Harus Ayah.


"Mei, Ayah ganteng kan, Mei?" tanya Masha kepada ibunya.

Bila yang sedang menyisir rambut Masha menghentikan aktivitas, menatapnya heran.

"Iya, ganteng dong, Kak."

"Benelan ganteng kan, Mei?" tanya Masha sekali lagi, seakan minta konfirmasi.

"Heem."

"Benel?"

"Iya."

"Memei ndak bohong, kan?"

"Nggak kok. Beneran, Ayah itu laki-laki paling ganteng sedunia," ujar Bila dengan meyakinkan.

Masha mencebik kesal mendapat jawaban yang sama dari ibunya. Hal itu membuat Bila makin keheranan. Lho, memangnya Masha mau dibilang ayahnya jelek, ya? Dia kan anak ayah banget.

"Kenapa sih, Kak?" tanya Bila pada akhirnya.

"Kata Om Langga sama Om Didi, Ayah ndak ganteng, Mei. Kata Uti juga," ujar Masha pelan. Anak itu terlihat kecewa sekali.

"Kapan bilangnya? Kok Memei nggak tahu?"

Masha membuka mulut dan mulai bercerita panjang tentang kejadian kemarin. Bila menyimak dengan penuh perhatian. Sesekali berusaha menahan tawa.

**

"Kak, om Rangga sama Ayah gantengan siapa?" tanya Rangga usil.

"Ganteng Ayah dong, Om." Masha menjawab yakin.

"Salah, yang bener ganteng om Rangga, Kak."

Masha memindahkan Si Putih dari pangkuannya. Dia menatap omnya tidak mengerti.

"Kok ganteng om Langga? Kan yang paling ganteng itu kata Memei ya Ayah."

"Ah, itu Memei bohong, Kak. Coba tuh tanya Om Didi."

Rangga menunjuk Didi yang sedang membawa gelas kosong menuju dapur.

"Om Diii!" teriak Masha cepat, membuat Didi menghentikan langkah.

"Kenapa, Kak?"

"Om Langga sama Ayah gantengan siapa?"

Rangga memberi kode kepada kakaknya dengan menunjuk wajahnya sendiri. Didi yang melihatnya tersenyum paham.

Ohh, lagi ngerjain bocah.

"Gantengan om Rangga, Kak," jawab Didi kemudian.

"Yah, kok gitu," protes Masha dengan kecewa.

Didi nyaris terbahak melihat wajah keponakannya bak benang kusut. Dia lalu kembali berkata, " Coba tebak, kalau om Didi sama om Rangga gantengan siapa, Kak?"

Masha terdiam, kelihatan sedang berpikir.

"Jelek! Gantengan Ayah."

"Salah, yang bener jawabannya om Didi," ralat Didi membenarkan.

Rangga mendengus, "Bohong, Kak. Gantengan om Rangga."

"Kalau nggak percaya coba kamu tanya Uti sana, Kak," balas Didi tidak mau kalah.

"UTIIIIIIII!"

Masha langsung berteriak sebagai jawaban atas ucapan Didi. Dia memanggil utinya dengan keras meskipun ada di dapur yang tidak jauh darinya.

"Apa, Kak? Kok teriaknya kenceng gitu?"

"Uti, memangnya om Langga sama om Didi ganteng?" tanya Masha serius.

"Ganteng dong," jawab Alya dengan semangat. Anak sendiri, pasti dibilang ganteng.

"Kalau sama Ayah gantengan siapa, Uti? Gantengan Ayah, kan?" tanya Masha lagi.

Rangga dan Didi kompak menggelengkan kepala. Mereka meminta Masha membandingkan keduanya, Masha justru membawa ayahnya lagi. Sangat kentara kalau dia belum rela ayahnya dibilang tidak ganteng.

"Gantengan Kakung, Kak," jawab Alya dengan tenang.

Wajah Masha semakin muram.

**

Bila berdecak pelan. Gemas dengan tingkah para orang dewasa yang mengerjai Masha. Tinggal bilang kalau iya, ayahnya Masha yang paling ganteng saja apa susahnya coba?

"Kak Masha ndak mau ke lumah Uti lagi. Di sana Ayah dibilang ndak ganteng. Padahal Ayah ganteng kan ya, Mei," adu Masha lagi.

Ah, pantas saja sejak diantarkan pulang oleh omnya, Masha tidak tersenyum sama sekali.

"Lho, kok gitu?"

Masha menggeleng tegas, marah.

"Kak Masha ndak mau naik motor sama Om lagi?" goda Bila kemudian. Biasanya, Masha itu paling suka naik motor bersama omnya.

"Ndak, ntal Kak Maca mau minta Ayah beli motol. Nanti ayah yang bonceng Kak Maca."

Memangnya beli motor pakai daun, Sha?

