Adik untuk Masha

Catatan: Khusus part ini sudah pernah dipublish di lapak sebelah, juga sudah pernah dibuat untuk bonus buku BIla. Sengaja di pindah ke sini untuk menjawab kenapa akhirnya Masha mau punya adik dan gimana responnya. Sehubungan tulisan lama, ini pake POV Bila.

Semoga masih bisa dinikmati.

**

"Kamu kenapa?" tanya Kak Daffa saat aku sedang berdiam diri.

Aku sedang sibuk memikirkan cara untuk memberi tahu Masha soal calon adik bayinya. Masih jelas dalam ingatan ketika minggu lalu anak itu menjawab dengan tegas saat kami bertanya apakah dia ingin adik. Namun, siapa yang bisa menolak jika pada kenyataannya dia akan memiliki seorang adik.

"Masha, Kak. Gimana kalau dia nanti tetap nggak mau punya adik? Terus dedeknya malah dianiaya sama dia?"

Bukannya mengerti, Kak Daffa justru tertawa.

"Kamu itu ada-ada aja. Dia juga bakal ngerti kok, nggak mungkinlah nakalin adiknya. Nanti kita kasih tahu pelan-pelan."

Aku mengembuskan napas frustasi. Masha itu sangat keras kepala. Ah, untuk sifat ini memang sih kata orang aku yang menurunkannya, tapi tetap saja membuatku kesal.

"Kalau dia tetap nggak mau?" tanyaku lagi.

"Mau."

"Kalau nggak?"

"Kita buat sampai dia mau," jawab Kak Daffa dengan tenang.

"Caranya?"

"Nanti, tunggu aja. Dia pasti bakalan berubah pikiran." Kak Daffa berkata dengan yakin. Aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Memeiiiiiii!" teriak Masha dari pintu depan.

Aku mengernyit heran saat Masha mendekat dengan mata berkaca-kaca, tanda kalau dia akan menangis.

"Kenapa, Kak? Anak pintar nggak boleh nangis," tanya Kak Daffa sambil mengangkat Masha dan menaruhnya di pangkuan.

"Kak Masha mau punya adik! Maunya dua! Itu di rumah Kak Deni pada main kakak-adik. Cuma Kak Masha yang ndak punya," jawab Masha dengan suara sedikit serak.

"Yakin mau adik? Kemarin katanya nggak mau punya adik soalnya dedek nanti nakal kayak Masha yang di tv itu?"

"Sekarang adeknya Kak Deni udah ndak nakal lagi kok, Yah. Kak Masha mau adik dua, ya? Biarin mereka cuma punya satu."

Emangnya mainan bisa dipesan, Sha!

Aku menggelengkan kepala geli. Masha yang kemarin menolak dengan tegas akan kehadiran adik sekarang justru minta, tidak tanggung-tanggung langsung dua.

"Itu, di perut Memei ada dedeknya, Kak. Nanti perutnya jadi gede terus adeknya keluar gitu, Kak."

"Beneran, Yah?" tanya Masha sambil mendongak, menatap Kak Daffa dengan mata berbinar.

"Bener, tanya aja sama Memei."

Masha dengan cepat langsung beralih memandangku. "Iya, Mei?"

"Iya."

"Asikkk! Aku punya dedek! Aku mau dua!" teriak Masha heboh dan langsung turun dari pangkuan ayahnya. Dia berjalan ke arahku dan langsung mengusap perutku pelan.

"Dedeknya ada di sini, Mei?"

"Iya."

Cup

"Dedek jangan lama-lama di perut Memei, buruan keluar!"

Tanpa aba-aba, Masha langsung mengecup perutku dengan pelan. Aku dan Kak Daffa saling berpandangan dengan senyum terukir di bibir. Hal yang tadi sempat kami khawatirkan nyatanya tidak pernah terjadi.

**

Delapan bulan kemudian.

"Ayahhh!" Aku menengok ke kanan dan ke kiri dari pintu kamar untuk mencari keberadaan Kak Daffa. Ah, itu, dia ada di ruang tamu dengan tangan memegang remote televisi.

"Iya!" jawabnya ringan tanpa mau repot menoleh ke arahku. Membuatku geram bukan main.

"Ayah!" panggilku lagi.

"Apa sih, Mei?"

Aku mengerucutkan bibir kesal saat kepala Kak Daffa sukses menoleh sepenuhnya kepadaku. Suara televisi yang tadi samar terdengar sudah dia silent.

"Jagain Dek Naufal sebentar, aku mau ke dapur buat manasin air."

Aku kembali berkata dengan kepala sebentar-sebentar melihat keberadaan Naufal dan Masha yang ada di kamar.

"Lah, kan udah ada Masha yang jagain, Mei!"

Aku menepuk jidat pelan mendengar jawaban dari Kak Daffa. Dia itu kapan bisa tidak cuek dan sedikit lebih peka sih. Jadi begini ceritanya, sejak beberapa hari yang lalu tepatnya saat Naufal lahir, Bunda menyisihkan waktu dari mengurus panti asuhan milik Om Rengga dan akan datang pagi-pagi ke rumah ini. Saat jam kerja habis maka Didi atau Ayah akan datang untuk menjemput Bunda. Sayangnya, hari ini Bunda tidak bisa datang dengan alasan ada undangan pernikahan, lagi pula ini adalah weekend dan itu berarti ada Kak Daffa yang menemani.

