Megalomania


Hari ketujuh belas, bulan sebelas.


Sudah lewat setengah bulan masa pelatihan Si Bayi Besar. Tiba saatnya praktek lapangan. Apa yang dia lakukan di Kampung Kecil, Altar Pemujaan dan pertokoan di kota, semua itu tak lebih dari latihan simulasi dari praktek yang sesungguhnya.

Bukan, aku tidak mengatakan bahwa apa yang terjadi selama ini direkayasa oleh kami untuk memberinya latihan. Kebetulan saja ada kasus tepat di saat dia membutuhkan latihan. Ya ... Hanya kebetulan saja.

Ayolah, mana mungkin kami bisa memprediksi kapan hujan akan turun, 'kan?

Banjir di gudang, pertengkaran antar kekasih, serangan makhluk elemental. Semua terjadi begitu saja. Aku tidak tahu sama-sekali soal pesulap dan pistol sihirnya juga. Mungkin sepupuku atau pelatih Si Bayi Besar lebih tahu.

Karena kemampuan yang diwarisi dalam keluarga ini, kami sering menerima pekerjaan untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh: orang, hewan, tumbuhan dan segala benda-benda yang mengandung kekuatan tak jelas.


***ooo000ooo***


"Megalomania?" ulangku ketika menanyakan kepada Si Bayi Besar tujuan tugasnya kali ini. Sebuah kata yang jarang sekali digunakan.

"Benar, kasus kali ini sepertinya melibatkan seorang pecandu obat yang punya kecenderungan narsistik. Dia menganggap dirinya yang paling tinggi dan senang dipuja—setidaknya begitulah menurut laporan yang kubaca ini," jelasnya.

"Lalu ... Apa masalahnya dengan itu, apa dia terlalu sering mematut diri di depan cermin sampai lupa makan? Kalau seperti itu, sih ... Biarkan saja dia mati kelaparan!" komentarku sinis.

"Masalahnya adalah ... Dia menganggap dirinya adalah dewa dan meneror penduduk sekitar dengan kedewataannya bila tidak disanjung atau disembah."

Pernyataan yang membuatku mengangkat sebelah alis.

"Sudah banyak yang bermaksud menangkapnya atau setidaknya membuatnya lumpuh karena dianggap mengganggu, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil. Karena itulah Guru menyuruhku untuk memeriksa langsung ke sana." Dia menjelaskan tanpa kuminta.

"Baiklah ... Apa rencana kita untuk menangkapnya?" tanyaku, sedikit berharap dia memiliki ide cemerlang yang tidak terpikirkan sebelumnya.

"Aku bermaksud untuk menemui orang itu dulu," jawab Si Bayi Besar dengan nada ringan.

Hening.

Guncangan yang ditimbulkan oleh beradunya roda-roda kendaraan yang kami tumpangi dengan jalanan butut dan berbatu tak rata mengisi kesunyian untuk beberapa lama. Aku tidak bisa berkomentar lagi pada pola pikir naif Si Bayi Besar. Biarlah dia yang mengambil keputusan, aku tinggal mengawasi saja.

Kereta yang dikemudikan oleh salah satu anak buah menurunkan kami di tepi sebuah desa. Seseorang sudah menunggu di gerbang masuk. Rupanya dia perwakilan dari desa itu yang mengirimkan surat permohonan pada keluarga kami.

"Jadi, di mana orang itu tinggal?" tanya Si Bayi Besar setelah berbasa-basi singkat.

"Oh, err ... Di atas sana, Tuan. Agak naik dibandingkan dengan area desa kami yang lain, bangunan yang terlihat dari ujung jalan sana."

"Terimakasih banyak!"

Lalu lelaki jangkung itu dengan santai melewatinya begitu saja, tanpa mempedulikan peringatan-peringatan yang diserukan oleh perwakilan desa itu.

"No-nona ... Apa tidak masalah tuan yang tadi langsung pergi ke sana begitu saja?" tanya wakil desa itu panik.

"Biarkan saja," desahku. "Tapi kalau terjadi apa-apa, mungkin aku bakal butuh bantuanmu untuk menyeret tubuh besarnya pulang."

Mengacuhkan gumaman kekhawatiran perwakilan dari desa itu, aku mempercepat langkah untuk menyusul Si Bayi Besar. Tentu saja dengan menjaga jarak. Kita tidak akan pernah tahu jebakan atau masalah apa yang menanti dari rumah tinggal seseorang yang cukup punya nyali untuk menyebut dirinya dewa.

Tak butuh waktu lama hingga aku bisa melihat sosok Si Bayi Besar mengetuk pintu kayu rumah sasaran kami.

Perlu kuakui, dibandingkan rumah penduduk desa yang lain, rumah sasaran kali ini memang terlihat lebih mentereng. Pintu masuknya terbuat dari papan kayu, berdaun ganda, terlihat lebih besar dan kokoh. Namun warna hijau, biru dan merah di sana-sini membuat rumah itu lebih terlihat seperti taman bermain.

Kuputuskan untuk mengamati dari jauh saja apa yang akan terjadi berikutnya.

BRUAKKK!!!

Mendadak pintu kayu ganda itu terbuka lebar. Muncul seseorang dengan jubah berkibar-kibar, beraneka warna dengan tawa membahana dari balik pintu. Bahkan dari tempatku berdiri suara tawanya terdengar kencang.

Kuperhatikan, sejak pintu ganda itu terbuka, para penduduk desa yang lain bergegas menutup jendela dan pintu rumah masing-masing.

Wow ... Benar-benar Dewa yang tidak disukai. Namun aku belum menemukan apa gangguan yang ditimbulkan si 'Dewa' itu, kecuali penampilan norak dan suara berisiknya.

