Lebaran - 1

LEBARAN Bag.1

"Kakak udah bangun, Yah?" tanya Bila ketika suaminya ke kamar untuk berganti pakaian usai mandi.

Dia sendiri sedang sibuk memberikan Naufal ASI. Bicara soal Masha, sepanjang pagi ini dia sudah membangunkannya sebanyak tiga kali. Namun, anak itu masih asyik memeluk gulingnya tanpa mau diganggu.

"Sudah, tadi aku minta buat mandi."

"Wih, mau bangun dia? Gimana caranya?" tanya Bila dengan takjub. Ah, pawang Masha memang selalu bisa diandalkan. Hanya saja semalam kalah dengan ide cilok dari Hanif.

"Aku bisikin ke dia. Cilok, Kak, Cilok! Ciloknya keburu abis kalau kesiangan! Dia langsung bangun."

Bila tertawa. Dia seakan melihat Masha di depan matanya hanya dari cerita ayahnya. Seharusnya, tadi dia juga menggunakan kata cilok sehingga sekarang Masha sudah bangun.

Beberapa saat kemudian, suaminya sudah siap dengan baju koko dan Naufal selesai minum. Bila merasa ada yang aneh dengan situasi yang ada. Masha biasanya selalu berteriak meminta handuk ketika mandi, tetapi kali ini senyap. Apa mungkin dia sudah membawa handuk seperti perintahnya? Akan tetapi, Masha belum bisa menaruh handuk pada cantolan yang ada.

"Ngomong-ngomong Kakak kok nggak terdengar suaranya ya, Mei?" tanya Daffa yang ternyata mempunyai pikiran sama.

Keduanya bertatapan, seakan menyampaikan pikiran masing-masing. Bila langsung menggendong Naufal dan pergi ke kamar Masha, diikuti suaminya di belakang.

Pemandangan yang ada di depan mata membuat Bila beristighfar. Jadi, Masha yang katanya tadi sudah bangun dan diminta untuk mandi, ternyata justru menarik selimutnya dan tidur kembali. Bila melirik jam yang ada, sudah jam setengah tujuh. Waktu mereka untuk bersiap-siap tersisa tiga puluh menit, belum termasuk perjalanan. Hadeh!

"Naufal ikut ayah dulu ya, Dek."

Bila akhirnya mengoper Naufal kepada ayahnya. Duh, tahu begini tadi dia tidak perlu bersiap-siap dan sudah berganti pakaian untuk Shalat Ied. Sekarang, dia harus mengurus Masha yang mandi.

"Kak, cilok, Kak," bisik Bila pelan yang membuat Daffa tertawa ketika mendengarnya.

Masha membuka mata, menatap ibunya dengan sedikit malas.

"Kakak nggak ikut shalat di lapangan?"

"Ikut, Kakak kan mau beli cilok," jawab Masha lirih.

"Ya udah ayo mandi. Nanti bisa kehabisan lho, Kak. Ini sudah mau jamnya shalat."

Masha mengangguk tanpa bangkit. Berbeda respon dengan ketika ayahnya yang membangunkan.

"Kak Masha capek, Mei. Gendong!"

Kalau sama Memei tetap maunya dimanja ya, Kak.

Mau tidak mau, Bila menggendong Masha dan membawanya ke kamar mandi. Sepanjang jalan, anaknya itu menempelkan kepala di bahunya. Ketika air dingin membasuhnya, barulah kesadaran Masha sepenuhnya terkumpul.

"Hiiii, dingin!" ujar Masha sambil menggigil kedinginan. Udara di Jogja pagi ini memang sedang dingin-dinginnya.

**

"Itu yang jualan cilok kok ndak ada orangnya, Mei? Tapi, motornya ada?" tanya Masha begitu sampai di lapangan. Hal pertama yang dicarinya adalah penjual cilok. Ide Hanif semalam memang mempunyai efek super yang tak dilupakan oleh Masha begitu saja.

"Abangnya mau shalat juga, Kak. Sekarang pasti udah duduk di depan, tunggu waktu shalat. Nanti, jualannya kalau sudah selesai," jelas Daffa yang berjalan di sampingnya dengan menggendong Naufal.

"Begitu, Yah?"

"Iya.

"Kalau begitu, Kakak shalat dulu deh, nanti jajannya abis shalat."

Masha melupakan pembahasan cilok sementara persiapan shalat di lakukan. Mereka akhirnya mendapat shaf bagian depan karena mayoritas yang datang lebih dulu justru memilih duduk di belakang. Ketika Masha masih sibuk memasang mukena, mulutnya tak henti untuk sekadar bertanya.

"Mei kok duduknya di depan? Tadi orang-orang banyak yang gelar tikar di belakang. Kalau datangnya duluan harusnya dapat depan, kan? Yang belakangan dapat belakang."

Bila tersenyum mendengar pertanyaan Masha yang kritis. Logikanya memang demikian sehingga tempat masih tersisa banyak. Namun, faktanya shaf paling depan yang disediakan justru nampak kosong. Pada barisannya pun belum terisi banyak orang.

"Mei, pindah belakang aja, yuk?" lanjut Masha lagi.

"Kenapa pindah?"

