Lebaran - 2

Suara adzan berkumandang ketika Masha membuka mata. Anak itu segera bangun dan mencari ibunya.

"Mei!" teriaknya.

Tak ada jawaban.

Dengan langkah sedikit sempoyongan, Masha berjalan menuju ruangan depan. Berbeda dengan tadi pagi, di meja ruang tamu kini nampak toples makanan berjajar. Ada nastar, putri salju, roti coklat, dan masih banyak lagi. Air mineral juga tak ketinggalan. Perut yang sudah keroncongan, akhirnya membuat pemiliknya mengambil satu toples putri salju. Dia bawa ke kursi, dipangku, lalu dinikmatinya. Ah, putri salju ini cemilan favoritnya. Masha suka sekali dengan taburan gula halusnya.

Suara ayah, ibu, dan adiknya yang mulai terdengar dari luar rumah tidak menganggu Masha sama sekali. Dia yang tadi mencari ibunya, sekarang tidak peduli.

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikum...salaam," jawab Masha dengan mulut penuh dengan makanan.

"Udah bangun, Kak?" tanya ayahnya yang muncul bersama Naufal.

Masha mengangguk. Dia baru saja memasukkan satu potong kue lagi.

**

Bila menyusul suami dan anaknya yang lebih dulu masuk rumah. Dia baru saja menyelesaikan silaturahmi ke tetangga samping rumah. Mereka sengaja memanfaatkan waktu ketika Masha tertidur karena sore ini rencananya akan ke rumah Bunda dan besok berangkat bersama ke Surabaya. Waktu yang ada digunakan sebaik mungkin karena harus membaginya untuk bertemu mertua yang kebetulan sedang berada di rumah Eyang di sana. Momen lebaran memang berarti momen ketemu keluarga. Ini baru keluarga inti saja, belum yang lainnya menunggu antrian. Bila menyebutnya momen hectic. Boro-boro syawalan dengan teman seangkatan, keluarga saja bisa lebih dari dua minggu antriannya.

Langkahnya terhenti di ruang tamu. Masha duduk bersila di sofa dengan satu toples kue di pangkuan.

"Lapar, Kak?" tanyanya basa-basi.

Masha mengangguk.

Ups, seharusnya Bila tidak perlu basa-basi. Dia tahu betul kalau Masha tadi pagi hanya sempat minum teh sebelum Shalat Ied dan langsung terlelap ketika membuat cilok.

"Udahan makannya, Kak. Shalat dulu yuk, nanti abis itu makan nasi."

Masha menganggukan kepala dua kali dan meletakkan toples di atas meja. Bila langsung terdiam melihatnya. Toples yang tadi penuh, kini tinggal setengah. Ah, sepertinya ini benar-benar kelaparan.

"Kakak ikut Ayah ke mushola ya, Mei," ijin Masha ketika makanan di mulutnya sudah habis.

"Iya."

**

"Mei, amplop Kakak yang semalam dikasih sama Mas Hanif mana?" tanya Masha heboh ketika pulang dari mushola.

"Semalam Kakak taruh di meja kamar, kan?"

"Oh iya!"

Bila menggelengkan kepala ketika Masha langsung pergi ke kamarnya, meninggalkan dia yang baru di dapur untuk mengambilkan sarapan. Sarapan saat jam makan siang. Amplop yang dimaksud Masha tadi adalah uang THR dari wali santri yang dititipkan melalui Hanif sebagai ketua pemuda. Setiap anak yang mengaji di mushola selama bulan Ramadhan mendapatkannya. Kebetulan sekali tahun ini Masha mendapat dua amplop. Alhamdulillah.

"Mei, lihat, Kakak punya empat!"

Masha kembali muncul di hadapan Bila dengan empat amplop di tangan. Wuiihhh.

"Dari siapa, Kak?"

"Dua dari Mas Hanif karena Kakak rajin ngaji. Terus tadi pas shalat dikasih sama Pak Haji karena katanya Kakak rajin shalat. Terus di jalan tadi ketemu Budhe Rika, dikasih juga katanya Kakak pintar."

Bila tersenyum mendengar penjelasan dari Masha. Anak itu kini mengeluarkan semua uangnya, lalu dijadikan satu dan dilipatnya untuk dimasukkan ke satu amplop. Sisa amplop lainnya dibuang ke bak sampah. Pengumpul duit.

"Yah! Ayah ndak ndak mau kasih Kakak uang? Kan, Kakak anak solehah."

Suaminya yang baru muncul belakangan langsung kena todongan.

Kamu nanya apa maksa sih, Kak?

"Uangnya dipegang sama Memei, Kak."

Begitu mendengar jawaban ayahnya, Masha langsung beralih padanya.

"Mei?" tanya Masha dengan menengadahkan tangan.

Bila menghela napas, "Kak, nggak boleh kayak gitu ih. Kalau dikasih ya bilang Alhamdulillah, missal nggak, ya jangan minta."

"Kakak nggak minta kok," elak Masha.

"Barusan?"

"Kakak kan nanya, Mei. Mas Hanif kasih Kakak uang karena rajin ngaji, Pak Haji karena rajin shalat, Budhe Rika karena pintar. Terus Kakak kan anak solehahnya ayah, dikasih apa nggak. Begitu... bukan minta, tapi nanya."

Kalau sudah dijawab demikian, Bila dibuat mati kata. Dia tak punya kalimat lagi untuk Masha.

Hingga akhirnya suaminya bersuara.

"Kak, kalau sama Ayah atau Memei boleh nanya begitu. Tapi, nanti sama Om, Tante, Kakung, Uti, atau sama yang lainnya nggak boleh nanya begitu ya. Tidak sopan, Kak."

"Begitu, Yah?"

"Iya."

"Padahal tadinya Kakak mau nanya ke Om Didi sama Nte Nawa kalau ketemu di rumah Kakung. Terus Kakung sama Uti, Mbah Eja juga. Terus besok ke Om Ken sama Mama Rere. Kalau Kak Caca mah, ndak punya duit belum kerja."

Suaminya tidak berkomentar lagi, terlalu takjub dengan penjelasan Masha.

"Kamu semangat banget ngumpulin uangnya, Kak? Mau buat beli apa?" tanya Bila kemudian.

Masha terdiam. Dia terlihat seolah sedang berpikir keras.

"Ndak tahu, Mei. Kumpulin aja biar banyak."

Seringkali kita hanya mengikuti jalan hidup, tanpa tahu tujuan akhirnya.

❤❤❤

Akhirnya bisa update lagi. Maaf lama, ya. Btw terima kasih atas komen di bagian gambar Masha, jawabannya sangat membantu. Oh, iya sekarang Kak masha sudah dibuatkan IG khusus, bisa difollow ignya @catatanmasha.

Regards

Alya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top