8.

"Itu beneran Jeffrey pembalap motor?" bisik Silvi. Gladis mengangguki pertanyaan sang kakak.

Saat ini Silvi dan Gladis sedang menyiapkan camilan di dapur. Kakak ipar Gladis sudah asyik mengobrol dengan sang idola. Anaknya pun sama. Raka menempel erat dengan Jeffrey, seperti teman lama.

"Ganteng banget!" Silvi memekik tertahan. "Duh, Lala yang masih satu tahun aja tahu kalau Jeffrey tuh makhluk ganteng. Dia berhenti nangis setelah Jeffrey datang ke sini."

"Kebetulan aja itu, Mbak."

"Kok bisa sih, orang elite kayak dia minta kesini? Beneran cuma biar bisa ketemu Raka?"

"Bilangnya sih gitu."

"Bukan karena lagi deketin kamu?"

Gladis terdiam. Jeffrey memang sesekali menggodanya, meskipun tak ia tanggapi. Bukan berarti Jeffrey sedang mendekatinya. Bahkan menurut Gladis, Jeffrey adalah playboy yang memang secara naluriah selalu menggoda wanita tanpa pandang bulu.

"Nggak lah. Aku mah nggak ada apa-apanya dibanding orang dari kalangannya."

"Iya sih. Beda kasta."

Gladis menghela napas panjang. "Mbak, tolong antar ke depan ya? Aku mau telepon Ayah dulu. Belum ngabarin kalau hari ini mampir ke rumah Mbak."

"Oh iya. Ya sudah, sana," usir Silvi sambil mengangkat nampan berisi suguhan ke ruang tamu.

Gladis mengintip sejenak ke ruangan dimana Jeffrey, Ian, dan Raka duduk bersama. Ia tersenyum tipis. Gadis itu pergi ke teras belakang sambil membawa ponselnya.

"Nah, ngobrolnya sambil ngemil ya," suara Silvi menarik perhatian tiga cowok di ruang tamu. Ia meletakkan nampan di atas meja. "Maaf ya, Jeffrey. Cuma ada ini di rumah."

"Nggak papa, Kak. Aku suka martabak kok," jawab Jeffrey. Kepalanya bergerak, menatap ke balik punggung Silvi seperti mencari seseorang.

"Gladis lagi telepon Ayah, bilang kalau pulang agak terlambat," ucap Silvi memberitahu tanpa diminta. Jeffrey pun mengangguk.

"Mama, aku juga mau martabak," pinta Raka sambil meletakkan mainannya di atas meja.

"Ambil pakai piring ya. Biar nggak berceceran."

Jeffrey dengan sigap membantu Silvi mengambilkan satu potong makanan untuk Raka. Jarak Silvi memang terlalu jauh dari sang anak, terhalang oleh meja.

"Ini," ucap Jeffrey sambil memberikan piring dan sendok garpu pada Raka.

"Makasih, Om." Raka menerimanya. "Om juga makan. Nanti keburu habis sama Papa."

"Papa nggak rakus, kok," bantah Ian.

"Tapi Papa makannya banyak," sahut Raka tak mau kalah.

Silvi menepuk paha suaminya. Ia menggeleng pelan. Malu sama tamu. Masa debat dengan anak di depan Jeffrey.

"Kaki kamu kenapa?" tanya Silvi menyetir pembicaraan ke arah lain.

Jeffrey menunduk, mengamati kaki kirinya. Ia kemudian mengangkat kepala dan tersenyum.

"Kecelakaan, Kak. Kirain Shasha sudah cerita." Jeffrey buru-buru meralat. "Gladis maksudnya."

Silvi tertawa kecil. "Nggak papa, kok. Shasha itu panggilan Gladis waktu kecil, buatan Ibu. Karena di sekolah lebih sering dipanggil Gladis, orang-orang rumah jadi ikutan panggil Gladis. Yang masih suka panggil Shasha cuma Raka, dulu Ibu juga, sih."

"Ibu kemana?" tanya Jeffrey tak menangkap maksudnya.

"Ibu sudah nggak ada."

Jeffrey jadi tak enak hati. Senyumnya berubah masam. "Maaf, aku nggak tahu, Kak."

"Nggak papa, sudah lama, kok." Silvi menenangkan. "Ayo, diminum dulu."

Jeffrey mengangguk. Ia meraih gelas berisi teh manis hangat dan menyesapnya pelan.

"Kalau begitu, MotoGP musim depan kemungkinan kamu nggak ikut tanding?" Kali ini Ian yang bertanya.

"Kalau itu, belum diputuskan. Pelatih bilang yang penting sembuh dulu," ucap Jeffrey sambil meletakkan gelas kembali di atas nampan.

"Kecelakaannya parah, ya?" tanya Silvi. Dia memang tidak mengerti separah apa luka yang didapat Jeffrey hingga pria itu terancam tidak bisa ikut turnamen.

"Menurut aku nggak parah, Kak. Setelah sembuh, mulai fisioterapi dan latihan, bisa balapan lagi kok."

"Duh, hati-hati ya," ucap Silvi dengan raut wajah khawatir. "Aku kalau ikut nonton pertandingan balap motor sama ayahnya anak-anak juga ikut ngeri. Habis jatuh, masih bisa ketabrak-tabrak gitu sama motor di belakangnya. Kayak kecelakaan beruntun."

Jeffrey tertawa kecil. "Resiko itu, Kak. Kita kalau balapan pakai full protector kok. Bajunya juga baju khusus."