"Biar ndak kehabisan ciloknya, Mei. Kalau di sini jauh, nanti jalannya lama."

Ya Allah, cilok lagi.

"Allah tuh suka sama yang shalatnya di barisan depan, Kak. Kakak nggak mau disayang Allah? Sudah di sini aja shalatnya. Nanti kalau ciloknya habis, kita bikin sendiri di rumah, ya?" tawar Bila pada akhirnya. Dia pikir lebih baik berkorban waktu daripada repot menuruti maunya Masha.

"Bisa, Mei?"

Masha bertanya dengan antusias yang dijawab dengan anggukan olehnya.

"Kok ndak pernah bikin, Mei?" tanyanya lagi.

Kalau sekali dibikinin, nanti pasti maunya dibikinin terus, Kak. Kayak lemper.

"Ssst, udah ya ngobrolnya, Kak. Sekarang dengarin tuh suara takbirannya, ayo Kakak ikut bertakbir, tapi suaranya kayak yang lain, ya. Jangan kayak semalam."

Bila akhirnya cukup lega ketika Masha mengangguk patuh. Bibirnya mengikuti suara takbir yang ada, tak seperti semalam ketika takbirnya dikumandangkan dengan suara lantang, kali ini dalam suara lirih, tetapi syahdu.

Apa yang dikhawatirkan Masha menjadi kenyataan. Ketika khutbah selesai, tukang cilok sudah menutup dagangannya. Ternyata anak-anak yang lain sudah jajan saat khutbah berlangsung, sementara Masha yang duduk di depan tidak mengetahuinya sama sekali. Meski sudah diberitahu akan dibuatkan oleh ibunya, tetap saja ada rasa kecewa ketika melihat beberapa anak lain sudah menikmatinya.

"Kakak kok cemberut?" tanya Ayahnya ketika mereka dalam perjalanan pulang.

"Kakak ndak kebagian cilok, Yah. Memei sih diminta duduk belakang ndak mau, jadi nggak kebagian, kan."

Bila menggelengkan kepala geli melihat rajukan Masha. Niat ke lapangan kan memang bukan sekadar membeli cilok seperti Masha.

"Nanti Memei bikinin, Kak. Kan tadi udah dibilangin," ujar Bila mengingatkan.

"Iya, tapi kata Mas Hanif kan cilok yang tadi enakkkkkk banget, Mei!"

Terserahlah, Sha! Bila menyerah, memilih tidak menanggapi daripada terbawa emosi.

"Tapi, cilok buatan memei lebih enak lho Kak dari tukang cilok yang kata Mas Hanif enak."

"Beneran, Yah? Asyikkk. Yeay, Kakak mau makan cilok enak!"

Masha bersorak kegirangan begitu mendengar pernyataan dari sang Ayah. Langkah kakinya lebih cepat, demi membuat cilok.

"Mei, nanti kakak bantuin buat buletannya, ya!" teriak Masha yang terpaut banyak langkah dari Bila.

Anak itu sengaja berhenti dan berbalik arah demi berbicara dengan ibunya.

"Iya!"

Masha tersenyum mendengar jawaban yang disampaikan dan langsung kembali berbalik. Langkah kaki menuju rumah diikuti bibir yang tertarik ke atas, bahagia.

***

"Kak, tolong buletin duluan, ya. Memei mau gendong adek dulu, dari tadi rewel sama Ayah."

Bila menaruh adonan cilok di depan Masha yang sudah duduk di atas karpet. Tak lupa, dia sudah membuat dua bulatan cilok untuk memberi contoh kepada Masha.

"Iya, Mei! Biar Kakak aja yang buletin semua," jawab Masha dengan meyakinkan.

Selanjutnya, Bila menemui Naufal yang masih rewel bersama ayahnya. Jam Sembilan pagi memang merupakan jam tidur Naufal setelah ikut terbangun saat adzan Subuh dikumandangkan.

Begitu Naufal terlelap, Bila menghampiri Masha yang tadi ditinggalkannya. Langkahnya terhenti di depan pintu, menatap takjub atas pemandangan yang ada.

Masha tidak melakukan seperti yang tadi diinstruksian, melainkan sudah terlelap di atas karpet. Panci yang disiapkan untuk menampung hasil bulatan masih sama seperti ketika tadi ditinggalkan, hanya terisi dua biji. Bila baru akan memindahkan Masha ke kamar ketika menyadari tangan putrinya itu mengenggam adonan.

"Ngantuk banget ya, Kak habis ikut takbiran?"

TBC

Nb. Ini terpaksa dipotong sampai sini dulu, ya. Kayaknya versi lebaran ini bakalan panjang dan belum beres nulisnya. Jadi anggap aja obat kangen. ^^

Oh iya, sekalian mau promo lagi. Hihi

Buat teman-teman yang penasaran sama cerita lama atau sesepuhnya Masha, sekarang sudah ada ebooknya ya, termasuk beberapa cerita yang sudah di-unpublish. Caranya tinggal buka play store – pilih buku – ketik Laini Laitu. Ketik download kalau mau baca, bisa bayar pakai pulsa. Buat yang penasaran cara bayarnya bisa mampir ke IG @lainilaitu, buka highlight Download Ebook atau tanya Om Google, ya.

Terima kasih.

Alyaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top