Bumi Masih Berputar
Hari kelima, bulan ke sebelas.
"Kenapa matahari harus tenggelam?!"
Aku menanyakan itu bukan karena aku tak pernah belajar ilmu astronomi heliosentris. Aku hanya menyuarakan rasa frustrasiku pada satu-satunya sasaran yang ada. Aku tahu itu tidak patut.
Padahal bukan kesalahannya. Aku sudah melampiaskan emosi pada seseorang yang seharusnya kubimbing—untuk membuat situasi makin parah, dia lebih muda beberapa tahun dariku.
Begitu pun dia hanya diam, terlihat berpikir serius—seperti biasanya yang dia lakukan bila aku memberinya pertanyaan. Sayangnya sebelum dia sempat menjawab pertanyaan retorisku, beberapa ekor hewan elemental mulai bermunculan lagi. Perhatian kami kembali tercurahkan pada mereka.
***ooo000ooo***
Ketika menerima materi pelatihan dari Si Bayi Besar seketika itu juga aku mengernyitkan kening.
Bagaimana tidak, seorang pemula sepertinya diberi tugas untuk pergi ke altar pemujaan di atas bukit. Biasanya yang melakukan itu anggota keluarga atau bawahan yang hanya 5 level di bawahku. Sedangkan Si Bayi Besar ini ... Posisinya masih 10 level di bawah.
Melintasi perbukitan di cuaca dingin saja sudah menjadi tantangan tersendiri. Tugas yang harus dia kerjakan membuatnya harus melewati kawasan perbukitan dan kembali sebelum malam tiba. Karena setelah matahari terbenam adalah saatnya hewan-hewan elemental bermunculan.
Berbeda dengan jalan setapak dari desa di kaki gunung hingga ke kompleks kediaman, kawasan perbukitan di atas sana tidak dilindungi oleh mantra-mantra anti hewan elemental. Sulit untuk menjelaskan detilnya bagi orang awam, untuk sementara anggap saja mantra-manta itu tidak cocok bersanding dengan altar.
Hewan elemental adalah makhluk yang sepintas, secara fisik, menyerupai hewan buas biasa. Perbedaannya ada pada kemampuan yang menyerupai elemen yang sering berinteraksi dengan mereka. Pada kasus hewan elemental di sekitar altar pemujaan, mereka masuk kategori elemen angin, mungkin karena kencangnya angin di perbukitan.
Biasanya mereka tidak akan sembarangan mendekati anggota keluarga, perkecualian untuk pemilik tanda sulur rubi dan mata rubi, karena itu hanya yang sudah cukup level saja yang diizinkan pergi ke altar. Sedangkan Si Bayi Besar ini memiliki mata rubi, levelnya belum cukup tinggi pula. Lengkap sudah alasan menjadi sasaran para hewan elemental.
Sebagai pembimbingnya, aku tidak mungkin membiarkan dia berangkat ke altar seorang diri. Namun aku juga tidak terlalu percaya diri dengan kemampuanku untuk memastikan keselamatan kami berdua. Maksudku ... Bila terjadi sesuatu dengannya, aku yang harus menyeret tubuh besarnya pulang, kan?
Mungkin tidak seharusnya aku meluluskan dia pada ujian permainan petak-umpet kemarin, pikirku ketika kami berdua sudah berdiri di luar tembok belakang kompleks kediaman keluarga.
"Cuacanya bagus untuk jalan-jalan, ya?" komentar Si Bayi Besar, kalem.
Dia sama sekali tidak menyadari kekhawatiranku sebagai pembimbingnya!
"Ayo," cetusku. Lebih ketus dari biasanya. "Waktu kita tak banyak."
***ooo000ooo***
Sisa hujan deras dua hari yang lalu membuat tanah perbukitan menjadi becek. Di balik rerumputan yang sudah menguning dan daun-daun kering yang kami lalui terdapat kubangan lumpur yang terletak sporadis. Seperti area jebakan alami.
"Pertajam inderamu, awasi pergerakan makhluk-makhluk lain selain kita!" Aku memberikan instruksi padanya.
Dia mengangguk dan segera mematuhi. Tubuh besarnya bergerak sembari terus berusaha untuk awas dengan sekelilingnya.
