Kursi
"Yah, beliin kursi buat duduk, Yah."
Daffa yang baru saja pulang langsung ditodong permintaan dari si Sulung. Dia menatap anaknya dengan aneh. Sejak jaman dulu yang namanya kursi juga pasti untuk duduk.
"Ini kursi, Kak," tunjuknya pada kursi anyaman yang ada di teras rumah.
"Ihhhh, bukan itu, Yah."
"Lho? Tadi katanya kursi buat duduk. Ini buat duduk."
Masha yang terlihat berpikir, membuat Daffa gemas. Gayanya itu lho, dengan mata tidak fokus seakan sedang berpikir keras.
"Itu lho, Yah. Kursi buat duduk di motor. Kaya punya papanya Daun. Jadi, nanti kalau Kak Masha bonceng naik motor, ndak berdiri, ndak capek."
"Emm, itu. Harganya mahal, Kak."
"Pakai uang Kak Masha aja ndak papa. Celengan ayamnya yang satu udah penuh, sembelih aja, Yah. Nanti duitnya bisa buat kursi," jawab Masha cepat.
Idenya boleh juga. Akan tetapi, Daffa enggan mengiyakan permintaan Masha.
"Belinya di mana memangnya, Kak?"
"Kata Daun dekat DM, Yah."
Apa yang dikatakan Masha memang sangat tepat. Dia memang pernah melihatnya di toko mainan dekat minimarket DM.
"Tadi waktu Ayah lewat nggak ada, Kak? Sudah habis mungkin."
"Yahhhh, kok habis? Ndak jadi beli deh," ujar Masha lesu. Wajahnya tidak lagi sesemangat tadi saat menyambut kedatangan ayahnya.
**
"Kenapa tidak dibeliin aja sih, Kak? Kasihan dia."
Bila yang sejak tadi memerhatikan interaksi suami dan anaknya akhirnya mengikutinya ke kamar. Dia tidak tega kepada Masha yang sudah merengek sejak pulang sekolah. Rengekan itu baru berhenti saat dia meminta Masha untuk menyampaikan keinginannya kepada sang Ayah.
Kak Masha capek kalau berdiri, Mei. Terus kalau duduk di belakang, harus nempel kayak koala sama megang perut Ayah, tapi tangan Kak Masha ndak sampai. Perut Ayah gede.
"Dari siang dia bilang pengen beli. Katanya dia mau duduk kalau naik motor berdua sama ayahnya. Nggak mau jadi kayak koala."
"Dia itu pengenan, Bil."
Iya juga, sih. Tapi, kan...
"Makanya Kak Daffa itu diet," ujar Bila kemudian.
"Diet?
"Iya, kata Kak Masha sekarang perutnya Ayah gede, jadi ndak bisa jadi koala."
Bila tidak bisa menahan tawanya ketika Daffa secara reflek membuka kaos dan melihat perutnya. Bukan apa-apa, tetapi faktanya adalah Masha saja yang lebay dan cari alasan. Tidak ada perut buncit atau badan yang bertambah gemuk pada suaminya. Sejak dulu begini-begini saja.
"Ini datar kok," ujar Daffa sambil mengusap perut.
"Itu kan alasannya Masha aja, Kak. Jadi, gimana? Nggak dibeliin aja? Kasihan juga kalau kelamaan naik motornya."
"Bukannya tidak mau beli, Bil. Cuma, nanti kalau dibeliin Masha pasti jadi betah naik motor. Dia kan biasanya minta berhenti kalau sudah capek. Nah, kalau dibeliin kursi? Aku yang capek. Jadi, kupikir baiknya ya tidak usah beli."
Bila mengangguk setuju. Benar saja, kenapa dia tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya? Dia pikir selama ini suaminya terlalu sibuk sehingga tidak sempat membelinya. Namun, ternyata ada alasan di balik tindakannya. Kalau sudah begini, dia siap-siap saja untuk ikut mencari alasan ketika Masha membawa kembali topik yang sama.
**
Sehari kemudian
"Yah, Yah, Yah!"
Suara teriakan Masha kembali menyambut kedatangannya. Daffa tersenyum lembut. Inilah salah satu dari pengobat lelahnya bekerja.
"Assalaamualaikum, Kak."
Masha menepuk kepalanya pelan, "Ahaha, Kak Masha lupa. Wa'alaikumsalaam."
"Yah, tadi aku Kakung sama Uti ke sini, terus Kak Masha diajakin pergi ke tempat Dek Raffa. Pulangnya lewat DM, terus Kak Masha lihat udah ada kursinya, Yah. Terus kapan dibelinya?"
Daffa terdiam. Dia sibuk memikirkan alasan yang tepat agar Masha tidak lagi meminta hal yang sama, tetapi dia juga tidak perlu membelikannya.
Kira-kira alasan apa yang tepat untuk Masha?
Ketika orangtua tidak menuruti apa keinginan kita, pasti ada hal lain yang menjadi pertimbangan mereka.
...
Terima kasih @deanshery86 dan @srinurdianti atas komentarnya di bagian Promo Om Didi. Komentar kalian jadi ide buat bikin bab ini. Salam sayang dari Kak Masha ^.^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top