Piknik
"Mei, besok Kakak piknik jadinya diantar siapa, Mei?"
"Sama Ayah gimana, Kak?" jawab Bila menawarkan.
"Yahh, kan kemarin udah sama Ayah."
Kekecewaan tampak jelas di wajah Masha. Bila menarik napas, "kalau sama Memei nanti adek ikut lho, Kak. Ribet, nanti kalau nangis, atau rewel jadi nggak bisa jagain kakak memeinya."
"Tapi, di bus ndak ada yang sama ayahnya, Mei. Semua sama ibuk."
Duh, kalau sudah begini Bila langsung bungkam. Dia tahu betul bagaimana kira-kira pemandangan piknik anak-anak. Dia sudah pernah menemani Masha ketika tahun pertama PAUD. Kebanyakan, bisa dibilang 80% dari mereka diantar oleh ibunya. Ada juga beberapa ayah dari mereka menyusul dengan kendaraan pribadi dan bertemu di lokasi. Akan tetapi, tahun kemarin, dia memang terpaksa absen dan menyerahkan tugas mengawal Masha pada ayahnya. Saat itu, dia sedang hamil Naufal.
"Yakin Mei, aku diminta naik bus sama Kakak?" tanya suaminya yang sejak tadi diam karena baru menidurkan Naufal.
Bila mengingat kejadian tahun lalu, kemudian mendesah.
"Meiiiii, masa di jalan dari tadi Ayah diajak ngobrolllll terus sama ibuknya Hana. Ndak berhenti-berhenti," lapor Masha.
"Beneran, Yah?
"Hm."
"Diajak ngobrol apa?"
"Disuruh nyariin suami yang mirip sama aku katanya."
Bila kesal mendengar jawaban yang disampaikan suaminya. Mungkin efek kehamilan juga, dia menjadi sensitif dengan cerita ibu Hana.
"Pokoknya besok Ayah nggak usah ke PAUD lagi, nggak usah antar Kakak. Biar aku aja."
"Ya udah, Kak. Besok sama Memei deh, ya."
Bila mengambil keputusan yang menurutnya cukup baik. Dia takut suaminya menjadi pusat perhatian.
"Adek gimana, Mei?" tanya Masha penasaran, "Kan tempat duduknya cuma dua, kalau ada adek nanti sempit."
Ah, dia melupakan hal ini.
"Ya udah, adek biar sama Uti aja gimana?"
Masha tampak semangat mendengar jawabannya. "Ah iya, Uti. Ajakin Uti aja, Mei. Nanti Kakak naik bus sama Memei. Terus adek naik mobil sama Uti, sama Ayah. Kemarin Hanan, juga begitu, Mei. Kakak, ayah, sama utinya nyusulin pake mobil."
"Itu namanya piknik keluarga, Kak. Ajak Kakung juga sekalian." Ayahnya menimpali.
"Wah iya, Kakung juga!" Masha bersorak girang.
Bila menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi syok dari suaminya. Dia tahu Kak Daffa tidak serius menawarkan untuk mengajak ayahnya, melainkan sindiran halus. Akan tetapi, salah sasaran, Masha mana peka dengan hal demikian. Anak itu hanya tahu tawaran ayahnya sangat menarik.
"Kak," panggil suaminya kemudian.
"Iya, Yah?"
"Besok kamu sama Memei saja, ya. Nanti Ayah sama Uti antar sampai ke TK, tapi tidak ikut piknik. Kalau mau piknik sama Uti, sama Kakung, sama Adek, lain kali saja. Besok itu waktunya Kakak main sama teman-teman sekolah."
"Kok gitu?"
"Nanti, kalau Ayah juga nyusul ke sana. Kan kasihan teman Kakak yang ayahnya tidak bisa ikut. Kalau mereka jadi sedih karena lihat Kakak gimana?"
Senyum langsung terukir di wajah Bila ketika melihat putrinya tampak diam, sedang memikirkan kalimat ayahnya. Selalu saja, suaminya selangkah lebih dulu di depannya kalau urusan Masha. Dia tidak pernah terpikirkan memberikan pengertian seperti tadi kepada Masha.
"Gitu ya, Yah? Ya udah deh, Kakak pergi sama Memei aja. Kasihan teman Kakak yang ndak punya Ayah."
Speechless. Kalimat sederhana Masha yang memilih menggunakan kalimat "tidak punya ayah" daripada "ayahnya tidak bisa ikut" membuat Bila terdiam.
Hal-hal sederhana yang kita pikir baik-baik saja, belum tentu bagi orang lain yang melihatnya.
Teman-temannya Masha 😇😇😇, kira-kira kalau Ramadhan nanti Kak Masha dibuatin cerita seperti 'Diary Ramadhan Caca' gimana? Ada yang tertarik kah? Terus enaknya diupdate di sini, di Diary Ramadhan Caca, atau buat lapak baru? Tapi, pendek-pendek kayak gini, ya, isinya. Terima kasih sebelumnya atas masukannya.
Alyaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top