20.

"Jeffrey."

Si pemilik nama mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Jeffrey terkesima. Dia bahkan tak bisa memalingkan pandangannya dari Gladis. Midi dress biru muda, flat shoes, rambut panjang hitam lurus ditata rapi, riasan make up tipis. Gladis tampak elegan dengan kesederhanaannya.

"Cantik," puji Jeffrey terang-terangan.

"Kamu juga," balas Gladis malu.

"Juga apa? Cantik?"

Gladis tidak menjawab, ia hanya mengangkat kedua bahu. Gladis tidak sefrontal Jeffrey dalam bicara. Dia malu memuji penampilan Jeffrey yang tampak memukau malam ini dalam setelan semi formalnya.

"May I?" tanya Jeffrey sambil berdiri dan menyodorkan lengan.

Gladis menepuk lengan Jeffrey. "Berlebihan ah. Ayo berangkat. Takut Papa Mama kamu lama nunggu."

"Bentar lagi juga jadi Papa Mama kamu."

"Jeffrey, buruan, ayo," Gladis sengaja begitu untuk menutupi kegugupannya.

"Iya, iya," Jeffrey terkekeh. Mereka berjalan bersisian menuju basement, letak mobil Jeffrey terparkir.

Selama perjalanan, Gladis tak bisa berkata-kata. Sama seperti dulu ketika Jeffrey bertemu ayah Gladis untuk pertama kalinya. Jeffrey yang mengerti, menyalakan musik dan bernyanyi. Ia bahkan meminta Gladis untuk ikut bernyanyi bersamanya.

"Nggak bisa. Aku lagi nenangin diri," tolak Gladis.

"Nggak ada yang perlu ditakutin, ini cuma makan malam sambil ngobrol-ngobrol."

"Beda, Jeffrey."

"Papa Mama suka sama kamu kok. Serius. Apalagi Mama." Jeffrey melirik sekilas. Tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala Gladis. "Jangan takut. Kamu itu orang terbaik pilihan aku. Mereka pasti bakal dukung hubungan kita."

"Nanti kamu mau kenalin aku sebagai siapa?"

"Calon istri."

"Ih, serius!"

"Serius banget, Shashaku, Cintaku, Manisku," balas Jeffrey geregetan. "Kamu kan sudah terima perasaan aku. Kamu juga tahu aku anggap hubungan kita ini serius. Aku tahu kamu belum mau nikah dalam waktu dekat, tapi aku jamin di masa depan kamu nikahnya sama aku."

"Nggak ada jaminan."

"Memang kamu nggak mau nikah sama aku?" Gladis diam.

Jeffrey hela napas panjang. "Jangan overthinking. Anggap ini makan malam biasa. Santai saja. Paling, nanti Papa sama Mama juga tanya yang aneh-aneh. Kamu jawab jujur saja, sesuai kata hati. Pertanyaan aneh, jawabannya juga harus aneh."

Gladis tidak menjawab. Membalas ucapan Jeffrey hanya akan membuang energinya. Gladis sedang tidak ingin berdebat.

Sesampainya di restoran, Jeffrey menawarkan lengannya lagi. Kali ini Gladis menerima. Mereka bergandengan tangan hingga sampai di meja makan pesanan keluarga Jeffrey. Ternyata Papa dan Mama belum datang.

Gladis tersenyum kikuk ketika seorang pelayan datang menuangkan air mineral ke dalam gelasnya. Tindak tanduk gadis itu tak luput dari perhatian Jeffrey. Jeffrey yang duduk tepat di sebelahnya mengulurkan tangan.

"Untuk apa?"

"Pegangan," jawab Jeffrey. Ia tersenyum menenangkan, kalau sedang seperti ini Jeffrey terlihat dewasa. "Kamu punya aku, Shasha. Jangan panik."

Gladis tersenyum kecil. Ia membiarkan tangannya digenggam oleh Jeffrey di bawah meja. Saat ini dirinya memang membutuhkan pegangan. Gladis bahkan baru menyadari bahwa tangan Jeffrey begitu hangat. Selama ini kontak fisik yang mereka lakukan tidak begitu berarti bagi Gladis.

Tak lama kemudian, Papa dan Mama datang. Gladis kini tahu darimana wajah rupawan milik Jeffrey berasal. Papa Mama tampak awet muda, tidak terlihat seperti orang tua dari anak berusia hampir tiga dekade.

"Ini yang namanya Shasha, ya?" sapa Mama sambil cipika-cipiki. "Cantik banget kamu."

"Tante lebih cantik," balas Gladis.

"Anak gadis lemah lembut gini kok mau sama Jef, sih?" sambung Papa saat Gladis menyalaminya.

"Duh, Papa. Jangan malu-maluin dong," keluh Jeffrey.

"Ayo duduk," ajak Mama. Beliau memberi kode pada pelayan untuk menyediakan menu pembuka. Setelahnya, seluruh atensi wanita itu terarah pada Gladis.

"Kata Jef, kamu lagi ambil sekolah spesialis saraf ya? Berat nggak? Jef nyusahin kamu ya main di Jogja terus?"

"Mah, tanya satu-satu. Shasha bingung nanti." Jeffrey menoleh ke arah Gladis dan tersenyum. "Aku nggak nyusahin kamu, kan?"