Aku sendiri berusaha untuk lebih berhati-hati dari biasanya. Setiap langkah, kuperhatikan tanah yang akan kupijak dengan cermat. Terperosok kubangan lumpur, walau dengan pakaian khusus untuk menjelajah, jelas tidak menyenangkan.
Namun terlalu berhati-hati juga ternyata tidak bagus. Ketika kami tiba di altar, hari sudah sore. Dengan cemas aku mengawasi sekeliling. Masih ada sinar matahari, belum terlihat satu pun makhluk elemental.
Si Bayi Besar menjalankan instruksi yang diberikan oleh pelatihnya, memunguti kertas dan plakat mantra yang sudah usang, serta memasang yang baru. Bukan dia yang membuatnya, tentu saja. Dia hanya bertugas membawa saja.
"Sudah?" tanyaku tak sabar. "Ayo, kita harus segera sampai di rumah sebelum gelap!"
Gigi-geligiku terasa gatal ketika mengucapkan kata rumah. Bagiku, dibandingkan bangunan-bangunan kokoh dan indah di kompleks kediaman keluarga, pondok kecil yang pernah kutempati di masa lalu lebih terasa sebagai rumah.
Sangat jarang aku keliru mengasosiasikan tempat itu sebagai rumah. Mungkin karena benakku mulai kacau karena keinginan untuk secepatnya pergi dari tempat itu. Terlebih karena ada mangsa empuk dan besar yang berjalan mengikutiku.
Aku melirik pada pada Si Bayi Besar yang masih terlihat santai berjalan mengikuti langkah-langkah cepat yang kulakukan. Hanya sesaat, mendadak terbersit keinginan untuk melesat meninggalkan dirinya. Kalau aku seorang diri, pasti selamat.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pikiran tak patut yang hanya muncul sesaat itu membuatku menerima ganjarannya.
"LANFAN, AWAS!!!" pekik Si Bayi Besar.
Terlalu cepat melangkah, aku sama sekali tidak menyadari pijakanku melesak. Dedaunan kering yang kuinjak ternyata tepat ada di atas kubangan lumpur yang cukup dalam, membuatku kehilangan keseimbangan. Keteledoran yang mengagetkan untuk orang selevelku, tetapi bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Aku hanya akan terjatuh ke dalam kubangan.
Namun sebelum lumpur dan dedaunan mati menerima tubuh olengku, lengan yang kokoh keburu menopang pinggangku. Aku merasa tubuhku terlempar balik, sebagai gantinya, tubuh jangkung dan besar lelaki itu terjerembab di tanah basah. Tidak sampai tercebur di kubangan, memang ... Hanya terciprat sedikit lumpur.
Akibat lontaran yang cukup kuat, aku terduduk di tempat yang lebih kering darinya. Sedikit sakit di pantat, tetapi tak cukup untuk menimbulkan lebam. Aku bisa segera bangkit kembali, tetapi Si Bayi Besar masih tertelungkup di tempat dia jatuh.
"Hei," panggilku panik, karena dia tidak juga bangun. "Apa kau tak apa-apa?"
"Lanfan," panggilnya pelan, nyaris berbisik. "Yang di depan sana itu ... Makhluk apa?"
Aku mendongak ke arah yang sama dengan pandangan matanya.
Di depan sana, dari balik pepohonan yang sudah nyaris kehilangan daunnya, muncul beberapa pasang mata berpendar kebiruan. Aku menelan ludah.
"Serigala angin!" desisku. Makhluk elemental yang mengincar kami adalah perpaduan serigala dan elemental angin.
Keuntungan bagi kami adalah, fisik mereka lebih rapuh daripada serigala biasa. Sekali berhasil ditebas, tubuh mereka akan menguap. Namun hanya kalau kami berhasil menebas. Serigala angin terkenal dengan kecepatan mereka.
"Bangun!" perintahku, seraya menghunuskan kipas dan kertas mantra. "Kita harus lari hingga sedekat mungkin dengan kompleks kediaman!"
Susah payah Si Bayi Besar berusaha bangkit. Karena tidak diizinkan menggunakan mata rubi, dia menghunuskan satu-satunya senjata yang dia bawa, sebilah pedang. Untung dia bisa mundur ke tanah yang keras, tepat pada waktunya.
