2.

Gladis menghela napas panjang. Dirinya masih teringat kejadian barusan. Habis sudah harapan untuk hidup tenang. Selama beberapa bulan ke depan, sepertinya ia akan makan nasi kucing terus.

Karena Raka terus merengek, Gladis jadi tak punya pilihan lain. Ia pun malu telah membuat keributan di mall. Orang yang memperkenalkan diri sebagai Jeffrey, idola sang ponakan, memaksa agar hadiahnya diterima. Gladis tak mau berhutang. Ia menawarkan diri untuk mentransfer biaya sesuai harga barang yang telah berada di pelukan Raka.

Pria itu tersenyum. Dia bilang, uang bukanlah hal penting untuknya. Jeffrey hanya ingin memberikan fan service kecil-kecilan untuk penggemarnya. Jeffrey bahkan berkata pada Raka untuk menghubunginya jika tertarik menjadi atlet balap motor.

Gladis tetap bersikeras. Meskipun bagi Raka Jeffrey adalah idola, bagi Gladis dia tetaplah orang asing. Gadis itu kukuh meminta nomor rekening. Jeffrey hanya mengangguk, lalu menulis sederet nomor di kotak figurin hadiah milik Raka. Bukan nomor rekening, tapi nomor telepon. Beserta tanda tangan sesuai janjinya pada Raka.

Dasar buaya darat!

"Gladis, makan dulu," ucap Silvi. "Tuh, Raka aja sudah hampir selesai."

"Maaf, Mbak. Harusnya aku nggak kecolongan kayak tadi."

"Sudah, nggak papa. Raka juga senang kok. Untung yang ketemu Jeffrey cuma Raka. Kalau Ian, wah, pasti bakal lebih malu-maluin kampungannya."

Gladis terkekeh kecil. Iya juga sih. Kakak iparnya pasti akan lebih menggila.

"Makan dulu. Masalah uang, nanti Mbak bantu. Kabarin aja kalau sudah dapat nomor rekeningnya."

"Iya, Mbak."

Jeffrey memutar-mutar ponselnya dengan tangan kiri. Ia bertopang dagu. Ketika ponselnya bergetar, ia akan langsung melihat ke arah layar. Sedetik kemudian pria itu menghela napas kesal karena bukan sesuatu yang ditunggunya yang masuk.

"Bang, mau cobain dulu motornya nggak?"

"Eh, sudah siap?" Jeffrey menegakkan punggung. "Special Engine, kan tuh?"

"Iya, yang powerful pokoknya."

Jeffrey tampak tertarik. Ia menjejalkan ponselnya ke dalam saku jaket, lalu berjalan mendekati motor trail yang sudah disiapkan. Tangannya secara otomatis bersarang di stang. Mata Jeffrey berbinar.

"Untuk Bang Jef mah, boleh coba dulu. Nggak usah bayar."

"Yee, coba doang mah dimana-mana memang gratis."

Laki-laki bertubuh kurus yang sedang melayani si customer hanya terkekeh. "Anu, kalau sudah selesai lihat-lihat, Bang Jef ditungguin bos di dalam."

"Bos?" kening Jeffrey berkerut. "Oh, Om Ilham maksud lo? Emang dia sudah pulang dari Garut?"

"Sudah, Bang. Waktu kemarin saya bilang Bang Jef mau datang, bos langsung buru-buru balik ke Jogja."

Jeffrey sedikit bingung. Ia tidak bertanya lagi, langsung mengangguk. "Ya sudah, gue mau ketemu dia dulu. Kali aja bisa nego, dapet motor murah."

Pria jangkung itu ditinggal sendiri di sebuah ruang yang berisi satu set sofa beserta coffee table. Ada air minum dan permen yang boleh diambil sambil menunggu Ilham datang. Jeffrey mengucapkan kata terima kasih dan langsung mencomot sebuah permen rasa mint.

Kurang lebih tiga menit menunggu, seorang pria paruh baya datang. Jeffrey berdiri dan memberikan pelukan ala cowok. Ilham adalah salah satu orang yang wajib ia temui tiap berkunjung ke kota gudeg. Sebagai sesama pembalap, Jeffrey banyak belajar darinya.

"Wah, Jef. Selamat ya. Semakin di depan!" ucap Ilham bangga sambil meniru slogan pabrikan motor yang menjalin kontrak dengan Jeffrey saat ini.

Jeffrey tertawa. "Makasih, Om. Nggak tahu deh, bakal 'semakin di depan' nggak untuk tahun depan."

"Kenapa? Mau pindah tim?" tanya Ilham. Ia sambil mempersilahkan Jeffrey untuk duduk kembali.

"Kontrak sudah habis. Gue masih lihat-lihat lagi. Kemarin Ducati sempat dateng nawarin diri tuh."

"Wah, Adam bakal kebakaran jenggot kalau lu sampai pindah."

"Gajinya lebih gede di sana, sih."

"Serius?"

Jeffrey mengangguk. Ia lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu lah, pikir nanti. Gaji gede konsekuensinya juga banyak."