Ini semua kami lakukan karena aku sangat kerepotan jika mengurus Masha dan Naufal sendiri. Bayangkan saja, setiap kali kami meninggalkan Naufal sendiri, sinyal kuat Masha akan langsung mengetahuinya. Masha yang awalnya sibuk bermain sendiri akan langsung menghampiri Naufal, mungkin semuanya terlihat wajar, tetapi setelah dia dalam keadaan berdua saja dengan adiknya, Masha akan mencium Naufal tiada henti dan tidak jarang juga tangannya akan menarik pipi Naufal dengan gemas. Naufal yang masih belum mengerti apa-apa akan langsung menangis keras dengan tangan bergerak-gerak seakan ingin menjauhkan Masha dari dirinya. Aku yakin jika dia sudah bisa berbicara pasti akan mengomel panjang lebar karena perbuatan kakaknya.

"Kak Masha!" tegurku saat Masha sudah akan mencium Naufal untuk kedua kalinya. Anak ini memang tidak bisa dibiarkan berada di dekat Naufal dalam keadaan tanpa pengawasan. Kasihan sekali Naufal yang bahkan belum berusia satu bulan.

"Astaghfirullah!"

Aku mundur beberapa langkah, ketika mengalihkan pandangan dari kamar untuk berbicara kembali dengan Kak Daffa dan ternyata dia sudah ada tepat di hadapanku.

Aishhh, membuat kaget saja.

"Nah, gitu dong, kaya nggak tahu aja apa yang bisa dilakuin Masha kalau cuma berdua sama Naufal."

"Iya, Memei! Bawelnya awet ya dari dulu. Sudah sana, biar aku jagain anak-anak."

Aku menghentakkan kaki dengan menggerutu kesal, Kak Daffa mengatakan aku awet dengan bawel. Dia sendiri tidak sadar kalau awet dengan irit bicara. Yeah, walaupun sekarang jauh-jauh-jauh sudah lebih cerewet dari dulu.

"Ayah lihat, dedeknya kedip-kedip, Yah!" ujar Masha yang kini berada di pangkuan Ayahnya. Tangan kecil Masha sudah hampir menyentuh mata Naufal ketika Kak Daffa menahannya.

"Jangan dipegang, Kak, kasihan adiknya. Memangnya Kak Masha mau kalau matanya dipegang-pegang?"

"Ndak mau. Ntar Kak Masha ndak bisa lihat."

"Nah itu tahu. Adiknya juga kalau bisa ngomong pasti nggak mau dipegang matanya."

Aku memilih berhenti di depan pintu dan memerhatikan interaksi tiga orang yang berarti dalam hidupku. Ini adalah anugerah terindah dari Tuhan setelah beberapa cobaan yang diberikan.

"Ayah lihat, dedeknya ketawa sendili!" ujar Masha kembali heboh saat melihat Naufal tersenyum.

"Iya."

"Ayah, Kak Masha mau nyium dedeknya."

"Satu kali saja, ya?" tawar Kak Daffa sebelum memberikan ijin. Biasanya, mencium Naufal bagi Masha tidak akan puas jika hanya sekali.

"Dua."

"Benar ya dua kali?"

"Ner!"

Selanjutnya Kak Daffa membantu Masha untuk mencium Naufal, tentunya dengan tangan Masha berada dalam genggamannya dan dia mencondongkan tubuh Masha ke arah Naufal. Ini adalah cara paling aman agar tangan Masha tidak ikut beraksi karena gemas.

"Lagi, Yah!"

"Kan sudah dua kali, Kak!"

"Satu lagi, ya Ayah, ya?" pinta Masha dengan memasang muka merayu kepada ayahnya. Aku berani jamin kalau selanjutnya jawaban iya akan keluar dari mulut Kak Daffa. Dia itu selalu kalah dengan bujukan Masha.

"Ya sudah. Satu lagi!"

Nah, kan!

Aku menggelengkan kepala geli sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Waktu sudah menunjukkan jam mandi sore buat Naufal. Selesai menyiapkan alat mandi, aku kembali menghampiri ketiganya.

"Udah sore, waktunya Dedek mandi biar wangi! Kak Masha juga mandi, ya? Biar Ayah mandiin," kataku sambil duduk di tepi ranjang dan menghampiri Naufal yang terlihat mulai mengantuk.

"Kak Masha mandinya abis Dedek aja, Mei. Mau lihat Dedek mandi," tolak Masha dengan polosnya.

Akhirnya, kami berempat beranjak menuju kamar mandi untuk memandikan Naufal. Masha yang berada dalam pengawasan Kak Daffa tidak pernah berhenti mengomentari Naufal, terkadang diiringi dengan suara tawanya. Aku beranti bertaruh, tidak akan ada kebahagiaan lain yang mempu menggantikan mereka.

"Hal yang paling membahagiakan adalah saat melihat orang yang kita sayangi tertawa bahagia."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top