Maaf
"Katanya Kakak seharian ini di rumah aja, ya? Tumben, Kak," tanya Daffa selepas Isya.
Dia mendapatkan cerita dari sang Istri, jika anaknya beberapa hari ini sedang bertingkah aneh. Biasanya selepas sekolah, Masha akan bermain ke tempat Daun dan pulang ketika Adzan Dzuhur berkumandang. Setelah Asar, dia akan kembali bersama Daun. Entah itu dia yang ke rumah Daun atau pun sebaliknya. Namun, tumben sekali hari ini Masha satu hari penuh memilih di rumah.
"Ndak papa, lagi pengen main di rumah."
Jawaban persis seperti yang disampaikan ibunya.
"Kok Daun tidak main ke sini, Kak? Biasanya dia juga suka main ke sini?" pancingnya kemudian.
"Ndak tahu. Kok nanya ke Kak Masha?" ujar Masha dengan suara pelan, tampak tidak tertarik dengan pertanyaannya.
Pasti ada yang tidak beres.
"Kalian tidak berantem, kan?"
Masha menggeleng.
Tidak lama kemudian, muncul istri dan anaknya dari ruangan depan. Keduanya tadi sedang keluar untuk menjenguk tetangga yang baru melahirkan. Naufal sudah tampak lelap di gendongan ibunya.
"Aku bantu siapin tempat tidurnya, Mei. Kak, tinggal bentar, ya," pamit Daffa yang kemudian menuju kamar Naufal. Jawaban mengiyakan dari Masha terdengar samar.
"Kak, udah jadi ngomong sama Masha soal Daun?" tanya Bila memulai pembicaraan.
"Sudah, tapi dia bilang tidak apa-apa. Sama persis kayak ceritamu. Memangnya ada apa sama mereka berdua?" Daffa justru balik bertanya.
"Itu dia, tadi ketemu Ibu Daun. Beliau juga malah nanya kenapa Masha nggak main ke sana. Aneh, kan?"
Daffa memikirkan kemungkinan yang terjadi. Jika demikian, berarti sudah pasti ada masalah di antara keduanya. Namun, masalahnya sekarang adalah bagaimana untuk mengetahui masalah itu, lalu mencari solusinya.
"Fix, mereka lagi marahan. Aku coba bicara sama Masha lagi. Siapa tahu dia mau ngomong," pamitnya kemudian.
"Aku nyusul nanti."
**
Sampai di tempat bermain Masha, Daffa tak langsung berbicara. Diperhatikannya anak sulungnya itu dengan seksama. Kilasan demi kilasan berputar di kepala. Ketika Masha masih bayi, merangkak, belajar berjalan, berlari, hingga sekarang tampak seperti yang ada di depannya. Kini, Masha sudah besar, dia suka protes kepada ibunya jika rambut panjangnya tidak dikuncir dan menggangu saat belajar. Ah, memikirkan Masha yang semakin tumbuh, membuatnya seperti ingin menghentikan waktu.
"Yahhhhhhh!"
Panggilan dari Masha membuyarkan lamunan. "Iya, Kak?"
"Ayah dipanggil kok diam aja?" protes Masha dengan wajah yang menggemaskan.
"Maaf, Kak. Tadi Ayah tidak menyimak."
"Tuh kan, Yah. Ayah aja ndak salah minta maaf, masa kemarin Daun udah rusakin baju barbie Kak Masha ndak mau minta maaf."
Ups, sepertinya masalah yang tadi dikorek justru terkuak dengan sendirinya.
"Terus gimana tuh, Kak?" pancingnya.
"Abis itu Daun malah bilang kalau baju barbienya emang udah rusak dari tadi."
"Terus?"
"Terus Kak Masha rusakin baju barbienya Daun."
"Astaghfirullah, Kak," gumamnya pelan.
Daffa menghela napas. Kalau sudah begini, dia semakin sadar kalau menjadi orangtua itu berat. Besok, dia akan bilang kepada para juniornya yang sedang terkena sindrom film Dilan, kalau rindu yang mereka bilang berat itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan beratnya menjadi seorang ayah.
"Habis itu Kak Masha minta maaf tidak?"
"Ndak."
"Kenapa begitu?"
"Kan Daun juga ndak minta maaf."
Khas Masha, apa yang menurutnya benar selalu saja benar. Di sinilah tugasnya untuk mengoreksi.
"Kak, kalau temannya salah dibilangin baik-baik, dibilangin buat minta maaf. Kalau Daun bilang sudah rusak dari tadi, Kak Masha ingat tidak pas bawa main rusak atau tidak bajunya?"
"Ndak."
"Nah, bisa jadi memang sudah rusak dari awal. Atau kalau pun misal Daun yang salah, bisa jadi dia tidak sengaja atau tidak sadar. Makanya dia bilang begitu. Nah, kalau sudah begitu, Kak Masha tidak boleh marah. Anak sholehahnya ayah itu sabar, kalau temannya salah ya dimaafkan." Daffa menghentikan kalimatnya untuk memastikan Masha masih menyimak.
"Nah, terus dibilangin ke Daun-nya, besok-besok harus hati-hati kalau pinjam mainannya kakak. Kalau kalau nih ya, Daun memang jahat, merusak mainan Kakak, Kakak tidak boleh balas. Didorong, balas mendorong. Dipukul, balas memukul. Kalau begitu Kakak jadi sama jahatnya. Jadi, mulai besok kalau ada temannya yang jahat, tidak baik sama Kakak, dikasih tahu sama didoakan ya biar jadi baik," lanjutnyaa dengan tenang dan panjang. Dia berharap, Masha bisa paham.
"Begitu, Yah?"
"Iya. Terus Kak Masha kemarin minta maaf tidak habis rusakin mainan Daun?"
"Ndak, kan Kak Masha marah, Yah."
"Ka---,"
"Besok Kak Masha mau minta maaf sama Daun, Yah. Kak Masha salah. Terus Kak Masha juga bosen main sendiri, ndak ada temannya. Teman yang lain, semua mas-mas, ndak ada yang bisa diajak main barbie."
Kalimat nasehat yang akan diucapkannya terputus oleh Masha.
"Kalau sudah minta maaf, besok lagi tidak boleh diulangi ya, Kak," ujar istrinya yang baru saja ikut bergabung.
"Iya, Mei. Kak Masha salah, besok ndak diulangi lagi."
"Tapi, Mei... baju barbienya kan rusak, besok dibeliin lagi yang baru, ya."
Ekspresi syok dari Bila membuat Daffa nyaris terbahak. Istrinya ini memang sedikit berlebihan dalam menghadapi Masha. Seperti yang baru saja terjadi, ucapan spontan Masha dianggapnya serius. Memang sih serius, tetapi bukan berarti harus dituruti, kan?
"Nanti bajunya bisa dijahit sendiri kok, Kak. Iya kan, Mei?" ucapnya memberi solusi.
Kedua wanita beda usia itu lalu melihatnya dengan mata berbinar.
Mainan, benda mati yang rusak saja bisa diperbaiki apalagi hati.
Meminta maaf, kata yang sederhana tetapi akan menjadi masalah besar ketika kamu tidak mau mengucapkannya. Meminta maaf sama saja dengan belajar untuk menghindari kesalahan yang sama agar kalimat itu tidak perlu terucap lagi.
**
Nb: Buat pemesanan Paket Buku Kak Masha, ditutup besok lusa ya, teman-teman.
Jangan ketinggalan, biar Kak Masha bisa makan ayam... ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top