7.

Ponsel Gladis berdering. Si pemilik mengintip sesaat. Bukan panggilan masuk dari Niko, tapi dari Jeffrey. Gadis itu berjalan mondar-mandir. Setelah mengetahui jumlah kekayaan pria itu, Gladis jadi malu sendiri. Ia meminta nomor rekening dengan sangat angkuh, seolah-olah dirinya punya banyak uang.

Deringnya mati. Gladis bisa bernapas lega. Tiga detik kemudian, ponsel itu kembali berbunyi. Jeffrey benar-benar pantang mundur.

Sudah kepalang basah, sudah tak bisa mundur. Gladis mempersiapkan diri. Tarik napas, buang napas. Ia akhirnya mengangkat panggilan telepon di dering kelima.

"Halo?" sapa Gladis ramah.

"Hai. Ganggu nggak?"

Iya! Pekik Gladis dalam hati.

"Nggak," jawab Gladis. Ia berdeham lalu melanjutkan. "Maaf, tadi aku lagi di kamar mandi, jadi nggak bisa langsung jawab telepon."

"Nggak papa, aku senang karena akhirnya bisa dengar suara dokter Shasha lagi, hehe."

Gladis terbatuk. Jeffrey jelas sedang menggodanya. Gladis sadar diri. Ia tidak boleh bermain-main dengan orang kaya. Uang adalah senjata paling berbahaya abad ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan kedudukan uang di strata masyarakat.

"Oke, jadi mana nomor rekening kamu?" tanya Gladis to the point. Semakin cepat ia membayar hutang, semakin cepat ia terlepas dari cengkeraman Jeffrey.

"Nomor rekening ada di HP dan sekarang HP-nya nempel di telinga nih."

Gladis mulai gusar. Jeffrey mempermainkannya.

"Aktifkan loud speaker, terus bacakan nomor rekening kamu."

"Kamu nyuruh?"

"Eh, hm, ngh.... Bukan begitu," gagap Gladis, sepertinya Jeffrey tipe orang yang tak suka diperintah. Terdengar gelak tawa dari seberang. Duh, suara tawanya saja ganteng.

"Sorry, sorry," ucap Jeffrey setelah tawanya reda. "Kamu nggak takut, kan?"

Gladis menghela napas panjang. "Hampir. Kamu serem."

"Hampir takut?"

"Iya."

"Hampir takut. Hm, menarik."

"Jeffrey...."

"Panggil aku Jef, Shasha. Jangan terlalu kaku."

"Kamu bebas panggil aku Shasha, suka-suka aku mau panggil kamu apa."

"Aku pasien kamu."

"Pasien bukan raja, pasien bukan pelanggan bagi dokter," tegas Gladis. Hening. Jeffrey berhasil dibuat diam. Gladis jadi berani melanjutkan bicaranya. "Lagipula, dari bagian Neuro sudah lepas rawat sejak sore tadi. Kamu bukan lagi pasien aku."

"Kamu tersinggung?"

"Ya," jawab Gladis jujur. "Aku paling nggak suka dengan orang-orang seperti kamu. Hubungan dokter-pasien tidak bisa disamakan seperti penjual-pembeli. Harus ada rasa saling percaya jika pasien benar-benar ingin sembuh."

"Maaf," Jeffrey terdengar benar-benar menyesal. Jarang sekali ia bisa mengalah dan mengucap kata maaf setulus itu.

Gladis menghela napas panjang. "Orang-orang yang memiliki banyak uang kayak kamu memang sesekali harus diingatkan."

"Tunggu. Kamu cari tahu?"

Bingo! Gladis tertangkap basah! Gadis itu menjauhkan ponselnya dan berdesis kesal. Ia menepuk mulutnya yang lancang bicara karena merasa telah berada di atas awan.

"Cuma sedikit," jawab Gladis.

"Kalau begitu, kamu mulai tertarik, kan?" tanya Jeffrey antusias.

"Sedikit."

"Yeah! Yuhuuu!"

"Bukan tertarik karena benar-benar tertarik," sambung Gladis cepat. "Aku begitu karena nama kamu jadi bahan pembicaraan banyak orang di rumah sakit."

"Oh, gitu. Yah, sayang banget."

"Back to business," ucap Gladis tanpa perasaan. "Nomor rekening."

"Aku nggak butuh uang."

Gladis terhenyak. Suara Jeffrey terdengar dingin. Ngambek?

"Kalau begitu, urusan kita selesai."

"Aku nggak ngomong gitu," sambar Jeffrey cepat. "Aku nggak butuh uang, tapi aku tetap ingin bayaran."

Gladis berusaha sabar. Orang kaya memang banyak maunya!

"Apa?"

"Aku mau ketemu dengan keponakan kamu."

Alis gadis itu menyatu, keningnya berkerut. "Ketemu Raka? Untuk apa?"

"Aku mau ketemu dengan penggemarku," ucap Jeffrey menegaskan.

Gladis menghembuskan napas panjang. "Aku tanya dulu ke ibunya. Mengizinkan atau tidak."

"Kalau bisa besok."

"Hah?"

"Aku mau ketemu dengan Raka, keponakanmu yang juga penggemarku, besok," Jeffrey terdengar gemas. "Bisa, kan?"

