CABAR


Hari keduabelas, bulan sebelas.

Badai PMS telah berlalu. Hari pertama memang selalu menjadi hari yang paling berat bagiku—dan bagi orang-orang di sekelilingku. Sudah menjadi tradisi bulanan bagiku untuk berkeliling dan memberikan hadiah kecil sebagai permintaan maaf pada mereka yang mungkin tersinggung dengan kelakuanku yang seperti banteng mengamuk.

Aku bisa saja pergi pasar di kota untuk membeli sendiri. Namun dengan adanya Si Bayi Besar yang harus kuawasi, pilihanku hanyalah minta tolong pada salah satu bawahan yang memang ada keperluan ke sana. Setelah menuliskan semua yang ingin kubeli pada secarik kertas, kuselipkan kertas yang sudah kulipat dalam kantung uang mungil.

Aku bermaksud untuk pergi menemui bawahan yang akan kutitipi ketika Si Bayi Besar menepuk bahuku.

Mengapa dia selalu bangun lebih pagi dari yang lain, masih menjadi misteri.

"Aku mau menemui Guru tetapi beliau tidak ada di ruangannya. Apa kau tahu dia kira-kira ada di mana, Lanfan?" tanyanya riang.

Luar biasa. Si Bayi Besar ini harus menguji kesabaranku tepat saat aku bermaksud minta maaf kepadanya?

Aku berusaha menghembuskan rasa kesalku dengan satu helaan napas yang panjang. Cukup berhasil. Alih-alih ledakan amarah, aku hanya menjawab, "Entahlah."

"Apa kau yakin bukan kau yang datang terlalu pagi? Jam segini orang lain bahkan belum pada sarapan," ujarku menambahkan.

"Aku ada sedikit keperluan dengan Guru ... Tapi ini tentang hal di luar materi latihan, jadi... ."

Dia menggantung akhir kalimatnya sembari tertawa ragu.

"Oh, demi semua Dewa!" rutukku kesal. Padahal Si Bayi Besar itu seringkali membuat masalah dengan kebebalan dan sikap santainya tetapi pada saat bersikap kaku begini, kekeras kepalaannya menyaingi sepupuku.

Kusambar lengan Si Bayi Besar itu lalu menariknya ke ruang makan. Bibi Koki atau salah satu asistennya pasti tahu di mana pelatih Si Bayi Besar berada karena mereka selalu mengantarkan sarapan untuknya setiap pagi.

"Aku mengerti," gumam pelatih Si Bayi Besar seraya meletakkan sendok buburnya, sesaat setelah melihat kedatangan kami.

"Kebetulan sekali, aku sedang kehabisan materi untuk pelatihanmu hari ini. Jadi, sekarang ... kau," lelaki paruh baya itu mengacungkan telunjuknya pada murid latihnya. "...Temani Nona Lanfan ke Kota!"

"Apakah itu berarti...?"

"Ya, muridku. Apa yang kau tanyakan padaku semalam, ada di sana ... Juga sesuatu yang bisa melatihmu hari ini."

"Aku bahkan belum mengatakan apa-apa. Bagaimana...?"

"Nona Lanfan, anda pikir sudah berapa lama saya tinggal di kediaman keluarga ini?" potong lelaki paruh baya itu lagi. "Sudah! Kalian hanya merusak waktu sarapanku saja. Bawa satu-dua bawahan untuk mengantar kalian ke pasar sekarang juga!"


***ooo000ooo***


Beberapa jam kemudian, kami pun tiba di kota kecil di kaki gunung. Bazaar yang waktu itu kami hadiri sudah tidak ada tetapi beberapa toko dan warung masih berjualan dengan susunan yang lebih rapat. Pasar yang kutuju ada di belokan setelah susunan toko-toko kecil itu.

"Baiklah. Kita pergi ke tujuanmu dulu, baru nanti kita pisah jalan hingga waktunya kita pulang!" Aku memberikan instruksi begitu menjejakkan kaki ke jalan batu di kota itu.

"Tujuanku bisa belakangan saja. Aku akan menemanimu berbelanja," tolak Si Bayi Besar.

"Belanjaanku tidak penting!"

"Tujuanku juga tidak harus kudahulukan," kilahnya lagi.

