Hari Bersalju


Lantai terasa seperti es. Dingin dan licin. Aku harus mengenakan alas kaki di dalam kamarku sendiri. Mungkin nanti aku akan minta pada pelayan untuk memasang tambahan papan kayu dan lembaran karpet.


Hari ke delapan belas, bulan sebelas.



Sepertinya hari-hari membekukan tulang akan menjadi rutinitas mulai sekarang. Rintik hujan turun hampir setiap sore. Entah berapa poci teh jahe sudah kuhabiskan beberapa hari terakhir ini.

Sedikit ogah-ogahan, kukenakan juga mantel tebal yang menyebalkan itu. Terakhir belanja, aku sudah sempat membeli sarung tangan dan kaus kaki yang bagus, untuk memperbaiki nuansa hati. Yah ... Lebih baik terlihat seperti anak beruang daripada tidak bisa bergerak sama sekali karena kedinginan.

Kompromi ternyata memang penting.

Ada perasaan berat untuk membuka pintu. Sedingin-dinginnya kamarku, udara luar pasti lebih terasa menggigit. Entah apakah sarung tangan baru ini mampu mempertahankan moodku hingga sore nanti.

Tok-tok-tok!

Ketukan di pintu. Padahal masih belum waktunya sarapan. Aku tidak ingat sudah memanggil pelayan. Apakah ada hal penting yang harus dilaporkan sepagi ini?

Dinginnya gagang pintu yang terbuat dari logam nyaris menembus sarung tangan. Aku mengernyit. Ingin rasanya berlari kembali ke kasur dan bergulung di balik selimut tebalku.

Pintu kembali diketuk. Seperti memang tidak ada pilihan lain. Tuas dari kuningan itu kutarik.

Ketika daun pintu berayun terbuka, aku bisa merasakan tamparan udara beku. Hidungku seperti tidak bisa memutuskan, hendak meneteskan ingus atau membeku. Tanpa sadar kakiku mundur satu langkah.

"Selamat pagi, Lanfan!" sapa Si Bayi Besar, riang. "Lihat ... Salju, lho!!!" Mata cokelatnya terlihat berbinar-binar.

Aku yakin betul di negara asalnya salju bukanlah hal yang aneh. Mengapa dia bisa terlihat segembira itu hanya karena butiran putih, dingin, bertumpuk di halaman, aku masih belum paham. Tanpa mempedulikan diamku, dia terus berjalan seraya menunjuk pada bentuk-bentuk aneh yang ditimbulkan oleh serpihan bubuk bunga es.

"Alex," panggilku padanya yang beberapa langkah lebih cepat. "Mantelmu itu...?"

"Oh, mantel ini?" Si Bayi Besar merentangkan kedua tangan, memamerkan sosok jangkungnya yang terlihat makin gaya dibalut oleh mantel panjang berkerah lebar. "Aku diberi oleh Guru, bagus, kan? Hangat, lagi...," tambahnya bangga.

Aku tidak bisa membayangkan pelatihnya pergi ke kota untuk memilihkan mantel itu. Mungkin salah satu dari pelayan perempuan penggemar si Bayi Besar yang memilih?

Bila dia tidak sedang berputar-putar untuk memamerkan mantelnya padaku, penampilan barunya memang bisa menambah kadar ketampanan Si Bayi Besar. Aku yakin para pelayan perempuan sedang menahan napas di setiap belokan ketika lelaki jangkung ini lewat.

"Jadi kau menjemputku ke kamar hanya untuk pamer mantel barumu?"

"Hmm ... Tidak juga. Guru memanggilku untuk menghadap. Katanya aku harus datang bersama denganmu. Mungkin semacam hasil evaluasi setengah bulan?"

Aku terbelalak. Ah ... Ini rupanya satu lagi penyebab mengapa aku merasakan keengganan yang luar biasa untuk keluar dari kamar tadi. Bukan hanya dingin. Bukan cuma dipameri penampilan elegan seseorang berkaki jenjang—sementara aku terlihat membulat dalam pakaian berlapis.

"Kenapa kau bisa bersikap sesantai itu...?" gumamku pelan.

"Hmm ... Kau bilang sesuatu, Lanfan?"

Aku baru akan mengulang kata, kemudian kuputuskan untuk mengalihkan pertanyaan tentang hal yang berbeda, "Jam berapa pelatihmu menyuruh kita menghadap?"

"Beliau tidak menyebutkan secara spesifik, sih ... Setidaknya pelayan yang menyampaikan mantel dan pesan dari beliau tidak mengatakan apa-apa kecuali menyuruhku untuk memanggilmu sebelum menghadap."

"Kalau gitu kita sarapan dulu!"

"Jam segini ... Biasanya sarapan belum siap, kan?"

"Manusia tidak bisa berfungsi dengan baik bila perutnya lapar!"

"Bukankah kau tidak terlalu suka kekenyangan pagi-pagi, Lanfan?"

"Aku kedinginan. Kedinginan membuatku lapar. Lapar membuatku ingin makan!" seruku seraya mengepalkan tinju. "Ayo, Alex ... Temani aku!"

Tanpa banyak berkomentar, Si Bayi Besar kembali melangkahkan kaki mengikuti jejakku menuju ruang makan. Mulutku mulai mengabsen jenis-jenis masakan yang mungkin bisa kita minta pada Bibi Koki. Si Bayi Besar pun akhirnya menimpali dengan menyebutkan jenis-jenis minuman hangat yang dia suka.

Serpihan halus bunga es melayang turun perlahan. Satu ... Lima ... Sepuluh ... Seratus. Terus-menerus berulang, hingga banyak bertumpuk secara perlahan di atas bebatuan. Bertumpuk di atas ranting. Bertumpuk di atas dedaunan hijau abadi. Napas putih kami berdua, timbul tenggelam bersamaan dengan obrolan ringan yang tak seberapa berarti.

Aku belum tahu bagaimana nasib Si Bayi Besar setelah laporan tugas tempo hari kuserahkan pada pelatihnya tadi malam. Apakah dia dinyatakan lulus atau malah dianggap tidak kompeten, semua tergantung keputusan yang akan diberikan hari ini.

Satu keputusan yang menentukan bagaimana hasil dari perjuangan lelaki itu. Bukan hanya selama setengah bulan ini. Juga bertahun-tahun yang dia habiskan sebelum menjejakkan kaki melalui gerbang kompleks kediaman keluarga kami.

Keputusan yang baru akan kami dengar malam nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top