Lebaran Haji

Sebagian dari parti ini pernah dipublish tahun lalu.
Karena lapaknya ditarik, jadi dipindah ke sini.🙌🙌🙌
Selamat Hari Raya bagi yang menjalankan.
*aroma sate tercium*

💙💙💙

Masha mojok di sofa ruang tamu. Tangannya mendekap bantal dengan erat. Bibirnya manyun menyaingi ikan lohan. Hari ini, dia mengibarkan bendera perang dengan ayah, ibu, juga adiknya.

"Kakak nggak jadi ikut takbiran? Teman-temannya udah pada ke masjid lho, Kak," tanya Bila dengan tangan masih menggendong Naufal yang hampir terlelap.

"Maunya dianter sama Memei," jawab Masha dengan lirih.

Bila menghela napas. Bukan, bukannya dia tidak mau mengantar Masha, hanya saja Naufal masih terlalu kecil untuk berpergian di malam hari. Dia tidak mungkin tega membawanya karena mengantar versi Masha itu adalah menunggunya dari awal acara sampai selesai.

"Sama Ayah aja ya, Kak? Bentar lagi Ayah pulang," tawar Bila mencoba memberi solusi.

"Iya, sama Ayah."

Bila tersenyum lega.

"Tapi, sama Memei juga," lanjutnya.

Senyum di wajah Bila memudar. Harus gitu ya, Kak diantar berdua?

"Kasihan adek, Kak. Adeknya udah ngantuk."

Bukannya menjawab, Masha lebih memilih diam.

"Kak...," panggil Bila kemudian.

"Tapi... teman-teman diantar sama ibunya, Mei.... Masa Kak Masha cuma diantar Ayah?" ucap Masha pelan, yang kemudian disusul oleh isak tangis.

Bila bergegas ikut duduk di samping Masha, diusapnya putri kecilnya, lalu dipeluk dengan tangan kiri. Tangis Masha makin menjadi. Bila paling tidak tega melihatnya menangis. Terlebih lagi Masha bukanlah anak yang cengeng. Hufft, di saat seperti sekarang, dia tidak bisa mencari solusi. Takbir keliling biasanya diadakan ba'da Isya dan selesai jam sebelas malam, terlalu larut untuk Naufal yang masih bayi. Orangtua, terutama ibu-ibu, biasanya akan mengantar anaknya dari ba'da Maghrib untuk di-make up.

Daffa yang baru pulang dari Masjid melihat ketiganya berpelukan dan langsung menghampiri. Dia mengambil alih Naufal agar Bila bisa menenangkan Masha.

"Kak Masha katanya udah gede, nggak boleh nangis dong," katanya mencoba menghibur Masha.

Masha tidak menanggapi. Dia masih menangis. Wajahnya sepenuhnya tersembunyi di pelukan ibunya.

"Dia nggak mau ke mushala diantar ayah aja, maunya sama memei juga," ujar Bila menjelaskan.

Daffa mengangguk paham. Masha memang sudah mempermasalahkan hal tersebut sejak dia akan ke Masjid tadi. Anaknya yang biasa ikut serta, kali ini memilih berdiam diri di rumah, melanjutkan aksi merajuknya.

"Kalau Kak Masha diantar sama Om Rangga sama Nte Syafa gimana, Kak? Mau?"

Masha menggeleng pelan. Dia menjawab terbata di sela isak. "Mau... hiks... sama... Memei... sama Ayah."

"Coba telepon Om Rangga, Mei. Siapa tahu mereka free? Jadi, kita bisa minta tolong buat jaga Naufal sementara Kak Masha takbiran."

"Nanti kalau Naufal kebangun terus rewel gimana?"

"Ya, hitung-hitung mereka latihan. Nanti kan juga bakal punya bayi sendiri. ASI-nya Naufal juga masih ada, jadi kalau nangis tinggal kasih dot," jawab Daffa dengan tenang.

