Kurban

"Yah, Yah, Yah!" panggil Masha sepulang dari mengaji.

Hm, kalau sudah memanggil namanya tiga kali biasanya Masha selalu ada yang ingin disampaikan.

"Ya?" tanya Daffa singkat.

"Kalau misalnya Ayah disuruh kurban Kakak buat disembelih mau ndak?"

Matanya membulat demi melihat ekspresi putrinya yang bertanya tanpa beban. "Astaghfirullah, ya nggaklah, Kak."

"Kenapa begitu? Kan buat kurban."

"Kurban itu kan kambing atau sapi, Kak. Nggak boleh kurbanin anak."

"Pantas Ayah ndak dipilih Allah jadi Nabi, ndak mau kurban anak sih, ndak nurut sama Allah. Nabi Ibrahim aja nurut sama Allah pas disuruh sembelih anaknya."

Uhuk.

Daffa yang baru saja meminum tehnya nyaris tersedak. Ucapan Masha begitu ringan didengarnya. Dari awal pertanyaanya disampaikan dengan ekspresi santai. Beda hal dengan dirinya yang langsung syok dapat pertanyaan ajaib di sore hari.

Istrinya yang ada di belakang Masha tertawa, "Hahaha... tadi, sepanjang jalan aku ditanya hal yang sama juga, Yah."

Oh, pasti oleh-oleh dari mengaji.

"Sini Kak duduk sama Ayah."

Masha mengangguk patuh dan langsung mengambil duduk di samping ayahnya.

"Kakak habis dengar cerita Nabi Ibrahim yang diminta sembelih anaknya, namanya Nabi Ismail, ya? Siapa yang cerita?"

"Iya. Tadi Mas Hanif yang cerita, Yah."

"Kak, cerita Nabi Ibrahim itu buat diambil pelajarannya, bukan ditiru. Kakak ingat nggak tahun kemarin waktu ngambek karena kambing si Hitam disembelih?"

Masha mengangguk tak bersemangat. Daffa tersenyum kecil. Ah, seharusnya tahun kemarin dia menceritakan kisah sejarah kurban ini sehingga Masha bisa mengikhlaskan si Hitam.

"Sedih kan Kak kalau hewan yang kita sayangi harus dikurbanin. Si Hitam yang dibeli pakai uang banyak, terus Kakak kasih makan setiap hari akhirnya dipotong. Dagingnya dibagi ke orang-orang. Coba bayangin gimana sedihnya Nabi Ibrahim waktu diminta menyembelih anaknya."

"Sedih banget ya, Yah."

"Iya, tapi nabi Ibrahim nurut sama Allah. Ikuti apa kata Allah. Nabi Ismail juga begitu. Terus, sebagai hadiah Allah ganti domba buat disembelih. Jadi, Kak, sekarang kita kurban, menyembelih hewan itu bukan buat sate-sate aja, tapi buat bukti kalau cinta sama Allah, terus dagingnya bisa dibagi ke saudara-saudara kita yang jarang makan daging."

"Begitu toh, Yah? Tapi kok sekarang kita ndak beli kambing?"

Daffa memutar otak untuk menjawab pertanyaan Masha. Jadi, sebagai antisipasi aksi ngambek Masha seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menitipkan hewan kurban kepada panitia.

**

Pemotongan hewan kurban di wilayah setempat sudah selesai. Bila baru saja membeli bumbu dapur dari Mbak Ning ketika Masha tiba-tiba merengek minta diajak ke rumah Eyangnya.

"Memei mau masak dulu bentar, Kak. Buat Ayah makan."

"Nanti aja, Mei. Tadi kan Ayah udah dapat makan di pemotongan."

"Buat makan malam nanti."

"Bawa aja dagingnya sekalian ke rumah Uti, Mei. Dibawa ke sana, dimasak di sana, terus nanti bawa pulang udah mateng. Kakak kan mau bikin sate sama Om Di. Om Di kan lagi pulang."

"Kata siapa?"

Bila menatap Masha dengan heran. Seingatnya, Bunda tidak pernah cerita kalau adiknya akan pulang lebaran haji ini.

"Tadi Om Rangga nelepon pas Memei ke warung. Dek Raffa lagi lebaran di rumah Uti. Digendong sama Om Di. Terus Nte Syafa lagi nusukin daging. Terus Kakung lagi bikin api. Kalau Kakak kelamaan ke sana nanti ndak kebagian satenya."

Fuhh, lagi-lagi adiknya berulah. Rangga memang suka sekali mengompori Masha. Tidak jarang berakhir dengan Masha merengek diantar ke rumah omnya. Ketika Rangga mengirimi foto perkembangan Rafaa, Masha selalu penasaran dan ingin melihat secara langsung. Entah itu mulai dari tengkurap, merangkak, hingga belajar berdiri. Ketika Bila mengatakan sama seperti dengan Naufal sebelumnya, Masha akan beralasan mukanya beda. Duh, kalau sudah begitu, dia hanya bisa mengomel dan meminta adiknya berhenti mengirimi foto Raffa. Namun, adiknya justru semakin gencar mengiriminya foto.

