Kak Masha (2)
"Wihhh, ada anak ayah udah cakep," ujar Didi, adik dari Bila. Lebih tepatnya omnya Masha.
Masha yang sedang sibuk bermain dengan Si Putih langsung mendongak.
"Ommm, Si Putih pelutnya gede banget sama kayak Opa!"
Didi tertawa lebar. Ya ampun, perutnya si putih disamakan dengan perut kakeknya. Well, perut Om Reza memang sedikit kelebihan isi.
"Iya, endut. Dikasih makan apa?"
"Ikan."
Didi manggut-manggut. Dia melihat jam tangannya yang hampir menunjukkan waktu setengah satu.
"Kak, buruan. Belum makan siang ni," teriaknya kemudian.
"Iyaaa, bentar, Om."
Lima menit berlalu, Bila belum juga muncul. Perut Didi sudah mulai keroncongan.
"Sha, panggilin memei, gih. Minta buruan."
Masha mengabaikan permintaan omnya. Dia sibuk mengusap bulu Si Putih.
"Sha? Ini om ngomong sama kamu lho."
Masha melihat Didi sebentar, lalu kembali bermain.
"Panggilnya sekarang pakai Kak, Om. Kak Masha, kalau nggak ada kaknya dia mah bodo amat," jelas Bila yang baru saja muncul sambil membawa tas.
Didi mengerutkan dahi. "Masha mau punya adik?"
"Ndak! Kak Maca ndak mau adik! Kak Maca ndak mau adik, Mei!" teriak Masha heboh sambil memanyunkan bibir.
Bila menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Masha melakukan hal tersebut. Tadi, saat mampir untuk setoran jajan pun demikian. Entah mengapa, panggilan barunya membuat orang berpikir Masha akan memiliki adik.
"Iya, bukan mau punya adik. Kak Masha udah gede jadi dipanggil kakak, ya?" ralat Bila untuk menenangkan Masha.
Masha itu anti dengan bayi. Ibunya menggendong bayi tetangga pun dia akan menjadi sensitif. Marah marah kemudian meminta bayinya diturunkan.
**
Acara arisan yang diikuti ibu-ibu satu RT bisa dikatakan berjalan lancar. Satu per satu mulai kembali ke rumah masing-masing. Sekarang hanya tersisa kotornya saja. Hemm.
"Uti, punya ikan ndak?" tanya Masha kepada neneknya.
"Kamu mau makan? Itu di dapur ada ikan kesukaan ayahmu. Om sama Kakung udah pulang, kan? Minta tolong buat ambilin, ya?" jawab Bunda Alya yang sedang menggulung tikar bersama Bila. Bila mengamati Masha dengan curiga.
"Kenapa, Bil?"
"Masha abis makan, Bun. Itu ikan aku curiga mau buat kucingnya." Bila menjelaskan.
"Ya udah, biarin aja. Kapan hari dia ngadu sama Rangga tuh, katanya kamu nggak masakin kucingnya. Terus kucingnya jadi kurus, kelaparan. Ck.ck."
Bunda berdecak pelan. Ada-ada saja tingkah ibu-anak ini. Sekesal apa pun Bila, toh ujungnya juga menuruti Masha kalau anak itu mulai ngambek nggak mau makan.
"Abisnya, Bun. Itu tiap masak ikan sama ayam suka ilang. Mana itu kucing nggak mau tulang ayam, maunya dagingnya. Keterlaluan banget, kan. Jadi, beberapa hari aku nggak masak ikan sama ayam. Masha ngomel-ngomel minta jajan juga ke ayahnya. Beli ikan mah bukan jajan lagi namanya," jawab Bila panjang.
Bunda tidak menanggapi lagi. Dibiarkan Bila mengeluarkan pikirannya, sudah biasa.
Benar saja dugaan Bila, ikan yang diambil Masha memang diberikan kepada Si Putih. Didi yang tadi mengambilkan dengan piring lengkap bersama nasi dibuat melongo karenanya. Dia pikir itu untuk makan sore Masha.
