5.
"Om Adam?" Jeffrey terkejut ketika tahu-tahu ada penjenguk datang tanpa permisi.
"Jef, tahu gini gue nggak kasih izin lo balik ke Indonesia!"
"Om, rumah sakit ini. Malu," ucap Jeffrey berusaha menenangkan pamannya.
Selain malu karena mereka saat ini sedang berada di tempat umum, Jeffrey juga masih lelah untuk dimarahi habis-habisan. Cukup sudah ia dibombardir ocehan Ilham lewat telepon. Kini, pamannya sampai bersusah payah mengarungi benua dan lautan untuk memberinya ceramah.
"Turnamen lo sudah dekat, Jef!"
"Tenang saja. Kata dokter, paling lama dua bulan gue sudah bisa lepas gips, kok."
"Memang bisa langsung tanding?!"
Jeffrey menggaruk daun telinganya. "Ya, diusahain."
"Nggak ada jaminannya, Jef. Waktu latihan lo juga terpotong dua bulan!"
"Om! Gue lagi sakit! Bisa nggak sih nggak perlu pakai otot ngomongnya?!" Jeffrey balas meninggikan suaranya.
"Ini bukan cuma tentang turnamen besok, ini menyangkut kontrak lo juga!"
"Jangan ngomongin pekerjaan di saat gue lagi sakit!"
"Permisi," seorang perawat mengetuk pintu kamar rawat Jeffrey yang dibiarkan terbuka. Dua pria di dalam ruangan sontak menengok bersamaan. "Mohon maaf, dilarang berteriak di rumah sakit. Bisa mengganggu kenyamanan pasien lain."
"Saya butuh bicara dengan keponakan saya. Tolong pergi dari sini."
"Om!"
"Permisi," suara halus itu menyapa semuanya. Gladis muncul dengan kursi roda di tangan. "Pasien Jeffrey, sudah waktunya kita periksa CT-scan ya."
Jeffrey bingung. Perasaan, dia tidak diberitahu ada pemeriksaan tambahan. Namun, setelah menangkap sinyal yang dikirimkan gadis itu melalui tatapan mata, Jeffrey mengerti. Gladis datang untuk menyelamatkannya.
"Oh, iya, Dok. Saya hampir lupa."
"CT-scan untuk apa?" tanya Adam sambil melemparkan tatapan menyelidik.
Gladis sangat profesional. Ia tetap tangguh meskipun berada di bawah tekanan. Senyum manisnya tetap terpasang.
"Pasien Jeffrey datang dengan luka di kepala, selain luka di kaki. Saya dari bagian Neuro mengusulkan agar dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala, mengingat bahwa luka di kaki cukup parah, tidak menutup kemungkinan ada luka di bagian dalam kepala."
Adam menghela napas gusar. Ia mengacak rambutnya.
"Berapa lama?"
"Sekitar dua jam, Pak." Gladis menjawab dengan sopan.
"Saya tunggu di sini."
"Om mending pergi dulu, istirahat di hotel atau di rumah Om Ilham," bujuk Jeffrey. "Setelah tenang, gue bakal dengerin semua ucapan Om. Om juga capek kan, jauh-jauh dari Inggris langsung ke sini?"
Tatapan mata Adam beralih bergantian dari Jeffrey, lalu ke Gladis, ke Jeffrey lagi. "Gue pulang setelah lo benar-benar berangkat periksa CT-scan."
Jeffrey menghela napas pasrah. Ekor matanya mengikuti langkah Gladis yang berjalan mendekat ke kasur tempatnya berbaring. Dengan tenang, gadis itu memposisikan kursi roda, menurunkan pagar pengaman tempat tidur, lalu mengulurkan tangan pada Jeffrey.
"Saya bantu turun," ucap Gladis.
Jeffrey mengangguk. Ia menerima uluran tangan Gladis dan menggeser tubuhnya perlahan. Untung saja keseimbangan Jeffrey bagus. Meski hanya bertumpu pada satu kaki, Jeffrey tetap bisa menapak, tidak jatuh menimpa tubuh Gladis yang jelas lebih kecil darinya.
"Biasanya yang antar pasien ke ruang periksa tuh suster," komentar Adam sinis.
Gladis tetap tersenyum. Padahal Jeffrey sudah kalang kabut kebingungan.
"Pasien Jeffrey berada di bawah perawatan dokter Furqon. Saya sebagai residen bimbingan beliau, dimintai tolong untuk mengurus pasien VIP sebaik mungkin," jelas Gladis. "Ada yang ingin ditanyakan lagi, Pak?"
Wajah Adam memerah. Ia menggeleng. Pria itu menatap ke arah Jeffrey yang sudah duduk di atas kursi roda.
"Gue ke rumah Ilham dulu. Kabarin gue kalau ada sesuatu."
"Okay, Om."
Ilham meraih ranselnya dari atas sofa. Ia menatap ke arah Gladis. Gadis itu berakting dengan baik. Gladis pura-pura memeriksa selang infus Jeffrey, lalu mendorong kursi roda menuju pintu keluar.
"Maaf atas ketidaksopanan saya, Dokter," ucap Adam sambil tersenyum tipis. "Tolong urus Jef dengan baik."
Gladis mengangguk. Ia tersenyum manis. "Sudah menjadi tugas saya, Pak."
Untuk menghindari kecurigaan, Gladis mendorong kursi roda Jeffrey memasuki lift, bersama dengan sang paman yang juga akan turun untuk pulang. Mereka berpisah di pintu paviliun. Adam berlalu ke tempat parkir, sedangkan Gladis membawa Jeffrey ke sisi lain gedung.
