Prolog
Tumit kaki yang lecet membuat pria bersurai pirang meringis sesering mungkin disela-sela pekerjaannya menambang batu bara. Ia berhenti sejenak, menyeka keringat di pelipis menggunakan lengan dari pakaian lusuh yang tertutup debu—beberapa bagian bolong akibat digigit tikus—.
Pria yang terlihat tua beberapa tahun menepuk pundaknya sembari menyodorkan air minum. "Kakimu baik-baik saja, Evan? Lebih baik bebat kakimu dengan kain jika dirasa perih dan mengganggu pekerjaan. Lagipula kurasa kau membutuhkan sepatu baru."
Sang pemuda berkepala pirang menerima air minum yang ditawarkan, menegaknya demi melepas dahaga. "Jika aku membeli sepatu karet yang baru, Nora tidak akan mendapatkan jatah obatnya, Jean."
Jean tertawa renyah meskipun Evan sebenarnya tak merasa telah melempar lelucon apapun sebagai jawaban. "Benar juga, upah kita baru akan diberikan dua minggu lagi. Akan jadi masalah kalau kau membelanjakan uangmu untuk membeli sepatu baru sebelum upah diberikan."
Tak ada jawaban, Evan sibuk melihat ke bawah, mencari-cari barangkali ada kain bekas yang bisa ia gunakan untuk membebat luka di tumit. Sepasang netra birunya berpendar kala menemukan kain bekas yang kotor penuh dengan pasir sepanjang 10 cm, lantas langkahnya maju dan meraih kain tersebut. Ia menepuk pelan, menyingkirkan debu dan kotoran lalu membebat lukanya.
"Kudengar salah seorang Earl akan berkunjung kemari," ucap Jean.
"Oh," Evan berucap acuh tak acuh seolah tak tertarik membahas para bangsawan sombong. "ke tempat kumuh seperti ini? Pasti seputar bisnis."
"Kenapa jawabanmu selalu seperti itu?" tanya Jean yang mulai kembali menambang di samping Evan.
"Aku benci keluarga bangsawan," ujar Evan singkat tetapi disisipi dendam yang terbalut kebencian mendalam.
Mendengar penuturan Evan, Jean tak lagi berani bersuara.
Dulu sejak pemerintahan era Victoria, kelas masyarakat dibagi menjadi 3 yakni kelas bangsawan, kelas menengah atas, dan kelas kaum pekerja. Evan Campbell terlahir dalam keluarga kaum pekerja bersama adik perempuannya, Nora.
Pekerjaan Evan dimulai sejak umur 10 tahun—pada zaman ini, sangatlah wajar jika menemukan anak berusia 3 tahun mulai bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup—sejak sepeninggal orang tuanya yang mana direnggut oleh para bangsawan akibat menyuarakan keadilan bagi kaum pekerja. Ia bekerja hanya bertujuan menyuap nasi ke perut dan pengobatan Nora.
Semenjak kecil, Nora seringkali jatuh sakit akibat fisiknya yang lemah. Evan hanyalah buruh tambang batu bara dengan upah tak seberapa, bahkan untuk membeli setengah kilo kentang pun ia tak sanggup apalagi memberikan pengobatan yang layak bagi Nora.
Wilayah Yorkshire, lebih tepatnya kota kecil bernama Leeds di lembah Sungai Aire, umumnya merupakan pusat industri dan perdagangan wol ketimbang tambang batu bara. Namun, Evan memilih menjadi buruh tambang akibat kehabisan lapangan pekerjaan dibidang industri, memaksanya untuk menerima pekerjaan sebagai penambang demi menyokong hidup.
Hidup sebagai orang serba kekurangan membuat Evan berulang kali berhutang sekantung beras dan beberapa buah wortel untuk makan. Pekerjaan yang berat dengan upah yang tak seimbang dirasa tak adil. Namun, apa boleh buat, lebih baik sedikit daripada tidak menerima upah sama sekali.
Matahari mulai menenggalamkan diri, berganti tugas dengan bulan dalam beberapa jam ke depan. Seluruh buruh menyimpan peralatan, kemudian bersiap untuk pulang dan beristirahat. Evan mengepak barang bawaan—sepasang sarung tangan bolong bekas pakai punya orang dermawan— ke dalam tas karung buatan tangan. Ia membawa langkahnya meninggalkan area pertambangan setelah menepuk pinggang Jean untuk pamit pulang.
Perjalanannya harus terhenti saat menemukan segerombol orang berdesak-desakkan di gerbang pertambangan penuh antusias, Evan mengerutkan kening dan mendekat, menepuk bahu orang di depannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Evan.
Pemuda berambut hitam keriting menoleh, ekspresinya penuh keterkejutan dengan mulut terbuka, menampilkan deretan gigi-gigi menguning di sana—tentunya ditambah bumbu–bumbu aroma tak sedap yang menguar—. Telunjuk pria itu mengarah ke utara, lebih tepatnya objek yang diamati orang-orang sekitar.
"Earl Theresina dan putrinya berkunjung kemari!" serunya.