Setiap kali Si Bayi Besar mengatakan sesuatu, Si Dewa juga menimpali dengan suara keras ditambah tawa—sungguh, dia punya paru-paru yang kuat. Sayang posisi kami terlalu jauh jadi hanya suara Dewa itu saja yang terdengar di telingaku.

"TENTU SAJA ... HAHAHAHA!"

Apanya?

"SIAPA YANG TIDAK, AKU INI DEWA ... HAAAHAHAHA!!!"

Soal apa yang dia bicarakan?

"AKU HANYA MENUNJUKKAN PADA RAKYAT JELATA, SIAPA YANG BERKUASA. MEREKA HANYA PERLU MEMUJA AKU YANG HEBAT INI ... HAAAHAHAHA!!!"

...Aku jadi kesal mendengarnya. Bagaimana Si Bayi Besar bisa tahan berhadapan langsung dengan Dewa gadungan itu???

"APAAA ... HAHAHAHA! JADI KAU BERANI MENANTANG AKU, RAKYAT JELATA?!"

Oh, sepertinya aku harus mulai bersiap-siap mengeluarkan kipas mantraku.

"BAIKLAH ... KALAU ITU MAUMU, RASAKAN INI ... KEMURKAAN SEORANG DEWAAA ... HAAAHAHAHA!!!"

Tidak kusangka, setelah dia berkata demikian, sekeliling mereka betul-betul terjadi goncangan kencang disertai suara gemuruh. Dengan mantra yang kugunakan, bisa dipastikan goncangan itu bukanlah ilusi. Namun aku juga tidak bisa melacak apa penyebabnya.

Kuharap pelatih Si Bayi Besar memberinya izin untuk menggunakan kekuatannya kali ini.

Dalam keluarga kami, yang mewarisi Ruby Vines, bisa menggunakan indera perabanya untuk melacak energi. Sedangkan yang mewarisi Ruby Eyes, bisa menggunakan indera penglihatannya. Tentu saja tidak hanya dua jenis itu, ini hanya penggolongan paling sederhana saja.

Dari posisiku samar-samar terlihat sesuatu seperti pita-pita kabut merayap mendekati mereka . Perlahan suara gemuruh yang sedari tadi terdengar berubah menjadi suara derik panjang bersahut-sahutan. Aku mengenali derik itu sebagai tanda kemunculan sejenis ular berbisa, walau seharusnya suara mereka tidak sekencang ini.

Pita-pita kabut berderik itu merayap semakin dekat dengan kaki Si Bayi Besar tetapi dia tidak juga segera melakukan sesuatu. Situasi mulai terasa genting bagiku.

Tugas bagi yang tidak punya rubi-rubian itu adalah mendampingi mereka. Karena itu kami diwajibkan mempelajari ilmu sihir dan mantra untuk mendukung. Lebih bagus lagi bila bisa menguasai beladiri—siapa tahu dibutuhkan untuk membuat K.O salah satu dari mereka.

Si Bayi Besar—karena campuran dengan orang luar, mendapatkan jenis rubi-rubian yang paling lemah. Hanya sebelah pula. Begitu pun bisa berbahaya bila kemampuannya sampai tak terkendali. Untuk itulah aku diperintahkan mendampinginya.

Ya. Sebagai pendampingnya, aku harus mencegah jangan sampai dia tertimpa hal yang membuatnya kehilangan kendali. Dengan bergegas aku keluar dari tempat persembunyian seraya merapal mantra. Tujuannya untuk menghalau pita-pita kabut mencurigakan yang sudah mulai melilit kaki Si Bayi Besar.

"Tenang, Lanfan ... Aku baik-baik saja, kok," ujar lelaki itu tanpa menoleh.

Mantraku terlanjur selesai jadi kulepaskan saja ke arah Si Dewa palsu. Terjadi hentakan kencang, seperti bertabrakan dengan sesuatu. Angin hembusannya memantul balik ke arahku, memaksa untuk menggunakan kipas melindungi mataku dari debris yang terbawa.

Ketika suasana sudah tenang, dari balik kipas kulihat jubah warna-warni Si Dewa palsu sudah hancur tak berbentuk. Bangunan rumahnya tetap berdiri tegak tetapi cat norak yang menghiasinya seperti luntur tak bersisa.

"Lihat ... Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?" ujar Si Bayi Besar. "Orang ini hanya menggunakan kombinasi mantra yang bisa menambah volume suara dan sedikit ilusi untuk menutupi wujud peliharaannya."

"ALEEEX, KAKIMUUU...!!!" Aku memekik, campuran antara ngeri dan jijik.

Di kedua kaki Si Bayi Besar, melilit beberapa ekor ular—sepertinya tadi wujudnya disamarkan dengan pita kabut. Hampir setengah dari ular-ular itu adalah ular derik.

Segera saja kurapal mantra berikutnya untuk membuat semua makhluk melata itu pingsan seketika.

"TENANG GUNDULMU," makiku setelah yakin semua ular itu sudah tak berdaya. "SATU PATUKAN SAJA AKU HARUS MENYERETMU MAYATMU PULANG, TAHU???"

"Tapi, Lanfan ... Ular kan tidak berparuh, kenapa dikatakan mematuk, bukannya menggigit?"

Si Bayi Besar itu lagi-lagi berkomentar tidak penting. Aku terlalu lelah dan kesal untuk menimpalinya, jadi kusuruh dia segera mengikat Si Dewa Palsu yang ikut pingsan bersama ular-ularnya. Serta memindahkan para ular itu ke keranjang tertutup supaya tidak sembarangan menyerang orang.

Selanjutnya kami tinggal menyampaikan apa yang terjadi pada perwakilan desa. Lalu beristirahat sembari menunggu jemputan datang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top