"Yah, lihat kelakukan cucumu," adunya kepada Ayah Reffi yang sedang istirahat di kursi teras.
Ayah tersenyum mendengarkan. "Besok anakmu juga kayak gitu, Kak. Makanya buruan nikah, keburu keduluan adek nanti."
Didi langsung bungkam. Kalau urusan menikah yang dibahas, dia angkat tangan.
"Sha, tolong ambilin kacamata Kakung, ya? Coba tanya Uti naruhnya di mana," ujar Ayah mengalihkan perhatian.
Masha menoleh sekilas kepada kakeknya, lalu kembali sibuk dengan si Putih.
"Sha?" panggil Ayah mengulang.
Didi yang melihat sikap Masha langsung teringat kejadian tadi siang. Ah, merajuk dipanggil kakak rupanya.
"Kak Masha, itu kakung minta tolong diambilin kacamata, Kak."
"Kacamata, Om?"
"Iya."
"Bental."
Masha bangkit berdiri dan masuk ke dalam rumah. Ayah yang melihat hal itu mengerutkan dahi tidak mengerti.
"Kak Masha? Masha mau punya adik?" tanya Ayah setelah sadar panggilan dari Didi yang berbeda.
Didi tertawa. See, tidak hanya dia yang berpikir Masha akan punya adik.
••
"Utiii, Kakung minta ambilin kacamata. Di mana, Ti?" teriak Masha yang membuat Bila geleng-geleng kepala.
Buat apa teriak kalau Bunda ada tepat di depannya.
"Kacamata?"
"Iya."
"Tunggu bentar, ya," jawab Bunda sambil meletakkan sapu. Beliau masuk ke dalam kamar untuk mencari kacamata.
"Mei, Kak Maca mau tidul di sini, ya ntal malem."
Bila menatap Masha tidak paham. Anak itu kini menunjukkan wajah penuh harap
"Kenapa, Kak?"
"Di lumah Uti banyak ikan, Mei. Ntal si Putih ndak kelapalan. Hiii."
Masha mengakhiri kalimatnya sambil memamerkan gigi. Hal yang membuat Bila tidak tahan untuk ikut tersenyum. Alasannya itu lho....
"Besok kan sekolah, Kak."
"Yahhhh," Masha berucap kecewa. Dia menata ibunya penuh tanya, "kapan libulnya, Mei? Kak Maca kan capek sekolah telus. Bangun tidul, mandi, sekolah. Pelgi ke gembila loka, kapan?"
Duh, bicara dengan Masha itu memang harus menyiapkan stok sabar dan juga tawa, ya. Bayangkan saja, dia baru bersekolah tiga hari sudah mengeluh kecapekan. Gembira loka dengan cadelnya dia ucapkan menjadi gembila. Setiap ayahnya libur dia mengajak ke sana. Masha pikir biaya masuk cukup dengan uang 50 ribu untuk bertiga? Boro-boro, mana cukup.
"Kapan-kapan," jawab Bila sambil tertawa. Beruntung Bunda sudah muncul dengan kotak kacamata Ayah. Pertanyaan Masha bisa di-skip kali ini.
"Ini, Sha."
Bunda mengangsurkan kacamata kepada Masha. Anak itu menatap neneknya dengan tatapan protes.
"Kak Maca, Uti."
"Kak Masha?" ulang Bunda meyakinkan.
"Iya, Kak Maca."
Bunda mengalihkan pandangan dari Masha kepada Bila dengan mata berbinar.
"Masha mau punya adik?"
Oh, harus berapa kali Bila menjelaskan asal usul nama kakak?
Kita saja yang sudah dewasa seringkali bosan menjalani rutinitas yang sama, apalagi anak sekecil Masha. Liburan itu perlu, untuk sekadar membunuh jenuh.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top