Kembali ke Sekolah
KEMBALI KE SEKOLAH
"Sudah bersih, Kak!"
"Belum, Mei!"
Masha menyahut sambil menggelengkan kepala dengan tangan mengelap pot dengan kain basah. Jadi, besok adalah hari pertama Masha kembali ke sekolah setelah libur pertengahan semester. Tiap siswa diminta membawa tanaman yang nantinya akan ditinggal di sekolah.
"Mei, nanti kalau bunganya cantik, dikasih nilai ndak sama Bu Guru?"
"Ini kan bukan buat tes, Kak. Masa dikasih nilai?"
"Terus buat apa?"
"Buat di kebun sekolah. Jadi biar segar lihatnya, Kak. Nanti kalau tanamannya berbunga, bisa jadi tempat favorit kupu-kupu. Kalau bunganya melati, nanti jadi wangi."
Masha menghentikan kegiatan demi mendengar jawaban dari ibunya. "Tapi kata Daun kalau wangi melati itu ada hantu lewat lho, Mei."
Bila tertawa mendengar ucapan Masha.
"Jadi, kalau bunga melati di kebun Kakung itu mekar terus wangi, ada setan lewat gitu, Kak? Wanginya lama tuh, setannya nungguin dong bukan lewat."
"Oh, jadi bukan setan lewat ya, Mei?"
"Iya."
"Nanti Kakak bilang ke Daun deh kalau wangi melati itu bukan setan lewat, tapi setan nunggu melati."
Ya nggak gitu juga kali, Kak.
**
"Meiiii, kata Ayah wangi melati itu karena bunga melatinya lagi mekar."
"Ya?"
"Jadi ya itu memang wangi bunga melati. Bukan setan nunggu melati. Begitu, Mei!" adu Masha ketika Bila baru selesai menidurkan Naufal di kamar.
Ditinggalkan beberapa menit bersama ayahnya, ternyata Masha sudah melanjutkan obrolan tadi siang yang terpotong karena Naufal menangis setelah mencium tembok akibat terlalu cepat berjalan.
"Salah kok dibiarkan, Mei?" tanya Daffa yang terdengar menyindir.
Bila menghela napas, kalau sudah begini ujungnya dia memang yang patut disalahkan. Jadi, memang salahnya karena kesibukan lain yang membuatnya lupa untuk meluruskan. Ah, tetapi kenapa juga Masha harus membicarakan bau melati dengan ayahnya coba?
"Tadi tuh Naufal nangis, aku belum sempat jelasin ke kakak. Eh, malah keduluan ngadu dianya," jawab Bila tak bersemangat. Sudah lelah mengurus Naufal yang terus menangis karena keningnya benjol, sekarang malah disidang. Hufft.
"Bukan ngadu. Tapi, tadi tuh Kakak bilang nggak mau ke rumah Kakung soalnya kemarin pas ke sana bunga melatinya baru mekar.
Bila tergelak. Hilang sudah kekesalannya kepada Masha yang mengadu pada ayahnya. Hilang pula kekesalannya karena harus mendapat teguran di saat lelah. Siapa yang menyangka jika karena bau melati Masha bisa mengambil keputusan tidak mau ke rumah Kakung.
"Jadi, kamu nggak mau ke Kakung, Kak?" tanyanya sambil tertawa gemas.
"Maulah! Nanti kalau ndak ke sana Kakung sama Uti jadi punya Dek Raffa. Enak aja!"
"Tadi, siapa yang bilang ke Ayah tidak mau ke sana?"
"Soalnya Memei bilang bau melati itu ada setan nungguin"
"Sudah selesai ya urusan ke tempat Kakung. Kakak besok mau masuk sekolah sudah disiapin semuanya, Kak? Tas, buku, alat tulis?" tanya Daffa mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, Yah."
"Kalau begitu sekarang tidur ya, besok pagi biar tidak ngantuk waktu bangun."
"Heem. Oh iya, kemarin cerita Nabi Musa yang makan bara api belum selesai, Yah. Dilanjut, ya?"
"Sama Memei ya, Kak. Ayah mau cek kerjaan sebentar, besok ada rapat."
Masha mengangguk. Baginya, tidak peduli siapa pun yang membawakan cerita, dia selalu suka cerita-cerita tentang kisah Nabi. Dia paling menyukai kisah Nabi Ismail yang selalu mengingatkannya pada hari Qurban dan sate.
**
"Ayah kok belum berangkat kerja? Mau antar Kakak pertama sekolah, toh?" tanya Masha yang baru selesai menghabiskan sarapan.
"Iya."
"Asikkkkk! Dijemput juga ndak, Yah?"
"Ayahmu kan kerja, Kak. Ini berangkat siang soalnya ada rapat di luar, tempatnya nggak jauh dari rumah. Jadi, nanti pulang tetap sama Memei, ya," ujar Bila menerangkan.
"Yahh, kirain. Ya udah berangkat sekarang yuk, Yah."
Tanpa menunggu persetujuan Ayahnya, Masha langsung turun dari kursi dan mengambil kunci motor yang tergantung pada tempatnya.
"Masih pagi, Kak. Belum dibuka kali sekolahnya," tegurnya.
"Kan biar bisa motoran dulu, Mei! Ayo, Yah, buruan keburu siang!" Masha berkata dengan tidak sabar.
Bila yang menggendong Naufal akhirnya mengikuti ayah dan anak ke halaman. Ketika melihat ayahnya memanaskan motor, Naufal langsung meronta dari gendongan.
"Yahhhh, Yahhhh!" rengeknya sambil minta diturunkan.
"Itu, adek mau ikut, Kak. Kakak boncengnya duduk di belakang, ya," pinta Daffa kepada Masha yang sejak tadi menunggunya.
"Ndak mau. Kalau Kakak di belakang cuma bisa lihat punggung Ayah. Adek biar sama Memei sebentar, ayahnya dipinjam kakak."
"Nangis itu, Kak."
Masha akhirnya berjalan untuk menghampiri Naufal. Dia mengeluarkan permen bungkus bergambar sapi lalu memberikannya kepada adiknya.
"Nih buat Dek Nopal. Di sini aja ya, ndak usah ikut. Kakak mau sekolah, salim aja sini!"
Pemandangan yang ada membuat Bila gemas bukan main. Masha tahu saja bagaimana membuat Naufal lupa dengan niat awalnya. Si Bungsu tertawa sumringah mendapat permen dari kakaknya. Tak lupa dia juga mencium tangan kakaknya. Hingga Masha berpamitan dan menghilang dari pandangan, Naufal masih sibuk berusaha membuka permennya.
Tak lama kemudian, suara motor yang sangat akrab di telinga kembali terdengar. Masha muncul bersama ayahnya sambil tertawa.
"Mei! Bunganya ketinggalan! Kakak kesenangan lama ndak diantar ayah jadi lupa," teriak Masha dari kejauhan.
Orangtua adalah sumber informasi pertama bagi anaknya. Karena itu hendaknya apa yang benar ditegaskan adalah benar, apa yang salah ditegaskan adalah salah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top