Beberapa ekor dari serigala angin sudah menyerbu. Aku menebas mereka dengan memasukkan elemen lawan pada kipasku dan membentuk bilah magis. Praktis, tetapi memakan banyak energi. Aku harus menyelesaikan ini lebih cepat kalau tidak ingin mati kelelahan.
Mantra pertama, bisa menebas dua ekor sekaligus. Mantra kedua, bisa menebas lima ekor sekaligus. Mantra ketiga, bisa menebas sepuluh ekor, tetapi aku harus menunggu beberapa detik hingga bisa melepaskan mantra berikutnya. Aku pun berusaha menghemat tenaga dengan bergantian antara mantra pertama dan kedua.
Semakin jauh matahari menggelinding dari posisi semunya di langit, semakin banyak jumlah serigala angin yang bermunculan. Dengan napas mulai terengah-engah, aku terus berusaha menebas setiap serigala angin yang datang.
Si Bayi Besar tidak dapat menebas lebih dari seekor, tetapi dia mampu menghalau setiap yang mendekat. Satu-persatu, semakin lama kecepatannya bertambah dengan konstan seiring dengan terbiasanya dia dengan pola serangan serigala angin.
Ketika akhirnya gerombolan yang menyerang kami habis, aku kembali terduduk, kali ini dengan napas memburu. Terlepas dari hawa dingin malam hari, keringat membanjiri kening dan punggungku.
Aku kesal. Pada pelatih Si Bayi Besar yang memberinya tugas. Pada perbedaan stamina fisik kami berdua. Pada matahari yang seenaknya menghilang saat kami berada di wilayah makhluk elemental. Teruatama, pada kecerobohanku sendiri.
Aku seharusnya mengatur langkah dengan lebih cermat saat berangkat tadi, sehingga kami tidak terlambat sampai di tujuan. Aku juga seharusnya tidak terburu-buru saat pulang tadi. Namun sudah terlanjur terjadi, hingga aku hanya meneriakkan rasa frustrasiku. Menyalahkan terbenamnya matahari.
Ketika gelombang kemunculan makhluk elemental lain mulai tiba, aku hanya bisa menggertakkan gigi dan melampiaskan sisa kekesalanku pada mereka semua. Tidak ada lagi mantra yang tersisa, aku pun harus berjuang menebas satu-persatu seperti yang dilakukan oleh rekan seperjuanganku.
***ooo000ooo***
Hening. Beberapa pasang mata kebiruan mengawasi kami dari jarak aman, lalu perlahan mereka mulai mundur. Hingga hawa keberadaan mereka sudah tidak terasa lagi.
Semburat warna jingga pudar mulai mewarnai langit dan awan. Fajar sudah menjelang. Tanpa sadar aku mendesahkan napas lega.
"Malam sudah lewat," seru Si Bayi Besar. "Lanfan, kita selamat!" tambahnya dengan senyum merekah.
Lucu juga melihat wajah yang biasanya selalu terlihat rapih dan menebar pesona ke sana-sini, kali ini penuh dengan celemong dari tanah yang basah. Aku sendiri pun tidak luput dari lumpur, walau tidak separah dirinya.
"Kau benar," jawabku. "Ayo, kita pulang!"
Kami pun melangkah dengan hati-hati, menghindari genangan lumpur sisa pertempuran semalam. Tidak butuh waktu lama hingga tembok terluar kompleks kediaman kami akhirnya tampak. Padahal tidak sampai melewati 24 jam tetapi rasanya seperti sudah berhari-hari. Aku masih sulit menganggap tempat itu sebagai rumah yang nyaman, tetapi setidaknya untuk saat ini hanya ke tempat itulah kami bisa pulang.
"Aku belum sempat menjawab pertanyaanmu semalam," celetuk Si Bayi Besar sembari susah-payah menyamakan langkah panjangnya dengan langkah-langkah kecilku. "Matahari memang tenggelam saat malam, tetapi itu bukan masalah, besok pagi pasti akan terbit lagi. Karena, baik atau buruk ... dunia masih berputar."
Aku terpana mendengar jawabannya. Tidak terlalu kekanak-kanakan, juga tidak terdengar mistis. Sungguh jawaban yang biasa saja.
"Cih ... Sok bijak, kamu!" gerutuku pelan, tak bisa menahan diri untuk mencubit pinggangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top