Lemper
Image: menjualkerupuk.com
***
"Mei, Kak Masha mau lemper, Mei. Lempernya mana?"
Bila menatap Masha dengan pandangan aneh. Tidak ada angin dan hujan, tetiba anaknya pulang ke rumah dan berbicara tentang lemper. Makanan yang biasanya bisa ditemukan pada hajatan atau pengajian.
"Lemper, Kak?" tanyanya memastikan.
"Iya, Mei. Lemper."
"Kamu tadi mau main sudah makan kan, Kak? Baru sebentar kok sudah laper?"
Suara lain, suaminya yang sedang menunggu Naufal bermain ikut menimpali.
Ngelawak? Garing banget, Pak Daffa.
"Lemper, Ayah! Bukan laper. Itu lho maeman yang dibungkus daun pisang, terus dalamnya ada ayamnya," sahut Masha menjelaskan.
"Oh, Ayah kira kamu laper, Kak. Kenapa pulang main tahu-tahu nyari lemper? Kan tidak ada yang nikahan."
Masha yang berjalan mendekat pada ayahnya, membuat Bila melanjutkan aktifitas menyapunya. Walau begitu, tetap saja obrolan ayah dan anak itu terdengar di telinga.
"Tapi kan ada pengajian, Yah. Tadi Kak Masha main ke tempat Daun dikasih lemper. Kata Daun, waktu Kak Masha nanya kok bisa punya lemper katanya dikasih Budhe Sri. Semalam Ayah ngaji ke tempat Budhe Sri, kan?"
"Iya, ngaji tempat Budhe."
"Terus lempernya Kak Masha mana?"
Ibarat pepatah jawa 'Njagakke endoge blorok' (mengharapkan telur warna warni), mengharapkan sesuatu yang mustahil. Jadi, tadi malam adalah jadwal mengaji bapak-bapak yang bertempat di tempat Budhe Sri atau Pakdhe Ahmad yang rumahnya ada di ujung RT. Kebetulan sekali, mereka adalah kerabat dekat dari Daun. Ibu Daun dimintai tolong untuk membuatkan puding sebagai pelengkap snack pengajian. Lalu, Masha dan Naufal mendapatkan rezeki ikut kebagian. Namun, yang namanya anak kecil, ketika Daun mendapatkan bungkusan snack lengkap, Masha berpikir dia juga sama. Padahal rumah mereka jauh, mustahil.
Duh, Sha!
"Kak, itu kan karena Daun itu saudaranya Budhe Sri, makanya dikasih lemper," jelas suaminya singkat.
"Tapi kok ada puding di kulkas, Yah?" tanya Masha masih belum menyerah.
"Puding kan dari tempat Daun, Kak. Kemarin Memei bantuin ibunya Daun bikin puding buat pengajian. Kalau yang buat lemper bukan di tempat Daun."
"Begitu?"
"Iya."
"Kak Masha pengen lemper, Yah? Beli, yuk?" rengeknya kemudian.
"Beli di mana, Kak? Ndak ada yang jual," Bila menimpali cepat sebelum Masha merengek panjang.
"Pasar, Mei?"
"Ndak ada. Lagian sekarang udah siang, pasarnya udah tutup. "
Masha merenggut, mengucapkan kekecewaannya. "Yahh... padahal Kak Masha pengen lemper, udah lama ndak makan. Kak Masha suka lemper."
"Makan ayam saja mau, Kak?" tawarnya kemudian.
Masha menggeleng.
"Kamu bisa bikin, Mei?" tanya suaminya serius. Ah, suaminya ini selalu saja tidak bisa melihat kekecewaan anaknya. Luluh dengan wajah memelas Masha sekarang.
Bila meringis. "Nggak bisa, Yah. Ribet. Kalau bantu Bunda bikin, biasanya kebagian pasang lidi sama rapiin daunnya aja."
Tidak ada ekspresi kecewa dari Kak Daffa. Suaminya itu tampak tenang dan terlihat berpikir.
"Kak, kita ke tempat Uti aja, yuk? Nanti minta Uti buatin lemper, Ayah tiba-tiba jadi pengen lemper."
"Beneran, Yah? Yuk, berangkat sekarang," jawab Masha dengan penuh semangat.
Ucapan yang keluar dari mulut suaminya tak lama kemudian membuat Bila bengong. Ini siapa sebenarnya yang anak-anak? Masha atau suaminya?
"Kasihan Bunda, Yah," tolaknya tidak setuju.
"Kasihan gimana? Nanti biar aku sama Masha yang petik daun pisang sama siapin lidinya. Nah, Memei yang masak. Bunda biar main sama Naufal sambil kasih kamu instruksi kerja cara bikin lemper. Terus, besok-besok bisa dipraktekin sendiri di rumah."
"Dek Nopal udah mainnya, Dek. Ayo ke tempat Uti!"
Kalau sudah begini, dia bisa apa selain menuruti keduanya?
Kadang kita terlalu berharap, padahal tidak ada yang memberi harapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top