"Okay. Aku usahakan."

"Kata suster besok sore aku sudah boleh pulang," lapor Jeffrey. "Gimana kalau kamu jemput aku terus kita berangkat bareng?"

"Ah, aku lupa kamu masih dirawat di rumah sakit."

Jeffrey tertawa kecil. "Kenapa?"

"Kamu terdengar baik-baik saja untuk bisa dianggap sebagai pasien."

Tawa Jeffrey membesar. Ia benar-benar bahagia. Entah mengapa, Jeffrey selalu betah berada di dekat Gladis. Padahal mereka hanyalah dua orang asing yang bertemu dengan ketidaksengajaan.

"Hm, memangnya nggak masalah?" tanya Gladis hati-hati. Ia teringat dengan seorang pria yang tadi siang marah-marah di kamar Jeffrey. "Pamanmu mengizinkan? Aku nggak mau kejadian tadi terulang lagi."

"Maksudnya, om Adam? Tenang saja. Aku sudah ngomong sama dia," ucap Jeffrey menenangkan. "Alasan aku pengen cepat bertemu dengan Raka juga karena itu. Dia menyuruhku pulang ke Bandung selama masa pengobatan berakhir. Lusa aku berangkat."

Gladis menunduk. Ia memainkan bulu-bulu karpet di antara jemari kakinya. Pikirannya berkelana.

"Kamu nggak sedih, kan?"

"Untuk apa sedih?" Gladis tertawa sumbang. "Justru senang. Jadi nggak ada yang gangguin lagi."

"Aku sedih," suara berat Jeffrey menarik perhatian Gladis. "Aku jadi nggak bisa lihat kamu."

"Hah, playboy," keluh Gladis.

"Apa?"

"Nggak, nggak ada apa-apa," ucap Gladis cepat. "Tidur sana. Pasien harus banyak istirahat. Besok aku kasih kabar."

"Perhatian nih, ceritanya?"

"Bye!"

Gladis berhenti di lobby paviliun VIP. Ia bergegas masuk ke kamar mandi sambil melepas snelli putihnya. Untung saja Gladis kemari. Ia jadi bisa melihat penampilan kusutnya setelah lelah seharian bekerja.

Malu dong, bertemu artis dengan tampang acak-acakan.

Setelah memperbaiki riasan di wajah, Gladis juga tak lupa menata rambut. Ia melepas kuncir dan membiarkannya jatuh tergerai. Gladis menggulung lengan kemejanya hingga siku. Sebagai penutup, ia menyemprotkan parfum di beberapa bagian tubuhnya.

"Kok kayak mau nge-date?" gumam Gladis pada diri sendiri. Ia menggeleng dan segera berlalu dari sana.

Gladis menyapa perawat yang ia temui di nurse station. Gadis itu berlalu menuju kamar rawat inap Jeffrey. Ia mengetuk pintu sebelum membukanya.

"Hai!" sapa Jeffrey sambil tersenyum. "Sudah aku tungguin."

Gladis terpaku. Ia baru sadar bahwa kadar ketampanan seorang Jeffrey benar-benar sangat menawan. Dari kemarin dia lihat kemana, sih? Ada berkat di depan mata malah disia-siakan.

"Maaf. Ada sedikit urusan," kilah Gladis. Ia berjalan mendekat. "Sudah siap? Dokumen pulangnya gimana?"

"Sudah beres semua. Nih, aku juga sudah pakai baju bebas. Tinggal berangkat."

"Butuh kursi roda?"

"Nggak. Pakai kruk aja."

Gladis meletakkan tas tangan dan jasnya di atas kasur. Ia menyerahkan alat bantu jalan yang tersandar di dinding pada Jeffrey. Pandangannya terarah ke arah kaki cowok itu yang masih terbalut gips.

"Bisa jalan sendiri?"

Jeffrey mengulum senyum. Ia senang karena mendapat atensi penuh dari gadis di depannya.

"Bisa. Sudah belajar sama perawat tadi," jawab Jeffrey. "Tapi untuk bangunnya susah," lanjutnya mengada-ada.

"Sini, aku bantu," Gladis langsung menawarkan bantuan. Ia mengulurkan kedua tangan.

Jeffrey tentu saja tak menyiakan kesempatan. Ia menggenggam tangan Gladis, lalu berpura-pura kesulitan berdiri. Gladis dengan cemas memegangi kedua lengan Jeffrey erat.

"Beneran bisa jalan?"

"Bisa kok bisa." Jeffrey nyaris tertawa menikmati raut wajah Gladis. "Sini, kruk-nya."

Gladis menyerahkan alat bantu jalan tersebut pada Jeffrey. Ia meraih satu tas ransel milik cowok itu dan menggendongnya di punggung. Ia pun membawa barang-barang miliknya sendiri.

"Eh, itu tas biar aku aja yang gendong," ucap Jeffrey merasa bersalah. Niat pura-pura lemah, malah dianggap lemah beneran.

"Nggak papa, nggak berat kok," sangkal Gladis. "Kamu fokus jalan saja. Jangan sampai jatuh. Kita tunggu taksi di lobby bawah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top