Bila mengangguk setuju. Ah, benar juga, kenapa dia tidak kepikiran sejak tadi? Punya adik yang tinggal dekat rumah itu bisa dimanfaatkan. Diambilnya ponsel yang tergeletak di meja dan langsung menghubungi adik bungsunya. Bibirnya tertarik ke atas, tersenyum puas ketika akhirnya solusi sudah didapatkan. Rangga dan Syafa bersedia menjaga Naufal.

"Siap-siap yuk, Kak? Memei sama Ayah yang antar," ujarnya sambil mengusap kepala Masha dengan sayang.

Masha menjauhkan wajahnya dari pelukan. Dia mendongak, menatap ibunya minta diyakinkan. Ketika ibunya mengangguk, matanya beralih kepada ayahnya yang menidurkan sang Adik."

"Dedek, Mei?" tanyanya pelan.

"Nanti Om Rangga sama Nte Syafa mau ke sini buat jagain adek."

"Dek Nopal dikasih buat Om Rangga sama Nte Syafa aja, Mei. Suruh bawa pulang, ya, Mei, ya?" ujar Masha dengan semangat. Mood-nya sudah kembali normal. Dia bahkan langsung turun dari pangkuan ibunya untuk mencuci muka, bersiap pergi ke Masjid.

**

"Dia kenapa?" tanya Daffa kepada Bila saat melihat Masha duduk di sofa dengan tangan bersedekap.

Masha ngambek lagi.

"Dia nanyain kambingnya ke mana, terus kujawab tadi kan udah lihat kambing disembelih. Jadi, sekarang kambingnya udah jadi ini," terang Bila sambil menunjuk gulai yang ada di meja.

"Terus?"

"Kambingnya Kak Masha masih ada kan, Yah? Tadi pas lihat di pemotongan ndak lihat Si Hitam kok," ujar Masha yang langsung memanyunkan bibir begitu menyelesaikan kalimatnya.

"Kak Masha lupa sama cerita Nabi Ibrahim, ya?"

"Ndak lupa kok, Yah! Yang anaknya diganti domba, kan?"

"Iya. Nah, terus akhirnya domba atau kambingnya kan yang disembelih? Sama kayak kambingnya Kak Masha, disembelih juga."

Masha menggeleng tidak setuju. Dia sudah terlanjur senang mempunyai hewan peliharaan setelah Si Putih asli tewas mengenaskan. Selama beberapa hari ini, dia tidak pernah absen untuk memberi rumput buat kambing yang dia beri nama Si Hitam. Oleh karena itu, dia tidak menerima fakta bahwa Si Hitam telah dikurbankan.

"Halusnya Dek Nopal aja yang disembelih, bial nanti diganti kambing sama Allah. Bukannya Si Hitam yang dipotong!" teriak Masha keras.

Bila dan Daffa langsung syok mendengar kalimat Masha. Ya Tuhan, memangnya Naufal hewan yang bisa disembelih kapan pun diinginkan.

Dia itu adikmu, Sha!"

"Anakmu tuh, Kak," ujar Bila pelan.

"Yang ngelahirin kamu," jawab Daffa kalem.

"Kak Masha ndak mau makan gule itu. Kasihan si Hitam, masa dimakan orang-orang," ujar Masha pelan dengan suara lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Ya udah, dibikinin Memei telur ceplok mau?"

Masha menggeleng.

"Ayam Kentucky mau, Kak?" tawar Bila dengan makanan favorit Masha.

Masha menggeleng lagi.

"Mau sate kambing, tapi kambingnya bukan Si Hitam."

Bila terdiam. Intinya tetap mau daging kambing, kan?

"Daging kambingnya udah aku masak semua, Yah. Tinggal daging sapi," jelas Bila.

"Telepon Didi gih, siapa tahu di sana masih ada sisa yang belum dimasak."

Bila langsung mengambil ponsel yang ada di meja dan menghubungi adiknya. Dia baru bisa bernapas lega ketika Didi mengabarkan kalau kebetulan di rumah bunda akan memanggang sate.

"Kebetulan di sana baru bikin sate. Ayah sama Kak Masha jalan sekarang gih," ujar Bila begitu selesai menutup panggilan.

"Asikkk!" Masha bersorak senang.