Ilham mengangguk setuju. "By the way, seriusan lu mau beli motor trail? Yadi ngasih tahu gue kemarin."

"Yadi? Karyawan lo yang barusan antar gue ke sini?"

"Iya."

"Hm, ya, gue mau beli aja sih. Memang nggak boleh?"

Ilham tampak lebih serius. "Bukan nggak boleh, tapi coba dipikir lagi. Adam sudah larang lu biar nggak ikutan coba-coba motocross. Sudah bagus teknik lo di sirkuit."

"Om Adam cuma takut aja itu."

"Justru itu, Jef," ucap Ilham berusaha menyadarkan. "Adam nggak mau lo cedera kayak dia. Semakin sedikit lo cedera, semakin lama lo berlaga di dunia racing. Inget, umur lu nggak bisa dibilang muda lagi sebagai atlet, sembuhnya bakal lebih lama kalau ada cedera."

"Duh, motocross tuh seru. Beda lap, beda trek. Gue juga latihan biar nggak jatuh dan latihan kecepatan di sini."

"Lu pasti nggak izin Adam dulu kan kalau mau ke Jogja?"

"Izin, kok."

"Izin mau main motocross?"

"Izin mau datang ke nikahan teman."

"Nah, kan," Ilham geleng-geleng. "Sudah deh, gue nggak mau kena imbasnya. Lu boleh beli motor tadi, tapi jangan dipakai di trek gue."

"Lho, gimana sih?" Jeffrey tak terima. "Terus gue main dimana kalau bukan di sini?"

"Lo boleh main di sini kalau sudah izin sama Adam."

Jeffrey berdecak kesal. "Seriusan harus bilang dulu ke Om Adam?"

"Mau lu yang bilang atau gue yang bilang?"

Jeffrey mendesah kecewa. Ia menggeleng. "Ya sudah, gue nggak jadi beli."

Ilham mengangguk setuju. Raut wajahnya melunak. Dia memang sedikit rugi karena kehilangan calon pembeli. Tapi, karier Jeffrey di dunia balap motor tidak boleh disia-siakan hanya untuk kesenangan semata. Keselamatan Jeffrey lebih penting.

"By the way, di sini banyak atlet juga, kan?" Jeffrey bertanya sambil kembali mengambil satu buah permen dari piring.

"Banyak, tapi bukan tandingan lo."

"Gue mau coba road race. Kira-kira ada sirkuit non-permanen yang lagi buka nggak?"

"Nanti gue coba kontak temen dulu. Harusnya yang di Maguwoharjo masih ada sih."

Jeffrey manggut-manggut. Setidaknya ia bisa mencoba sedikit bermain-main memacu kecepatan. Hanya sebagai hobi, tanpa ada tekanan mental harus mengejar pencapaian waktu.

"Eh, tadi, katanya lu ke sini izin mau ke nikahan temen. Memang lu punya temen di Jogja?"

"Ada. Temen gue kan banyak."

"Siapa? Kok nggak pernah cerita?"

Jeffrey tersenyum kecut. "Jingga."

"Jingga? Oh, cewek yang bikin lu pengin jadi pebalap itu, kan?"

Pria tampan itu menunduk, tangannya memainkan bungkus permen yang telah kosong. "Cerita lama itu, Om. Dia sudah nikah sekarang."

"Lu ketikung?"

"Bukan. Gue sama dia nggak ada apa-apa. Cuma teman masa kecil."

"Sekaligus cinta pertama?"

Ia mendengus geli. Jeffrey mengangkat wajahnya dan tertawa kecil. "Pertanyaannya apa banget dah."

"Sakit hati mah ngaku aja, Jef."

"Hm, bukan sakit hati karena ditinggal nikah sih," Jeffrey menggaruk ujung hidungnya. Ia meringis. "Gue cuma sedikit kecewa karena ternyata dia shotgun marriage. Gue kira dia bisa jaga diri baik-baik."

Ilham manggut-manggut. "Tuh Jef, makanya, lo juga hati-hati."

"Apa? Gue kan selalu pakai pengaman."

"Pengaman itu nggak bisa seratus persen menjamin keamanan," ucap Ilham. "Mending nggak usah macam-macam sekalian. Hidup lu sudah cukup menegangkan di sirkuit balap. Nggak perlu memacu endorfin di ranjang."

Jeffrey tersenyum miring. "Lo kan sudah nikah, Om. Masa nggak tahu gimana enaknya, sih?"

"Ya, enak, tapi kalau sudah nikah."

"Jadi, mendingan gue nikah dulu, gitu?"

"Iya. Lu sudah siap segala-galanya, kenapa masih bertualang cari kepuasan sesaat?" tanya Ilham. "Mau gue cariin cewek?"

Jeffrey mengibaskan tangan. "Nggak usah lah, Om. Berasa gue nggak laku aja. Gini-gini, gue tuh nggak pernah ditolak sama cewek."

"Ya, sakarepmu lah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top