Tidak ada jalan keluar. Kami berdua sama-sama keras kepala. Aku tidak mungkin membeli cangkir sebagai permintaan maafku pada Si Bayi Besar di depan orangnya. Sedangkan dia juga tidak ingin aku melihat apa pun yang akan dia lakukan setelah ini.

Aku mencari para bawahan, siapa tahu mereka bisa mewakilkan salah satu dari kami—kuharap itu aku, untuk mendapatkan apa yang kami butuhkan. Tidak ada satu pun yang ada di dekat situ. Bahkan untuk ukuran para bawahan, mereka terlalu cepat menghilang.

Mereka seperti berusaha agar tidak diketahui keberadaannya oleh seseorang atau sesuatu di kota itu. Aku merasakan pusaran tidak mengenakkan di sekitar abdomen bawah perutku, nyaris serupa dengan apa yang kurasakan saat PMS. Rasa yang biasanya muncul di saat firasatku hendak memberitahu tentang sesuatu yang buruk.

"...Hei, tugas dari pelatihmu ... Apa kau sudah tahu detilnya?" bisikku sepelan mungkin.

"Sejujurnya, aku juga kurang paham sebetulnya apa tugasku hari ini, Lanfan."

Seperti biasa dia mengucapkannya dengan ringan tetapi aku masih bisa menangkap sedikit kekhawatiran dari wajah cengar-cengirnya. Mungkinkah hubungan kami sudah jauh lebih dekat dibandingkan dengan kali pertama bertemu dulu?

"Apa boleh buat," desahku akhirnya. "Temani aku!" perintahku seraya melemparkan kantung uangku padanya.

Kuputuskan untuk mengalah dengan membelanjakan semua isi kantung itu—kecuali untuk cangkir Si Bayi Besar. Kebetulan, aku bisa menyuruh tubuh jangkungnya untuk bekerja sebagai pembawa barang. Dengan demikian aku bisa membelikan dia cangkir sebagai tanda terimakasih.

Setidaknya begitulah rencanaku, sampai dengan jalan kami dihadang oleh sosok tak dikenal.

Mungkin, siapapun yang menghadang itu bagian dari materi latihan. Kedua tangan Si Bayi Besar masih penuh dengan kotak dan kantung isi belanjaanku. Posisi kami tidak bagus. Seharusnya aku tidak menghambur-hamburkan uangku untuk membeli hadiah yang lebih mahal dari biasanya.

"Kita kembali ke jalan besar!" perintahku.

Namun ketika kami berbalik, sudah ada beberapa sosok lagi menghadang kami. Pakaian mereka panjang dan longgar, sedangkan wajah mereka tertutup oleh tudung, tetapi aku bisa melihat dari warna kulit wajah dan tangan yang menyembul dari balik jubah, mereka orang yang sebangsa dengan pesulap tempo hari.

Balas dendam karena teman menjadi buronan petugas keamanan?

Apa pun alasannya, aku terpaksa mengeluarkan kipas mantraku untuk berjaga-jaga.

"Hei," panggilku pada Si Bayi Besar. "Simpankan barang-barangku di tempat yang aman ... Kalau sudah, susul aku!"

Setelah mengatakan itu aku segera maju seraya merapal mantra dengan kipasku. Sasaranku adalah beberapa sosok yang menghadang kami, supaya Si Bayi Besar bisa mendapat kesempatan untuk lari ke jalan utama kota. Aku menggunakan mantra yang bisa mengenai beberapa sasaran sekaligus tetapi tidak terlalu fatal serangannya.

Beberapa dari mereka terjatuh, atau setidaknya bertopang pada lutut masing-masing begitu percikan listrik yang ditimbulkan oleh lingkaran mantra yang kusebar mengenai mereka semua.

Si Bayi Besar bergegas memacu kaki-kaki jenjangnya.

"WOI! Terbalik, bukan ke arah sana!!!" teriakku.

Si bodoh itu malah maju menerjang ke arah sosok pertama yang menghadang kami. Melihat pedang pendek di tangan kanannya, berarti barang-barangku dia tinggalkan di jalan begitu saja—akan kuprotes dia soal itu nanti. Aku memilih untuk fokus pada begundal-begundal yang sudah kulumpuhkan terlebih dahulu, mereka harus kupastikan tidak akan mengganggu lagi dengan menggunakan mantra pembelenggu.