"Memei ikut, kan? Jalan sekarang, Mei?" tanyanya kemudian.

"Adek masih tidur, Kak. Nanti Memei sama adek nyusul dijemput ayah lagi, ya? Atau ke sananya  mau nungguin dedek bangun?"

"Mau sekarang sama ayah, sama memei, sama dedek juga! Sini, biar Kak Masha bangunin dedeknya!"

Masha turun dari sofa dan langsung berlari kecil menuju kamar, meninggalkan Bila dan Daffa yang masih melongo takjub melihat tingkah Masha. Saat Suara tangis bayi terdengar, barulah Bila menghela napas.

"Itu tadi Naufal minta digendong hampir satu jam baru tidur tahu, Kak. Ini baru lima belas menit tidurnya, sekarang udah dibangunin Masha."

"Mau gimana lagi? Anaknya udah bangun, sekalinya bangun dari tidur siang kan dia nggak bakalan tidur lagi."

Biasanya kalau sudah sayang, kita sulit untuk mengikhlaskan.

**

"Banyak banget kamu bikin tusukannya, Dek? Memangnya abis?" tanya Didi kepada Rangga yang bertugas menusuk daging kambing, sementara dirinya membuat perapian.

"Ini cuma lima puluh kok."

"Udah, Dek! Itu udah banyak banget. Ayah sama Bunda kan juga nggak suka sate kambing. Sayang kalau nggak habis, itu tusukan ada kali limapuluh. Memangnya Syafa doyan? Kalau nggak itu bisa-bisa kita makan masing-masing dualima," ujar Didi ngeri.

"Syafa sih nggak doyan. Tapi, siapa bilang cuma kita berdua? Ada Kak Bila, Kak Daffa sama Masha, terus Om Eza, Tante Vani, Najwa, Embun juga bakal dateng. Om Eza sama Tante Vani kan suka sate kambing. Najwa, Embun biasanya juga mau. 

Didi mengangguk paham. "Pantas Ayah beli kambing dua, yang satu buat pesta sendiri. Siap-siap mabok!"

Obrolan keduanya terhenti ketika Bila dan keluarganya sudah tiba. Bila yang menggendong Naufal langsung masuk ke dalam rumah diikuti Daffa yang membawa tas bekal mereka. Sementara itu, Masha langsung mengambil duduk di samping Didi.

"Kak Masha kenapa? Kok mukanya manyun gitu?" tanya Didi ketika menyadari Masha yang tidak langsung mengoceh seperti biasa.

"Si Hitam kata Memei sama Ayah udah disembelih, Om. Kasihan, sekarang udah dimakan orang."

"Si Hitam?" tanya Didi tidak mengerti.

"Itu nama kambing buat kurban. Kemarin aku yang nemenin Kak Daffa beli, warnanya hitam," jawab Rangga.

"Kak Masha tahu cerita Nabi Ibrahim, kan?" tanya Didi.

"Iya tahu. Tadi ayah juga nanya begitu, tapi kan waktu itu yang mau disembelih bukan kambing tapi anaknya. Makanya Kak Masha bilang sama ayah, harusnya dedek aja yang disembelih, bukan si Hitam."

Sadis amat kamu, Sha!

Didi dan Rangga menatap Masha dengan horor. Mereka kehabisan kata-kata untuk memberi pengertian kepada Masha dan akhirnya memilih mengalihkan perhatian.

"Kak, bantuin Om hitung satenya udah dapat berapa gih!" pinta Rangga kemudian. Dengan begini, dijamin Masha akan sibuk untuk beberapa saat.

**

"Bil, Sya, nanti pas pulang kamu bawa dagingnya ya, takut nggak habis," ujar Alya kepada Bila yang sekarang membantunya di dapur.

"Di rumah dapat jatah juga masih utuh, Bun. Masha yang biasa doyan ngambek nggak mau."

"Ngambek?"

"Iya. Katanya dia nggak mau makan kambingnya. Dia dari tadi nanyain kambingnya yang nggak ada, terus aku bilang udah dipotong. Akhirnya dia ngambek," jelas Bila.