"Ayah kan belum pulang, Kak. Tadi masih di pemotongan, baru beres-beres."

"Ya udah, Kakak susulin biar cepet pulang. Assalaamu'alaikum," sahut Masha cepat.

Bila hanya bisa menggeleng takjub ketika Masha tanpa aba-aba meraih tangannya untuk pamitan dan langsung melenggang pergi. Padahal dia baru mau bilang kalau ayahnya pasti capek. Huft.

**

"Om Rangga, Dek Raffa sama Dek Nopal suruh main mobil aja di dalam. Gangguin Kakak ini lho, mau megang kecap. Kan Kakak lagi ngolesi kecap."

Bila tergelak mendengar protes dari Masha. Naufal sendiri lebih memilih sibuk dengan tiga hotwheels-nya, sementara Raffa sejak tadi merangkak hendak menyentuk mangkuk berisi kecap. Berulang kali diangkat untuk menjauh, tetap saja kembali menghampiri. Khas anak kecil, penasaran.

"Dek Raffa kan mau bantuin tuh, Kak. Biarin sih, biar pinter," jawab Rangga santai.

"Nanti kalau tumpah piye? (gimana)" tanya Masha bernada kesal dengan logat bahasa jawanya.

"Ora piye-pie. (nggak gimana-gimana)"

Lagi, Rangga menjawab santai dan hanya mengangkat Raffa yang merangkak untuk dijauhkan.

"Nte Syafaaaa!" rengek Masha yang dengan cepat meraih mangkok kecap yang hampir dipegang Raffasya lagi.

Tidak mempan kepada omnya, dia mengadu pada tantenya.

"Tante lagi bau amis, Kak. Ini masih nusuk daging."

Masha tampak menoleh ke kanan dan kiri. Lalu, pandangannya berakhir pada Didi yang akan mencicipi sate.

"Om Diii, jangan makan terus!" teriaknya.

"Baru juga mau makan, Kak," sahut Didi.

"Ini Dek Raffa diajak main bentar Om biar ndak ganggu Kakak. Nanti kalau satenya udah matang semua, Kakak kantar. Terus abis makan, nanti kita jalan-jalan ya, Om," lanjut Masha kemudian.

Didi akhirnya meletakkan sate yang hendak dimakannya. Dia menggendong Raffasya dan juga mengajak Naufal untuk melihat kelinci. Lebih maik menyingkir daripada Masha terus mengoceh seperti burung peliharaan kakungnya.

Begitu perusuh kecil berhasil disingkirkan, wajah Masha tampak sangat puas. Dia kembali bersemangat untuk mengolesi kecap pada tusukan sate di depannya.

"Om Rangga!" panggil Masha tanpa menoleh sedikit pun.

"Ya, kenapa Kak?"

"Dek Rafa boleh disembelih nggak?"

"Astaghfirullah, ya nggaklah, Kak. Memangnya hewan disembelih."

"Pantas Om Rangga ndak jadi Nabi, ndak mau sih sembelih anaknya. Sama kayak Ayah."

Rangga yang menatap Masha dengan syok tampak sangat menghibur bagi Bila. Bagaimana tidak, Masha berkata dengan ekspresi sama seperti tadi di rumah. Lihatlah, bahkan matanya sama sekali tidak teralih dari sate di depannya.

"Memangnya kamu Kak yang pengen Naufal disembelih buat gantiin si Hitam tahun lalu," protes Rangga dengan nada tak suka.

"Kapan Kakak pengen Dek Nopal dipotong? Dek Nopal kan adeknya Kakak, harus disayang. Nanti kalau Kakak ndak punya Dek Nopal gimana, Om? Lagian kata Ayah kita ndak boleh sembelih orang kok, Allah aja ganti Nabi Ismail sama domba."

Suara dehaman keluar dari mulut adiknya. Bila hanya tersenyum melihat aksi debat Masha dan Rangga.

"Menolak lupa ya, Kak? Dulu aja sebelum sayang, Naufal mau dikurbanin. Lebih sayang kambing daripada adeknya. Lagian udah tahu kalau nggak boleh sembelih orang, pakai nanya lagi," gerutu Rangga dengan bisikan yang masih terdengar jelas di telinga Bila. Sayangnya, kalimat itu tidak didengarkan oleh putrinya karena Masha sudah meletakkan kuasnya dan menyusul Om serta adik-adiknya ke belakang.

"Kayak baru tahu Masha aja, Om," ujar Bila sambil tertawa.

"Beruntungnya Raffa itu cowok ya, Sya, ya. Aku nggak bisa bayangin kalau nanti udah bisa ngomong kayak Masha. Ngomong terus kayak kereta nggak abis-abis."

"Ngaca, Dek. Biasanya buah jatuh nggak jauh dari pohonnya, kamu aja cowok juga nggak bisa diam kok. Iya nggak, Sya?" sahut Bila diplomatis.

Syafa pun mengangguk, membuat Rangga tersenyum masam karena tidak mendapat dukungan. Sepanjang memasak sate, mereka terus mengobrol ringan.

Karena pengorbanan itu bukan hanya sekadar materi, tetapi ada hati di dalamnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top