Gladis balas tersenyum. "Nggak kok."

"Kamu jangan maksa Shasha, gitu," protes Mama.

"Saya nggak dipaksa kok, Tante."

"Panggilnya pakai Mama saja, jangan Tante. Kayak Jef."

Gladis meringis. Keluarga Jeffrey memang ajaib semua.

"Iya, Mah."

"Jadi, menurut kamu, kekurangan Jef apa?"

"Eh?" Gladis bingung mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Papa. "Kekurangan Jeffrey?"

"Iya, kekurangannya."

Gladis berpikir sejenak. "Hm, Jeffrey orangnya spontan, jadi sering bikin saya kesal. Bar-bar juga. Ceroboh. Sering ngeyel. Kalau sudah godain, nggak bisa berhenti."

"Bener kan, Papa juga setuju," timpal Papa Jeffrey. "Kelakuannya tuh mirip anak dakjal."

"Dakjalnya Papa, dong?"

"Kan mirip aja. Bukan dakjal beneran."

Mama menggeleng kecil, memberi kode pada Gladis untuk mengabaikan dua pria dewasa yang masih bertingkah kekanakan. Hidangan pembuka datang. Obrolan mereka terputus sejenak.

"Kalau kamu Jef, menurut kamu kekurangan Shasha apa?" kali ini Papa bertanya pada sang anak.

Jeffrey menoleh ke arah Gladis. Senyumnya mengembang. "Nggak ada, Pah. Shasha kadang cerewet kalau aku udah mulai bandel, tapi itu kan tanda sayang. Selain itu nggak ada sih."

Mama dan Papa bertukar pandang. Mereka bisik-bisik. Keduanya berlagak seperti juri di ajang kontes.

"Yang satunya realistis, yang satunya madly in love."

"Padahal Jef lebih tua lho, Pa. Seriusan tuh dia kemarin bilang mau nikah? Kasihan Shasha."

"Dulu Papa nikahin Mama juga karena cinta banget lho."

"Makanya Mama jadi susah kan."

"Mama susah?"

"Lebih susah ngadepin Jef daripada ngadepin Papa, sih."

Jeffrey berdeham. Wajahnya memerah menahan malu. Pasalnya, ada Gladis. Gadis itu kini sedang menunduk mengulum senyum.

"Jangan bikin aku malu, Pa, Ma."

Mama tersadar. Ia melihat Gladis sambil tersenyum lebar. Tangan kanannya terulur, meraih telapak tangan Gladis yang sedang memegang garpu.

"Shasha, Mama tahu, Jef sudah kebelet nikah, tapi jangan merasa terpaksa ya. Kamu masih muda, masih sibuk. Mama juga wanita karier, jadi Mama tahu rasanya," ucap Mama panjang lebar. "Kalau Jef rewel gangguin kamu terus, getok aja kepalanya. Kalau kamu nggak berani, lapor ke Mama, biar Mama yang bilangin."

Gladis tertawa kecil. Keluarga Jeffrey sangat terbuka dengan kehadirannya. Kecanggungan Gladis menguap begitu saja.

"Mah, yang anak Mama tuh aku atau Shasha, sih?"

"Shasha," justru Papa yang menjawab. "Tuker aja lah. Papa mau punya anak perempuan yang lebih kalem."

"Jangan tuker dong, Jef kan kesayangan Mama," sambung Mama.

Gladis tersenyum. Ia menurunkan sendok di tangan kanannya dan merangkul lengan Jeffrey. Kepalanya bersandar santai di pundak pria itu. Jeffrey ketar-ketir dibuatnya.

"Nanti kita kan nikah. Saya bakal jadi anak menantu."

Mama terkejut. Ia memukul-mukul lengan suaminya dengan gemas. Raut wajahnya terlihat sangat antusias. Reaksi Papa juga tak jauh beda. Rahangnya terjatuh, mulutnya terbuka lebar.

"Mah, anak kita, Mah," ucap Papa terbata. "Ada yang mau sama anak kita."

Jeffrey menutupi wajahnya dengan tangan kanan. Telinganya sudah memerah, bahkan sampai wajah dan lehernya pun ikutan. Ia meraih gelas berisi air mineral dan menghabiskannya tanpa sisa. Sial. Ucapan Gladis membuatnya senang bukan kepalang. Di sisi lain, Jeffrey juga malu dengan reaksi Papa yang kampungan.

Mama berdiri dari duduknya. Ia menarik tangan Gladis pelan, memintanya untuk berdiri juga. Dengan bingung Gladis menurut. Tatapan gadis itu sempat bertemu dengan milik Jeffrey, namun Jeffrey hanya mengangguk kecil meyakinkannya.

"Selamat datang di keluarga kami, Shasha. Mama kira kamu masih mikir-mikir ulang tentang pernikahan, kalau dari cerita Jef sih gitu. Duh, Mama senang banget. Jangan kapok ya, Sayang," ucap Mama sambil memeluk tubuh semampai Gladis.

"Eh, iy... Iya, Mama," Gladis bingung bagaimana ia harus membalas. "Mohon doa dan restunya ya, Mah. Semoga hubungan saya dan Jeffrey lancar selalu."

"Iya, pasti. Mama sama Papa kasih doa tanpa henti."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top