'Kukira ada apa ternyata hanya bangsawan' batin Evan menghela napas kecewa. Setelah mengucap terima kasih, ia putar arah dan menjauhi gerbang pertambangan melalui jalan yang lain demi menghindari para bangsawan. Evan memutuskan untuk membeli persediaan kentang serta beberapa roti yang hampir membusuk—karna harganya jauh lebih murah—untuk Nora. Sisa uangnya akan disimpan untuk menebus obat sang adik kalau seandainya terjadi sesuatu hingga upah kerjanya harus tertahan.
Lengannya mendorong pintu masuk, Evan disambut oleh wanita tua yang tersenyum manis. Acara menghitung beberapa koin di tangan terhenti, ia menyambut Evan dengan ramah.
"Seperti biasa, Evan?" tanya wanita tua tersebut.
Evan mengangguk, menaruh satu penny di meja. Melihat-lihat sekeliling saat wanita berusia senja itu masuk ke dalam pintu di samping lemari etalase dimana memperlihatkan roti-roti menggugah selera dipajang berurutan, dari yang termahal hingga paling murah—yang mana ssmuanya mahal dimata Evan—. Keranjang rotan berisi 10 buah roti dimana beberapa diantaranya terlihat mulai sedikit berjamur menghantam meja kaca.
Pemuda berhelai kuning mengernyit bingung saat mendapatkan kelebihan roti dari yang biasa ia beli. "Bukankah ini kelebihan?"
Sang wanita tua dengan senyum lebar disertai keriput di bawah mata mendorong keranjang tersebut ke arah Evan. "Anggap saja hadiah dariku, semoga adikmu lekas sembuh."
Seusai mendengarnya berkata demikian, Evan mengucapkan terima kasih dan meninggalkan toko. Baru beberapa langkah di depan toko, tanpa sengaja seseorang menyenggol lengan Evan, membuat sekeranjang roti berhamburan di jalanan. Ia memandang rotinya sebentar dan membungkuk memungut satu per satu kemudian melempar tatapan tajam yang mengintimidasi ke arah sang tersangka.
"Lain kali gunakan matamu dengan semestinya, Nona."
Tanpa mengucapkan apapun lagi, ia pergi menyebrang jalan. Membiarkan si pelaku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh. Evan tak tahu bahwa wanita itu terus memandanginya sampai tak lagi terlihat sambil mengulas senyum miring dibalik kipas tangan.
Evan mendorong pelan pintu gubuk, menaruh tas karung di lantai. Ia masuk ke dalam kamar Nora dan menemukan sang adik sedang menjahit kaos-kaos lusuh kepunyaanya.
"Nora, kubawakan roti dari toko Wesley. Makanlah, kau pasti lapar," ucap Evan duduk di samping Nora.
"Ya, sebentar lagi. Apa terjadi sesuatu yang menyenangkan hari ini?" tanya Nora dengan nada antusias meskipun masih berfokus menjahit lubang di kaos Evan.
"Seperti biasa, hanya saja ada yang sedikit berbeda. Keluarga bangsawan datang berkunjung saat aku pulang." Evan membaringkan tubuh, menatap langit-langit kayu yang mulai lapuk terkikis, nyaris jatuh menghantam orang-orang dibawahnya kapan saja, mungkin setelah ini Evan akan menabung guna membeli kayu baru untuk memperbaikinya.
"Kau melihatnya? Bagaimana penampilan mereka?" Nora kembali bertanya, kali ini bersuara penuh penasaran.
Evan memejamkan matanya. "Mana mungkin, aku langsung putar arah dan pulang."
"Yaaah! Tidak seru." Bibir Nora maju beberapa senti ke depan.
Evan tak lagi menjawab, ia terlelap dalam bunga tidur setelah beberapa saat memejamkan mata. Mendengar dengkuran halus dari sang kakak, Nora mengulang lengkungan kurva membentuk senyuman, mengelus poni Evan dengan lembut seraya berkata lalu memberikan kecupan di kening sebagai mantra penolak mimpi buruk.
"Selamat beristirahat."
**
Hari-hari berikutnya setelah kedatangan count berlangsung sama seperti yang sudah-sudah. Menambang batu bara, pulang, membeli roti dan keperluan lainnya, mandi, makan, istirahat. Namun, untuk hari ini berbeda.
Saat sedang asik menambang, beberapa orang berpakaian rapi datang ke area pertambangan, katanya untuk menjemput pria bernama Evan Campbell.
"T-tunggu! Kenapa menjemput Evan? Dia sedang bekerja 'kan?!" ucap Jean sambil berusaha menahan Evan.
"Ini atas perintah seseorang dan kau tidak bisa menolaknya, diamlah dan turuti kami." Salah seorang pria tadi berucap demikian.
Pada akhirnya, tubuh Evan diseret secara tak manusawi ke dalam karavan yang ditarik oleh sepasang kuda berwarna coklat. Ia dibawa—tetapi Evan mengasumsikannya sebagai penculikan di siang bolong—menuju pusat kota. Mereka berhenti di sebuah bangunan megah dengan pagar besi tajam menjulang tinggi, baru saja turun dan ia sudah ditarik lagi masuk ke dalam bangunan oleh kedua orang pelaku—sang penjemput kurang ajar—hingga ke ruang tengah, Evan dipaksa berlutut dan menunduk di hadapan seseorang.