"Di sini CT-scannya?" tanya Jeffrey ketika Gladis justru memarkir kursi roda di depan gazebo taman.
Gladis menghela napas lelah. Mendorong kursi roda Jeffrey butuh tambahan tenaga dalam. Berat banget.
"Ini dimana?" Gladis balik tanya. Ia mengeluarkan satu bungkus onigiri dari saku, melepas snelli putihnya, dan duduk di gazebo.
"Di taman."
"Nah, itu tahu."
"Nggak CT-scan?"
Gladis menggeleng. Ia melihat ke arah arloji sebelum membuka bungkus makanan di tangan.
"Saya punya setengah jam untuk istirahat. Setelah saya makan, saya antar kembali ke kamar."
"Kamu cuma makan siang pakai itu?" tanya Jeffrey.
Gladis menelan makanan dalam mulutnya. Ia mengusap bibir dengan tangannya. "Maaf, saya justru makan sendiri. Kamu sudah makan siang, kan?"
Jeffrey mengangguk. Ia mengulangi pertanyaannya. "Kamu serius cuma makan itu?"
"Iya. Sekarang sudah pukul dua siang, tidak banyak waktu yang tersisa untuk pergi ke kantin."
Jeffrey tiba-tiba merasa bersalah. "Maaf. Sudah membuat repot."
"Saya sendiri yang mengambil tindakan tadi, tidak perlu merasa bersalah," jawab Gladis santai.
"Setelah ini, masih ada pekerjaan?"
Gladis mengangguk. "Mengantarmu kembali ke kamar, menyelesaikan pekerjaan di bangsal, balik lagi ke paviliun VIP untuk menemani visit dokter Furqon."
"Setelah itu?"
Gladis berusaha mengingat jadwalnya. Ia mengangkat bahu. "Selesai. Istirahat. Saya sudah di sini sejak kemarin, lalu jaga malam, lanjut sampai sore nanti."
"Sibuk banget," komentar Jeffrey.
"Iya. Boleh diam sebentar? Waktu istirahat saya tidak banyak."
"Eh, oh, okay. Maaf mengganggu," gagap Jeffrey, entah kemana keberaniannya semalam untuk menggoda gadis di hadapannya saat ini.
Gladis melanjutkan acara makan. Tangan kiri gadis itu meraih ponsel. Iseng, Jeffrey mengintip. Ternyata Gladis asyik bermain puzzle.
Jeffrey tersenyum. Biasanya ia gampang merasa bosan tanpa ponsel. Saat Gladis membawanya tadi, ponsel Jeffrey tertinggal di atas kasur. Alhasil, Jeffrey tidak punya pilihan lain selain menikmati pemandangan di depannya. Ia secara terang-terangan menunjukkan wajah terpana melihat Gladis yang asyik dengan dunianya sendiri.
Gadis itu berdiri dan berjalan menjauh untuk membuang sampah. Ia kembali duduk di tempatnya semula. Kali ini tidak lanjut bermain ponsel.
"Sudah? Sekarang saya boleh ajak bicara?" tanya Jeffrey.
Gladis mengangguk. "Silahkan."
Jeffrey tersenyum. Lesung pipinya muncul. "Ehm, sebelumnya, boleh nggak, bicaranya tidak terlalu formal? Gue nggak terbiasa."
"Saya lebih nyaman seperti ini, untuk menjaga hubungan dokter-pasien." Gladis tersenyum. "Tapi, kalau kamu lebih nyaman tidak terlalu formal, akan saya usahakan."
"Nggak biasa ngomong pakai gue-lo ya?" tanya Jeffrey. "Kalau gitu, pakai aku-kamu aja. Gimana?"
Gladis menelengkan kepala. "Boleh. Pakai gue-lo juga boleh, tapi saya tidak akan mengikuti."
"Sudah, pakai aku-kamu aja. Ya?"
Gladis mengangguk. "Okay."
Jeffrey tak bisa menyembunyikan senyumnya. "Jadi, dokter Shasha sebenarnya ingat, kan? Yang waktu itu di mall?"
Gladis mengangguk. "Kemarin malam sempat lupa. Terus ingat setelah kamu kasih clue."
Hati Jeffrey berbunga-bunga bak orang kasmaran. Padahal alasannya sangat sederhana. Pakai panggilan aku-kamu. Duh, Jeffrey berasa kembali menjadi remaja usia tanggung.
"Aku nungguin kamu lho. Nggak ada telepon masuk."
"Oh itu," Gladis manggut-manggut. "Aku lupa. Nomor kamu ditulis di kardus mainan Raka, belum sempat aku foto."
Mulut Jeffrey membulat. Pikiran negatifnya segera lenyap. Ia kembali berharap.
"Jadi, kalau misalnya kamu tahu nomor aku, kamu bakal telepon, kan?"
Gladis mengangguk. "Aku nggak suka ninggalin hutang."
"Ngomongin tentang hutang, mumpung ketemu, aku mau minta nomor rekening."
"Lupa," jawab Jeffrey santai. "Ada di HP, di kamar."
"Oh, gitu."
Tangan Jeffrey terulur. "Mana HP kamu?"
"Untuk apa?" selidik Gladis.
"Mau catat nomor telepon aku, biar mudah kasih nomor rekening," kilah Jeffrey.
Gladis menyerahkan ponselnya dengan hati tak rela. Ia membiarkan Jeffrey memasukkan nomornya. Gladis tidak tahu bahwa Jeffrey sengaja menelepon nomornya sendiri, dengan begitu, Jeffrey jadi tahu nomor sang gadis.
"Sudah," ucap Jeffrey tersenyum penuh arti sambil mengembalikan ponsel pada si empu. "Aku kasih nama Jeffrey, pakai emoticon hati."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top