayan bisa segera pergi.
"Oh, kebetulan. Biar pekerjaanmu untuk hari ini digantikan oleh perempuan ini," tambahku seraya menepuk pundak pelayan perempuan yang ceroboh tadi.
Aku bisa melihat ekspresi ketidakpuasan dari wajahnya. Rupanya keberuntungan angka delapan ini tidak berlaku bagi pelayan perempuan muda itu.
***ooo000ooo***
Si Bayi Besar menungguku di ruang belajar. Melihat buku catatan di tangannya, dia sudah mendapatkan materi latihan untuk hari ini.
"Lanfan, ini aneh sekali ... Pelatihku tidak memberiku tugas, hanya pesan dalam surat ini saja," ujarnya seraya menunjukkan selembar kertas padaku.
Muridku,
hari ini aku perlu ke kota sebelah untuk menyelesaikan sesuatu.
Untuk sementara ikutlah dengan Nona Lanfan.
Menjadi asistennya barang sehari saja, cukup untuk menjadi latihanmu hari ini.
Begitulah yang tertulis di kertas itu. Dengan kata lain, pelatih Si Bayi Besar juga meninggalkan tanggung jawab dan mengalihkannya padaku.
Mungkin aku perlu bicara pada sepupuku soal ini, nanti.
Beberapa hari tidak memiliki jadwalku sendiri membuatku tidak mempersiapkan diri. Namun bila aku tidak melakukan sesuatu, hari ini akan terbuang percuma bagi kami berdua.
Pilihanku, antara: membantu Kepala Pelayan menemukan anak bungsunya atau menengok tamu asing yang sudah membuat para pelayan yang lain kelimpungan. Yang manapun aku harus pergi ke Kampung Kecil sekali lagi.
***ooo000ooo***
Di mana tamu asing itu menginap mudah dikenali tanpa harus mengerahkan kemampuan sihir atau mata rubi. Ada banyak perempuan muda lalu-lalang di sekitar sebuah pondok. Masing-masing dari mereka berdandan dengan pulasan di wajah dan baju terbaik, membuat jalanan kampung terlihat seperti dalam suasana festival.
"Wah ... Ramai sekali, apakah ada acara di kampung ini, Lanfan?"
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan si Bayi Besar. Apakah dia sungguh-sungguh tidak melihat betapa para perempuan muda berusaha tampil sebaik mungkin? Kalau memang benar begitu, kemungkinan dia juga tidak akan sadar saat para pelayan perempuan berusaha menggodanya.
Kurang satu blok lagi, kami akan tiba di rumah tempat putera dan menantu Kepala Pelayan tinggal. Ketika bangunan kayu dan batu itu mulai tampak, aku melihat sesosok lelaki berdiri di depan pintu. Sosok tinggi semampai dengan kulit putih bersih yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Oh, bukankah kau yang...?" Si Bayi Besar yang membuka suara.
Sosok lelaki itu terlihat terkejut dan sedikit ketakutan ketika melihatku. Sungguh tidak sopan!
Lalu di luar dugaanku lelaki semampai itu menerjang ke arah Si Bayi Besar. Sebelum aku paham apa yang terjadi, aku melihat pemandangan dua lelaki yang berpelukan di tengah siang bolong.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Si Bayi Besar, setelah rangkulan di lehernya dilepaskan. Sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan bahwa beberapa saat sebelumnya seorang lelaki asing memeluknya.
Lelaki asing itu tampak menggerak-gerakkan mulut tanpa suara dan berusaha menunjukkan berbagai gestur dengan tangannya. Dia tidak bisa berbicara.
"Hmm ... Hmm," gumam Si Bayi Besar, mengangguk beberapa kali. "Pasti mengerikan sekali, ya ... Tiba-tiba terbangun dalam kondisi dikelilingi semua perempuan itu. Aku ikut prihatin!" komentarnya. "Tenang saja, aku dan Lanfan akan membantumu untuk bisa pulang lagi!"
Aku tidak tahu apakah mereka bisa saling memahami satu sama lain karena sesame lelaki, ataukah karena hal lain. Daripada itu, aku lebih penasaran akan dua hal.
"Kau mengenalinya?" tanyaku pada Si Bayi Besar.
"Tidak juga tetapi aku yang menemukan dia di sungai dekat sini sewaktu mencari batu-batu berkilauan untuk memancing gagak," jawabnya santai.
Seorang lelaki tampan yang terdampar dan basah kuyup, ditemukan oleh lelaki tampan lain. Bisa kubayangkan betapa histerisnya perempuan muda pertama yang melihat mereka. Menjelaskan kekacauan di kalangan pelayan muda pagi tadi.
"Lalu ... Ada perlu apa dengan rumah ini?" tanyaku pada lelaki asing itu.
Jglek!