"Bukannya kata Rangga dia ngajak ke sini soalnya mau sate kambing?" tanya Reffi yang sedang mengambil minum dari dispenser.

"Bocah itu, Yah! Tahunya yang di rumah itu kambingnya, kalau di sini beda lagi. Makanya maksa buat ke sini. Tadi aja Naufal tidur langsung digangguin biar bangun dan cepet ke sini."

"Pasti Naufal nangis ya, Bil?"

"Iya."

"Masha makin ke sini makin mirip kamu banget. Dulu waktu ada Didi juga kerjaan kamu bikin dia nangis terus," kata Alya sambil tertawa.

Bila menyipitkan mata tidak percaya.

"Tanya aja ayahmu kalau nggak percaya."

Reffi ikut tertawa. "Kamu dulu suka jambakin rambut Didi kalau dia lagi tidur. Kalau nggak bangun, telinganya dijewer. Awal-awal aja kamu manis sama dia, makin ke sini sadis. Kamu bilang suaranya Didi bagus kalau nangis."

"Pantas aja Didi itu kalau sama aku songong ya, Yah! Beda sama Rangga yang nurut," kata Bila sambil mengangguk seakan bisa membayangkan dirinya versi dulu.

Suara panggilan telepon milik Reffi akhirnya menghentikan obrolan mereka. Dia pergi ke ruang tamu untuk mengambil ponsel. Tidak lama kemudian, dia sudah kembali ke dapur.

"Bun, Eza sekeluarga katanya nggak jadi datang hari ini. Mereka ada acara di rumah mertuanya. Dadakan dikasihtahunya.

Alya mengangguk paham. "Kalau gitu masaknya hari ini dikurangi aja, Bil."

"Oke," jawab Bila.

"Eh, Yah! Tadi Rangga aku minta buat siapin bikin sate banyak sekalian buat mereka. Bilangin gih suruh secukupnya aja," kata Alya yang teringat si Bungsu ketika mulai mencium aroma sate.

"Kenapa, Nda? Sini, biar Sya aja yang bilangin," tanya Syafa yang baru muncul setelah mengambil alih tugas kakak iparnya untuk menidurkan Naufal.

"Itu, Sya. Kamu bilangin lelaki yang di depan kalau bikin satenya jangan banyak-banyak. Om Eza sekeluarga ada urusan, jadi tidak bisa datang hari ini."

"Siap, Nda. Sya ke depan sebentar."

Syafa melangkah cepat menuju halaman tempat para lelaki sedang sibuk dengan tusuk, daging, dan arang. Di antaranya, ada Masha yang ikut sibuk memegang kuas bumbu. Dia ikut berjongkok bergabung di samping Masha agar bisa dekat dengan suaminya.

"Mas Ray, barusan Bunda bilang Om Eza nggak jadi datang. Bikin satenya nggak usah banyak-banyak."

"Beneran?" tanya Rangga memastikan.

Syafa mengangguk sebelum pamit untuk kembali ke dapur.

Rangga menatap tusuk satenya dengan miris. Padahal, dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk menusuk daging-daging di hadapannya.

"Aku nggak sanggup lho, Dek kalau  suruh bantu ngabisin," ujar Didi mengingatkan setelah  mendengar pemberitahuan adik iparnya. 

"Nanti Kak Masha bantu, Om!" ujar Masha ikut bersuara.

Daffa yang juga  ada di sana, tersenyum tipis. Porsinya Masha itu terbatas, tidak akan muat banyak perutnya.

Rangga akhirnya melepas beberapa daging sate dari tusukannya. Dia kumpulkan menjadi satu ke dalam wadah plastik.

"Kak Masha, tolong dibawa ke dapur, Kak. Bilang buat dimasak sekalian sama Uti," ujarnya setengah tidak ikhlas.

Didi yang melihat kekecewaan adiknya terbahak. "Makanya jangan laper mata, dibilangin juga dari tadi ngeyel!"

Seperti rumah pasir yang tersapu ombak, usaha kita kadang hancur sia-sia tanpa sisa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top