Rumah Panggung
Hari kedua, bulan sebelas.
"Rumah panggung, apa itu?"
Celetukan pertanyaan yang terlontar begitu saja dari mulutku segera kusesali. Mata cokelat Si Bayi Besar membulat. Dengan wajah berseri-seri dia mulai menumpahkan pengetahuannya padaku.
***ooo000ooo***
Semua diawali dari saat salah satu dari orang yang seharusnya kukenalkan pada Si Bayi Besar tidak ada di tempat, padahal seharusnya orang itu yang nanti akan memberikan materi pelatihan untuk tugasku membimbingnya. Mendadak kami jadi tidak punya kegiatan untuk sisa hari ini.
Aku tidak mungkin mengajaknya ke tempat latihanku sendiri. Kami sama-sama belum tahu sampai sejauh mana dia bisa menoleransi terpaan energi magis tanpa menimbulkan reaksi dari mata rubinya. Karena itu, kuputuskan untuk mengajaknya ke lapangan latihan. Aku ingin tahu sejauh mana kemampuan fisiknya.
Di sana biasanya ada beberapa kerabat dan anak buah yang latihan. Menyuruh Si Bayi Besar berlatih tanding dengan mereka pasti akan jadi selingan menyenangkan ... Setidaknya untukku sendiri.
Aku tercengang!
Dia memang pernah mengatakan bahwa dirinya pernah dilatih beladiri sewaktu masih kanak-kanak, tetapi tidak kusangka gaya beladirinya aneh begitu. Dari hentakan kaki dan sikap kuda-kudanya yang solid, kuakui dia diajari dengan baik dan sepertinya dia memang murid yang baik juga. Namun gaya beladiri yang dia pilih tidak tepat untuk tubuh tingginya. Ada rasa kasihan timbul ketika melihat dia terus-menerus berusaha merendahkan pinggangnya sembari memancing lawan tanding yang satu setengah kepala lebih pendek, menyerang lebih dulu.
Sebagai orang yang bertubuh pendek, aku jadi kesal melihatnya. Mengapa dia tidak memanfaatkan tinggi badan dan jangkauannya yang panjang?
Latih tanding itu terpaksa kuhentikan prematur, bukan hanya karena stamina si Bayi Besar ternyata lebih kuat dari yang kukira—hingga lawan tandingnya kehabisan napas lebih dulu. Karena seorang pelayan datang menghambur dengan panik.
"Gudang kebanjiran!" seru pelayan perempuan yang kelihatan pucat itu berkali-kali.
Aku mengernyitkan kening. Walau mendung sejak kemarin, hujan yang kami terima sejauh ini hanya gerimis menjengkelkan sepanjang pagi tadi. Darimana air banjir itu berasal?
Beberapa pelayan dan anak buah bergegas menuju arah yang ditunjuk oleh pelayan perempuan yang masih terengah-engah panik. Coba tebak, apa yang dilakukan Si Bayi Besar? Dia menggunakan charm-nya untuk mengajak bicara pelayan itu!
Tentunya bukan charm dari kekuatan magis, mana mungkin dia yang bermata rubi bisa menggunakan sihir. Dia hanya tersenyum lalu menggunakan keahliannya dalam memilih kata untuk membuat pelayan yang tadinya sudah hampir menangis, pelan-pelan menceritakan apa yang terjadi.
Berdasarkan cerita pelayan itu, saluran air tersumbat oleh dedaunan. Bisa jadi yang bertugas membersihkan lalai, bisa juga entah bagaimana ada setumpuk daun jatuh lebih banyak lagi—biarkan orang yang bertugas menangani hal itu yang memeriksa penyebabnya. Air yang meluap tak seberapa banyak, tapi cukup untuk membuat genangan di salah satu gudang yang posisinya paling rendah dibandingkan dengan bangunan lain.
"Apakah ada barang yang tidak boleh basah disimpan di dalam gudang itu?" tanyanya. Sementaratangannya menepuk-nepuk lembut bahu pelayan—mungkin untuk menaikkan semangatperempuan itu.
"Itu gudang tempat menyimpan persediaan beras, gandum dan biji-bijian. Kami menggunakan rak-rak besar untuk menyimpan karung dan guci, juga menaikkan lantainya dengan balok dan papan kayu—untuk mengurangi kelembaban," jawabku.