"Nggak mau beli ice cream sama Om juga?" tanya Bila lagi.

"Ndak, ntal Kak Maca beli sama Ayah aja."

Kekesalan Masha yang dipikir akan berakhir dalam waktu singkat, ternyata salah. Hingga akhir pekan tiba, Masha menolak untuk diajak berkunjung ke rumah Eyang. Padahal biasanya justru dia yang selalu heboh menyambut akhir pekan karena akan menginap di sana.

"Yah, besok jalan-jalan, yuk. Ke pantai pagi-pagi," pinta Masha kepada ayahnya.

Daffa yang memangku Masha, mengusap rambut anaknya pelan.

"Lusa aja ya, Kak. Nanti kita berangkat ramai-ramai sama Om juga."

"Ndak mau sama Om!"

"Jadi, cuma bertiga aja gitu, Kak? Kan nggak seru kalau cuma sedikit. Seruan kalau barengan," bujuk Daffa. Sejujurnya alasan lain dari mengajak Rangga atau Didi adalah agar dia bisa beristirahat selama perjalanan. Sepupunya itu bisa menjadi supir gratis.

"Kak Maca sebel sama om Langga, sama om Didi, sama Uti juga."

Daffa tersenyum saja mendengar aduan Masha. Anak ini sifatnya persis dengan ibunya, suka ngambek dan akan awet seperti tahu formalin. Kalau sudah begini, butuh sedikit trik untuk mengatasinya.

"Kemarin kata om Rangga, om Didi, sama Uti, siapa yang paling ganteng, Kak?" tanya Daffa mencoba mengakali Masha. Sebuah ide sudah ada di kepalanya.

"Kakung."

Masha menjawab datar. Dia hanya mengambil jawaban terakhir yang dia dengar.

"Ehm, ya udah. Sekarang kita telepon Kakung, ya. Nanti Kak Masha tanya ayah ganteng apa nggak? Gimana? Mau?"

"Mau, Yah. Kemalin kakung ndak di lumah jadi Kak Maca belum nanya."

Daffa mengambil ponsel yang ada di meja, lalu mengirimkan pesan dengan cepat.

-Assalaamu'alaikum. Yah, bentar lagi aku mau telepon. Kalau Masha nanya, jawab aja 'Ayah Daffa', ya. Makasih, Yah.-

-Wa'alaikumsalaam. Boleh-

Setelah mendapat balasan dari ayah mertua, Daffa segera melakukan panggilan. Dia memegang ponsel tepat di depan wajah Masha.

"Assalaamu'alaikum," sapa Reffi di ujung panggilan.

"Wa'alaikumsalaam. Kung, Kak Maca mau nanya," balas Masha cepat.

Reffi tersenyum melihat cucunya sangat antusias. Dia kembali berkata, "Ayah Daffa, Kak."

Daffa menahan tawa ketika ayah mertuanya sudah menjawab di saat Masha belum bertanya. Dilihatnya ekspresi Masha dari layar ponsel yang langsung tertawa sumringah.

"Jadi, benel ayah yang paling ganteng, Kung?" tanya Masha dengan semangat.

Reffi terdiam mendengar ucapan Masha. Dia baru paham yang terjadi sekarang. Dia sudah mendengar cerita Masha yang marah dari istri dan anak-anakya. Sekarang, rupanya cucunya ini masih ingin meyakinkan bahwa ayahnya yang paling tampan.

Dia berdeham pelan.

"Semua laki-laki itu ganteng, Kak. Ayah Daffa, om Rangga, om Didi, Kakung, semuanya sama-sama ganteng. Nah, kalau Kak Masha, Memei, sama Uti baru cantik."

"Begitu, Kung?"

"Iya."

"Kalau yang paling ganteng?"

"Semua ganteng."

"Ohhh, begitu. Ya udah, Kung. Wassalaamu'alaikum."

Masha langsung menekan tombol merah untuk mematikan panggilan tanpa menunggu jawaban salam dari eyangnya. Dia mendongak, menatap ayahnya dengan senyum terukir di bibir.

"Kita ke lumah Uti sekalang yuk, Yah? Kak Maca bangunin Memei, ya!" Masha berkata sambil turun dari pangkuan ayahnya. Dia berlari kecil menujuk kamar.

Daffa yang hendak menghentikan Masha hanya bisa terdiam, sudah terlambat. Padahal Bila baru mengatakan ingin tidur beberapa saat yang lalu.

~Selesai~

Konon, seorang ayah adalah cinta pertama dari putrinya. Namun tidak selalu demikian, tergantung bagaimana dia membesarkannya. Karena setiap anak dididik dengan cara yang tidak sama. 

Buat yang kangen Masha, semoga terobati ya. Btw, cerita ini terinspirasi dari Kirana yang nggak mau ibuknya dibilang jelek sama ayah. ><

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top