PANG PANG PANG!!!

Aku tercekat. Suara letusan aneh itu ... Sama persis dengan pistol yang digunakan oleh pesulap gadungan tempo hari.

PANG PANG PANG!!!

Buru-buru aku menyelesaikan mantra belengguku. Ketika aku berbalik, kulihat Si Bayi Besar terdiam mematung. Sementara sosok yang menjadi sasarannya tampak mengacungkan pistol yang masih mengepulkan asap. Seulas seringai kemenangan melebar di wajah penyerang kami itu.

"Kudengar mantramu menyelamatkan sasaran kami beberapa hari yang lalu, ya ... Non?" dia berkata. "Tapi kali ini tidak akan terjadi lagi. Enam peluru yang kutembakkan barusan, pasti menyedot habis energi bawahanmu ini ... Sebelum kau sempat selesai merapal mantra!"

"Aku cukup penasaran dengan teknologi kalian untuk menembakkan peluru kapur itu tanpa membuatnya hancur," komentarku tanpa mempedulikan monolog khas penjahatnya. "Apakah mantranya dipasang pada pistol, pada peluru, dirapal pada saat peluru ditembakkan ataukah kombinasi dari 2-3 metode sekaligus?"

"Sepertinya kombinasi dari tiga metode sekaligus, Lanfan," Si Bayi Besar menjawabkan pertanyaanku.

Penembaknya terlihat sangat terkejut karena sasarannya terlihat baik-baik saja.

"Berarti pelurunya betul-betul hanya terbuat dari kapur biasa, ya? Langsung hancur, kan? Tidak ada yang melukaimu secara fisik, kan?" tanyaku bertubi-tubi.

Si Bayi Besar menepuk-nepuk baju dan jaketnya, menghalau debu warna-warni yang menodai kain sebagai jawaban.

Dengan panik penembaknya berusaha meraih peluru baru dari saku bajunya, tetapi dia kalah cepat. Si Bayi Besar keburu menerjang dan membuatnya pingsan dalam sekejap. Pistol yang dia genggam terlepas dari tangannya dan tergeletak di dekat kakiku.

Dengan antusias aku ikut buru-buru mendekat untuk mengambil pistol bermantra itu. Siapa tahu aku bisa meneliti jenis mantra yang digunakan dan menerapkannya untuk sihirku sendiri. Namun belum sempat jemariku menyentuh pistol berwarna hijau dengan motif dedaunan itu, seorang bawahan datang dan mengambilnya dariku.

Itu tugas mereka. Walau mengesalkan, aku tidak bisa marah. Apalagi yang menyuruh adalah ketua klan.


***ooo000ooo***


"Lanfan, aku minta maaf sudah menelantarkan belanjaanmu ... Tapi tolong jangan tiba-tiba menghilang begitu saja. Kukira aku tadi ditinggal sendirian di pasar," protes Si Bayi Besar ketika kami sudah sampai di kompleks kediaman keluarga.

"Kau sendiri ... Urusan dengan tugas dari pelatihmu sudah beres? Dari tadi kulihat kau cuma mengikutiku belanja saja."

"Ohh, soal itu tenang saja. Tugasku: pura-pura tidak menyadari keberadaan orang yang mengincar nyawaku, sudah kuselesaikan dengan sempurna!" jawabnya bangga.

"Kau ... Sudah menyadari ada begundal-begundal itu sejak sebelum kita dihadang?"

"Sejak kita menjejakkan kaki di pasar," jawabnya dengan senyum riang.

Sore itu aku menyeretnya ke lapangan latihan dan memaksanya melayani latih tanding 10 ronde denganku. Setelah cukup puas baru kuserahkan cangkir yang diam-diam kubeli menjelang pulang dari pasar. Desainnya lebih simpel dibandingkan dengan cangkir teddy-nya, tetapi kupikir lebih cocok untuknya.

Pada akhirnya aku tetap tidak tahu apa yang hendak dia tanyakan pada pelatihnya yang katanya di luar materi. Mungkin lain kali akan kutanyakan langsung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top