"Setelah ini, setelah genangannya dibersihkan jangan lupa untuk membuka pintu dan ventilasi gudang untuk mempercepat pengeringan!" perintahku pada pelayan yang sudah tidak terlihat terguncang lagi itu. Dia mengangguk lalu permisi untuk menyampaikan apa yang baru kukatakan pada rekan-rekannya.
Bila yang menemukan genangan air itu pelayan senior, tidak akan terjadi kehebohan ini. Kebetulan saja dia masih belum lama bekerja di rumah ini, hal kecil saja sudah membuatnya ketakutan. Padahal bukan kesalahannya.
Latihan fisik terpaksa ditangguhkan karena semua yang latihan hari itu pergi membantu mengeringkan gudang. Aku memutuskan untuk membawa Si Bayi Besar ke ruang belajar saja. Di sana ada cukup banyak bacaan yang bisa membuatnya sibuk, aku pun bisa sedikit santai. Kebetulan ada novel yang belakangan sedang kubaca.
Sepertinya aku perlu mengingatkan diri untuk menyensor beberapa hal sebelum mengubah jurnal ini menjadi laporan resmi pada Paman, nanti.
Kembali ke perpustakaan. Ya ... begitulah Si Bayi Besar itu menyebut ruang belajar kami. Mungkin karena deretan rak buku di salah satu sudutnya. Sesuai dugaan, dia langsung tampak antusias. Aku memberinya izin untuk membaca sesukanya. Tampangnya ketika mendengar itu seperti anak anjing yang diberi bola untuk bermain.
Sebentar saja meja di hadapannya sudah dipenuhi tumpukan buku-buku. Aku pun mulai tenggelam dalam petualangan karakter utama novel yang sedang kubaca. Kukira sisa hari ini akan kulalui dengan menyenangkan.
Sampai dengan, tanpa sengaja kudengar gumamannya ketika menutup buku yang baru saja selesai dia baca.
"Oh ... Ada bermacam-macam jenis rumah seperti ini, rupanya. Yang dari negara ini disebut Rumah Panggung... ."
Frase yang beru pertama kudengar, hingga tanpa sadar aku bertanya. Maksudku ... Apabila mendengar kata: Rumah dan Panggung, yang pertama terbayang sejenis tempat pertunjukan opera atau semacamnya, kan?
"Ini menarik sekali! Walau dari negara dan budaya yang berbeda, hampir semua yang bertempat tinggal dekat pesisir pantai dengan curah hujan tinggi mempunyai kebiasaan menaikkan posisi lantainya dengan tiang-tiang penyangga. Jadi mereka bisa mengantisipasi datangnya banjir dari luapan air sungai atau datangnya air pasang," cerocosnya panjang-lebar.
"Rumah panggung ini sebutan untuk salah satu jenis rumah semacam itu. Yang membuat rumah tipe ini semakin menarik adalah penerapan desain dari berbagai pengaruh kebudayaan lain terlihat di sini. Contohnya pada jendela tak berdaun yang bagian atasnya melengkung ini," dia mulai membuka kembali bukunya lalu menunjukkan foto gambar tampak salah satu rumah yang dia jelaskan. "Ini menunjukkan pengaruh kebudayaan Timur Tengah. Sedangkan tangga di bagian pintu masuk ini... ."
Siapa yang sangka sore hariku yang seharusnya menjadi lebih santai ini terpaksa kuhabiskan dengan mendengar celotehan Si Bayi Besar. Aku sampai menguap beberapa kali, saking panjangnya kuliah dadakan yang harus kuterima. Namun dia terus saja menjelaskan berbagai aspek yang dia temukan dari bacaannya dan membandingkan dengan budaya lain. Kalau tidak ada pelayan yang datang untuk memberi tahu soal jam makan malam, mungkin ocehannya tidak akan berakhir hingga tengah malam.
Yang paling sial, ketika aku mengeluhkan hal itu pada sepupuku, dia justru tertarik. Aku diminta untuk memanggil Si Bayi Besar, sekaligus memanggil ahli konstruksi bangunan dari kota. Malam ini juga kami harus meneruskan pembicaraan tentang Rumah Panggung ini dan rencana untuk merenovasi bangunan gudang.
Akhirnya aku benar-benar baru bisa kembali ke kamar menjelang tengah malam. Namun karena rasa kesalku belum hilang, kuputuskan untuk menuliskan semua itu di jurnal ini sebelum tidur. Sepupuku benar. Rasanya sedikit lebih lega dibandingkan dengan sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top