Pintu kayu berayun terbuka.
"Nona Lanfan dan Tuan Lui," sapa Bibi Kepala Pelayan. "...Ada angin apa tiba-tiba datang?"
Aku baru akan menjelaskan ketika lelaki asing itu tiba-tiba memeluk Bibi Kepala Pelayan dengan bercucuran air mata. Sungguh tidak patut! Namun melihat wajah lega lelaki itu sepertinya dia memeluk bukan atas dasar tujuan yang tidak senonoh.
"Ibu mertua, apakah ada yang datang?" Menantu Bibi Kepala Pelayan ikut muncul di belakang perempuan bertubuh subur itu.
Melihat sosoknya, lelaki asing tadi bergegas melepaskan pelukannya pada Bibi Kepala Pelayan. Aku merasakan pola yang sama, sehingga buru-buru menarik kerah lelaki itu sebelum ganti menerjang ke arah menantu Bibi Kepala Pelayan.
Lelaki itu meronta. Supaya tidak merepotkan, dia kuserahkan pada Si Bayi Besar.
"Menganggap Bibi sebagai ibumu, itu mungkin masih bisa kumaafkan ... Memeluk istri orang, itu hal yang sama sekali lain, orang asing!" bentakku seraya menghunuskan kipas pada hidungnya.
Lelaki asing itu membuka-tutup mulutnya dengan panik seraya menunjuk-nunjuk pada Bibi dan menantunya. Dia juga terlihat beberapa kali melirik pada jam dinding.
"Maaf, Nona Lanfan. Orang ini ... Jangan-jangan putera bungsuku yang hilang?"
Aku ingin berteriak, mustahil lelaki tampan dengan postur semampai ini adalah orang yang sama dengan putera bungsunya yang tambun dan berkulit gelap. Namun kukira mengatai orang di hadapan ibunya sendiri itu tidak baik.
"Lanfan, lelaki ini bilang dia kena mantra aneh sebelum pingsan!" Si Bayi Besar ikut berbicara. "Umm ... Bisa diulang lagi, aku agak kurang menangkap kata-katamu yang terakhir tadi... ."
Namun alih-alih menjelaskan ulang pada satu-satunya orang yang bisa memahaminya, lelaki itu kembali memaksa menerjang ke arah menantu Bibi Kepala Pelayan. Aku tentu saja bergerak untuk menghalanginya.
Di luar dugaan, menantu Bibi Kepala Pelayan malah ikut berlari ke arahnya. Tanpa sempat kucegah ... Mereka berciuman.
Dari tubuh lelaki asing itu muncul lingkaran-lingkaran mantra yang berpendar. Tubuhnya melayang dibungkus oleh cahaya yang terbuat dari lingkaran-lingkaran mantra. Perlahan, seperti melihat seseorang meniup balon, tubuhnya mengembang. Warna kulitnya berubah menjadi semakin gelap. Perutnya menggelembung. Pipinya pun menjadi tembam.
Dengan mata terbelalak aku melihat lelaki tampan, tinggi semampai itu berubah wujud menjadi putera bungsu Bibi Kepala Pelayan.
"BERHASIL!!! KUTUKANKU HILANG!" soraknya senang.
"Syukurlah! Kau bisa bicara lagi sekarang," komentar Si Bayi Besar riang.
"Terimakasih banyak, Nona Lanfan! Tuan Lui!" Bibi Kepala Pelayan menjabat tanganku dan Si Bayi Besar bergantian dengan mata berkaca-kaca.
Sebagai ucapan terimakasih, kami berdua masing-masing diberi sekantung teh herbal buatan Bibi Kepala Pelayan.
"Boleh tanya satu hal," bisikku pada menantu Bibi Kepala Pelayan sebelum kami meninggalkan rumah mereka. "Darimana kau tahu lelaki tampan tidak jelas itu suamimu?"
"Mudah aja ... Wajahnya itu mirip dengan mendiang ayah mertua sewaktu muda," jawab perempuan itu dengan senyum. "Aku yakin bila dia lebih merawat diri, dia bisa kembali jadi tampan lagi seperti sihir ... Tapi aku lebih suka seperti sekarang. Cukup aku saja yang tahu ketampanannya."
Aku masih belum begitu memahami maksud dari perkataan perempuan itu. Namun aku yakin kutukan yang diterima oleh lelaki itu berhasil dihilangkan, selain karena keberuntungan juga berkat cinta mereka, dalam berbagai arti.
***ooo000ooo***
Masih ada misteri tentang bagaimana lelaki itu terkena kutukan dan siapa yang memberi kutukannya. Namun untuk saat ini masalah bisa dikatakan selesai. Kecuali mungkin ... Para perempuan muda yang patah hati karena lelaki tampan pujaan mereka tiba-tiba lenyap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top