Beli Baru

"Meii, Kak Masha capek, Mei. Pijitin, Mei. Dek Nopal biar sama Ayah aja," rengek Masha yang sejak pulang dari Bandung cuma tiduran di kasur. Kelelahan.

"Capek ngapain sih, Kak?"

"Kan abis dari eyang. Di sana Kakak mainnn terus. Sama Kak Caca, Syifa, Syafa, Dita, Dika, banyakkk banget temennya, Mei."

Bila geleng-geleng kepala melihat tingkah sulungnya. Kemarin saja, ketika jauh, Masha mengabaikannya. Ketika ditelepon pun cuma bicara sepuluh detik dengan alasan sibuk. Namun sekarang, boro-boro dia bermanja pada ayahnya, kalau capek tetap mencarinya.

"Mau Ayah pijit, Kak?" tawaran dari suaminya mengalihkan perhatian.

"Ndak mau. Enak pijitan Memei," tolak Masha cepat.

Bila berdecak. "Kamu bisaan aja, Kak. Giliran seneng-seneng, Memei dilupain. Kalau capek, ke Memei lagi, ya."

Masha tidak menanggapi, anak itu hanya tersenyum polos. Senang ketika melihat ibunya akhirnya mengoper sang Adik pada ayahnya.

***

"Mei, beliin Kakak rumah barbie baru dong, Mei."

Bila menatap Masha dengan pandangan bertanya. Tidak mengira kalau akan ada permintaan hal ini. Mana tanggal tua, banyak kondangan pula.

"Rumah barbie? Kan Kakak udah punya."

"Punya Kakak udah jelek, Mei."

"Masih bagus itu, Kak."

"Tapi, Kakak mau yang warna biru, Mei. Jadi, bisa ganti-ganti mainnya."

Coba seribu dapet, Memei beliin selusin, Sha.

"Kamu ngomong sama Ayah nanti pas pulang kerja, ya."

"Ya udah, deh."

Bila tersenyum puas, urusan Masha boros, biar ditangani pawangnya.

**

"Ayahhhh," panggil Masha menghampiri ayahnya yang baru memangku Naufal.

Bila dari belakang tersenyum kecil, tahu tujuan Masha yang mendekati ayahnya.

"Kenapa, Kak?"

"Yah, beliin Kakak rumah barbie baru dong. Warnanya yang biru, Yah."

"Tempat Kakak yang pink masih ada, kan?"

"Masih, tapi udah jelek."

"Ya sudah, sekarang sebutin tiga alasan kenapa ayah harus beliin Kakak yang baru. Kalau alasannya bagus, nanti dibeliin."

Bila terdiam takjub. Memang ya, kalau Masha itu harus diurusi ayahnya. Anak itu langsung diam, tampak sedang berpikir.

"Satu," ujar suaminya memancing Masha.

"Karena udah jelek. Jadi, biar baru."

"Tapi, walaupun udah lama, jelek. Masih bisa dipakai, Kak. Alasannya ditolak. Alasan lainnya?"

Masha yang nampak tidak bersemangat membuat Bila tertawa.

"Belinya nanti-nanti aja ya, Kak. Yang pink masih bagus kok," hiburnya kemudian.

"Ya udah, ndak jadi beli," jawab Masha menyerah.

**

Keesokan harinya.

"Yahhhh, beliin Kakak baju baru, Yah. Alasannya satu, gambarnya udah ndak ada, udah ilang. Dua, kancingnya ilang satu. Tiga, sakunya sobek ndak bisa buat naruh duit jajan."

Daffa yang baru saja sampai rumah langsung diberondong ucapan demi ucapan oleh putrinya.

"Aku nggak ngajarin, serius!"

Istri yang ada di belakang Masha berbisik meyakinkan.

Duh, seharusnya kemarin dia menyebutkan lima alasan kalau tiga saja masih terlalu mudah. Dia lupa fakta kalau Masha itu kreatif.

"Nanti sakunya bisa dijahit sama Memei, Kak. Terus kancingnya juga," ujarnya mencari alasan.

"Tapi kancingnya ntar ndak sama Yah. Ya udah alasannya diganti, kekecilan. Kan Kakak udah gede."

Hm, kalau sudah begini dia tidak punya alasan untuk mengelak, kan? Padahal dia tahu betul Masha masih punya baju lainnya yang sangat layak pakai. Hanya saja, baju ini yang dijadikannya alasan. Kalau ditolak, khawatir Masha akan kecewa karena syarat yang sudah terpenuhi. Lagi pula, dia sudah janji dengan tiga alasan. Baiklah, besok dia akan menaikkan level syaratnya menjadi lima.

Terkadang begitu, ketika bahagia kita lupa pada orangtua. Padahal ketika susah merekalah yang pertama kita ingat dan ada di baris paling depan.

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top