"Tetap saja. Serem."

"Mah," sela Ian. "Namanya atlet ya begitu."

"Kalau Raka pengin jadi pembalap juga, gimana? Mama takut ah."

Jeffrey mengamati perdebatan suami-istri di depannya. Ia melirik ke arah Raka yang cuek saja menikmati martabak. Jeffrey jadi ingat, dulu, dia juga sempat dilarang masuk ke dunia racing oleh orangtuanya. Karena mendapat dukungan dari sang paman, Jeffrey pun mendapat restu.

Gladis bergabung tak lama kemudian. Ia mengamati Silvi dan Ian yang malah sibuk bisik-bisik sendiri. Tatapan mata Gladis bertemu dengan milik Jeffrey.

"Kok jadi pada ngobrol sendiri sih?" tanya Gladis. Ia lewat di depan kedua kakaknya dan meminta Raka untuk bergeser. Kini Raka duduk di antara Gladis dan Jeffrey.

"Ini lho, Mbak-mu nggak suka kalau Raka mau jadi pembalap," lapor Ian.

Gladis melirik Jeffrey. Ia mendengus geli. "Aku juga nggak setuju." Tangannya mengusap kepala Raka. "Tapi, kalau itu yang terbaik untuk Raka, aku sih bakal dukung."

"Lho, piye tho koe ki?" Silvi kelepasan bicara dengan gaya medhok.

"Sudah ah. Pembalap, pembalap. Mentang-mentang ada pembalap beneran nih, makanya topik bicara kalian begitu?" sambar Gladis. Ia tersenyum miring ke arah Jeffrey. "Jeffrey tuh nggak sehebat yang kalian kira. Dia kecelakaan karena ikut balapan liar."

"Balapan liar?" ulang Ian tak percaya. Silvi pun memberikan tatapan penuh tanya pada si objek pembicaraan.

Jeffrey terbatuk. Ia menggeleng, merasa tertuduh. "Aku nggak balapan liar. Kemarin malam murni karena teledor. Ngebut di jalan tanpa pakai helm."

"Kenapa ngebut? Kenapa nggak pakai helm?" desak Gladis.

"Pengin ngebut aja, lagian jaraknya dekat, nggak sampai satu kilometer. Karena malam, jalanan sepi. Aman kan tuh."

"Terus kenapa bisa jatuh?"

"Ngerem mendadak. Kaget ada kucing lewat."

Silvi dan Ian kini saling melempar tatapan bingung. Gladis bilangnya sih, baru bertemu beberapa kali saja dengan Jeffrey, tapi kedekatan dua sejoli itu tidak bisa dibantah. Buktinya mereka bisa adu mulut, seperti sepasang kekasih. Raka yang berada di antara pertengkaran dua orang dewasa hanya bisa menatap Jeffrey dan Gladis bingung.

"Raka, belajar yuk. Latihan membaca lagi sama Mama," ajak Silvi.

"Oh iya, aku juga mau nengok Lala dulu. Takutnya sudah bangun," sambung Ian.

Gladis dan Jeffrey diam, namun keduanya sama-sama memberikan tatapan dingin. Entah kenapa mereka bisa bertengkar. Padahal Gladis selalu dapat mengendalikan emosinya.

Jeffrey memutus acara saling tatap itu dengan membuang wajah. Telinganya memerah. Ia merasa gerah. Refleks, tangan kirinya menyugar rambut ke belakang.

"Aduh," keluh Jeffrey.

Gladis terkejut. Ia menahan kepala Jeffrey agar menoleh ke arahnya. Melihat ada setitik warna merah yang merembes di perban Jeffrey, gadis itu menghela napas panjang dan membalas tatapan mata Jeffrey.

"Padahal baru tadi sore ganti perban."

"Gatel. Nggak sengaja aku garuk."

"Berdarah lagi kan," kesal Gladis. Ia meraih dua tangan Jeffrey, menyatukannya, dan meletakkan di atas pangkuan cowok itu sendiri. "Tangannya diem. Aku ambil perban baru."

Jeffrey tak berhenti tersenyum. Kini ia tahu. Gladis hanya memasang topeng di depannya, sebenarnya gadis itu berhati lembut dan mudah tak tega.

Gladis kembali tak lama kemudian dengan kotak peralatan obat di tangannya. Tanpa bicara, Gladis menarik lengan Jeffrey, menyuruhnya untuk duduk saling berhadapan. Gadis itu menyiapkan peralatan balut luka, bahkan sampai pakai sarung tangan silikon. Jeffrey memperhatikan raut wajah Gladis yang tetap datar. Padahal, dirinya cukup menikmati raut wajah cemas yang ditunjukkan Gladis untuknya.

"Jangan terlalu percaya diri," ucap Gladis seperti bisa membaca isi pikiran Jeffrey. Tangannya memegang dagu pria itu agar melihat serong, jadi Gladis lebih mudah mengobati luka di dahi kiri Jeffrey. "Aku kayak gini ke semua pasien."

"Termasuk yang kemarin?" tanya Jeffrey. Ia meringis kecil ketika Gladis menarik plester di dahinya.

Gladis mengangguk. Ia membersihkan luka dengan kasa basah. Gadis itu mengoleskan obat salep di atas bekas jahitan Jeffrey.

"Andaikan waktu itu bukan aku pasiennya, kamu juga bakal nolongin?"

"Iya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top