"Maafkan atas ketidaksopanan mereka yang berusaha mengundangmu kemari, Evan Campbell." Suara lembut itu mengalun pelan, penuh karismatik dan terdengar penuh tata krama.
"Apakah seperti ini cara para bangsawan saat mengundang tamu? Menyeretnya ke dalam karavan dan dipaksa berlutut?" Nada Evan terdengar sarkastis.
"Oh! Sepertinya ada kesalahpahaman, mereka takkan berbuat demikian jikalau kau mau bekerja sama, kau bisa diperlakukan lebih baik daripada seorang tahanan." Satu jentikkan menghentikan aksi pemaksaan berupa berlutut dan menunduk pada Evan.
Sepatu kulit yang heels-nya mengetuk lantai ubin membuat Evan mengangkat kepala dan bersitatap dengan sang wanita. Pakaian yang dikenakan berupa gaun ruffle crinoline berkerah sabrina berwarna putih gading, helaian coklat terang itu digelung tinggi lengkap mengenakan bonnet. Ia membungkuk, sepasang tangan bersarung tangan tersebut meraih kedua sisi wajah Evan.
Kedua netra Evan terkunci dalam tatapan dwi warna milik sang wanita, biru dan hijau, aneh tetapi juga memancarkan kecantikan yang nyata, membuat Evan sejenak terpaku.
"Aku menginginkanmu," tuturnya lembut dan pelan.
Sadar bahwa ia diminta menjadi milik wanita itu membuat kewarasan Evan kembali. Ia melemparkan tatapan benci sekaligus hina.
"Apakah bangsawan sepertimu pantas mengatakan hal tersebut?" tukas Evan.
Sang wanita tersenyum tipis. "Jadilah pelayanku maka aku akan menjamin kehidupan yang lebih baik ketimbang ini."
"Mana sudi aku menjilat kaki para bangsawan sepertimu," ujar Evan.
"Masihkah kau berkata demikian jika aku menawarkan fasilitas kelas atas untuk pengobatan adikmu?"
Pupil mata Evan membulat saat Nora disinggung dengan sengaja oleh wanita di hadapannya ini.
"Bagaimana? Adikmu akan ditangani oleh dokter terpercaya tetapi kau harus menjual dirimu sendiri untuk melayaniku seumur hidupmu. Bukankah penawaranku ini sebenarnya sangat menguntungkanmu, Evan Campbell?" Wanita itu menelusuri tulang pipi Evan seraya masih terus mempertahankan senyumnya. "Bahkan kau bisa keluar dari garis kemiskinan yang membuatmu menderita selama ini."
Dilema menghinggapi Evan, jauh dalam hatinya ia ingin menerima tawaran yang menjanjikan tersebut demi kesehatan Nora. Namun, disatu sisi dirinya tak sudi menunduk di bawah kaki para bangsawan manapun, tetapi tawaran itu sejujurnya bagaikan oasis di tengah padang pasir. Mengingat betapa miskin dirinya untuk sekadar membeli obat yang dikonsumsi oleh Nora.
Jika setuju, ia akan dipaksa melayani wanita ini tetapi jika memang janjinya ditepati, kehidupan Evan akan jauh lebih membaik daripada ini, ditambah pengobatan Nora takkan membuat ia tercekik hutang apapun dan pada siapapun. Setelah menimang beberapa saat, Evan meluruskan pandangan dengan mantap dan percaya diri bahwa pilihannya merupakan jalan terbaik yang bisa ia pilih sekarang.
"Baiklah," Evan menarik napas sejenak. "Aku akan menjadi pelayanmu, penawaranmu kuterima."
Wanita di depannya menegakkan tubuh sambil tersenyum penuh kemenangan. "Sudah kuduga kau akan menerimanya."
"Namaku Phryne Theresina, seorang countess yang akan kau layani mulai dari sekarang. Kuharap kau bisa memenuhi tugasmu sebagai pelayan pribadiku, Evan," ujar Phryne seraya berbalik pergi meninggalkan Evan.
Antara Phryne Theresina dan Evan Campbell, kisah mereka bermula pada titik ini.
.
.
.
Loading...
Footnote:
Earl / count & countess = Merupakan gelar ketiga dalam gelar kebangsawanan, sapaan untuk kelompok ini cukup dengan Lord dan Lady.
Ruffle = Model gaun bertumpuk
Crinoline = Diambil dari bahasa Prancis, merupakan istilah untuk kerangka bagian dalam rok yang terbuat dari loop metal dan buntut kuda yang dijahitkan ke petticoat
Bonnet = Topi yang biasanya diikat dibawah dagu dengan tali atau pita
a/n: Entah kenapa dihantui sama ide ini beberapa malam belakangan, jadi akhirnya direalisasikan. EvaRyne AU! yang begini keknya emang sedap digarap dan aku lumayan enjoy sama ceritanya. Meskipun merasa bego pas riset wkwkwk
Aesthelysian
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top