19.
Jeffrey menghabiskan hampir satu bulan di Yogyakarta. Kalau kata Ilham, kurang kerjaan. Ya memang kurang kerjaan sih. Jeffrey pun sampai menawarkan diri antar-jemput Gladis setiap hari. Untung tidak ditolak. Kalau ditolak, Jeffrey kayaknya bakal mati bosan nggak ngapa-ngapain di kamar.
Setelah acara makan siang bersama waktu itu, hubungan Jeffrey dan Gladis kian dekat. Mereka makin sering menghabiskan waktu bersama. Tiap malam hampir selalu makan bersama, entah berdua saja, dengan Ayah, atau dengan keluarga Ian. Di waktu luang Gladis akan mengajak Jeffrey jalan-jalan layaknya turis di kota Gudeg. Kalau sedang bosan jalan yang repot, mereka akan pergi ke tempat karaoke atau ke gym untuk olahraga bersama. Intinya, mau melakukan apapun, Jeffrey selalu senang asal bisa bersama dengan gadisnya.
Namanya atlet, tiap hari harus selalu berlatih untuk menjaga stamina. Jeffrey tidak bisa berlama-lama lepas dari sirkuit. Meskipun dirinya dijuluki sebagai rider garang karena kemampuan mengendalikan motor yang tak tanggung-tanggung, Jeffrey tetap harus mengasah skills-nya lebih halus. Dengan terpaksa, ia pun berpamitan pulang ke Sentul.
Ajang pertandingan mendatang diselenggarakan di Qatar, sirkuit favorit Jeffrey. Meskipun menyukai jenis lintasannya, persiapan fisik terasa lebih berat. Cuaca di sana hampir dapat dipastikan akan panas dan lembab, membuat konsentrasi para pebalap rentan turun. Namun tidak dengan Jeffrey. Pebalap satu itu memang punya kelebihan di beberapa sektor; skills, mental dan daya tahan tubuh. Meskipun jatuh, jarang sekali Jeffrey mengalami cedera berarti.
Seminggu sebelum jadwal Jeffrey terbang ke Italia untuk persiapan dengan tim-nya, Gladis bilang ingin bertemu. Mumpung jadwal Gladis kosong. Ketika Jeffrey menawarkan kembali pada Gladis untuk bertemu dengan orang tuanya, gadis itu menyetujui. Jeffrey tentu saja senang.
Pria itu sudah menunggu di bandara dengan tak sabar. Ia selalu memeriksa tiap pesawat yang baru saja mendarat. Jeffrey berdecak kesal mengetahui pesawat yang ditumpangi Gladis mengalami delay. Menahan rasa rindu selama setengah jam lagi terasa berat baginya.
Begitu keluar dari pintu kedatangan, tatapan mata Gladis langsung bertemu dengan milik Jeffrey. Tentu saja, pria itu menunggu di barisan terdepan saking tak sabarnya. Jeffrey tersenyum lebar melihat orang yang ditunggunya telah tiba.
"Pesawatnya delay ya," ucap Jeffrey sambil mengambil alih koper dari tangan Gladis.
"Iya, muter-muter dulu di atas. Antre turun."
"Capek nggak?"
Gladis tersenyum kecil. "Lumayan. Dari rumah sakit aku langsung ke bandara. Tapi, di pesawat aku tidur kok."
"Sudah makan?" Gadis itu menggeleng. "Ya sudah. Kita makan malam di restorasi hotel aja. Biar kamu bisa langsung istirahat."
"Ghinaaa!" Gladis merentangkan kedua tangannya ke samping. Ia memeluk erat tubuh temannya yang baru memasuki lobby hotel. Entah kapan terakhir kali mereka bertemu langsung, selama ini pertemuan mereka disponsori oleh kemajuan teknologi alias video call.
"Nggak ada angin, nggak ada hujan, tahu-tahu kamu main ke Bandung," komentar Ghina sambil membalas pelukan.
Gladis merona malu. "Hm, gimana ya, sebelum si doi pergi. Lagian dia juga sudah bilang mau serius sama aku."
"Gerak cepet juga si doi," ucap Ghina. Ia kemudian menepuk-nepuk lengan temannya dengan tak sabar. "Jangan pakai nama samaran terus, kasih tahu nama aslinya. Curang banget sih, masa cuma Naya yang tahu."
"Nama nggak penting, yang penting itu niatnya."
Ghina memajukan bibirnya tanda protes. "Pengin aku... hiihh." Ghina gemas sendiri, kedua telapak tangannya terkepal di depan dada.
Gladis tertawa. "Lanjut di kamar aku aja, yuk." Gladis berjalan mendahului. "Ngomong-ngomong, potongan rambut kamu nyentrik juga ya, kalau dilihat secara langsung."
"Gara-gara Loli nih," kesal Ghina bersungut-sungut. "Rencananya cuma mau potong pendek kayak Jeon Mido pemain drakor Hospital Playlist, eh Loli malah bilang hasilnya lebih mirip Dora The Explorer. Sekalian aja aku jadiin model pixie."
"Tapi jadi badass lho."
"Lumayan menggemparkan sih, orang-orang di rumah sakit aku hampir nggak ada yang nggak komentar. Aku juga merasa jadi pembangkang sejati dengan rambut model gini."
"Masih berantem sama ortu?"
Ghina mengangguk. "Mereka syok lihat aku gini. Mungkin dikiranya aku bakal ngajuin protes kaleng-kaleng, kali ya? Nggak tahu aja aku punya sisi liar."
"Jangan lama-lama marahannya, sama orangtua lho." Gladis membuka pintu kamar dan mempersilahkan Ghina masuk. "Mumpung di Bandung, mampir ke rumah, Ghin."
"Ih, aku kan bela-belain nyetir malam dari Jakarta ke Bandung untuk ketemu kamu. Jangan diusir dong."
"Kamu nyetir?" kaget Gladis. Ia menutup pintu dan duduk di sofa kamar. "Bukannya mobil sudah ditarik sama Papa?"
"Pakai mobil Loli, mumpung yang punya lagi ke Manado," jawab Ghina sambil meringis. "Eh, Naya kasihan lho. Kak Rendra kok bisa gitu sih? Untung diantara kita ada Loli yang bisa nemenin Naya. Kalau aku jadi Naya, kayaknya aku sudah bejek-bejek suami sendiri deh."
"Hus, jangan gitu," Gladis menggeleng. "Urusan rumah tangga orang. Masih untung Naya kabur dari rumahnya minta ditemenin kita-kita. Bukan mikir jelek sih, tapi orang depresi itu bahaya kalau dibiarin sendiri."
"Pokoknya aku mau bikin sidang internal sama Kak Rendra," sahut Ghina berapi-api. Tangannya mengepal di sebelah kepala. "Seenaknya aja nikahin anak orang tapi nggak diurus, malah pekerjaan dianggap lebih penting. Naya pergi beneran, baru tahu rasa."
"Jangan ngomong yang jelek-jelek ah. Ganti topik."
Ghina terkekeh. Ia melemparkan diri ke atas kasur. Mengendarai mobil jarak Jakarta-Bandung, sudah biasa baginya, tapi yang namanya pegel mah tetap ada.
"Kamu sudah siap untuk besok? Makan malam mewah kan itu?"
Gladis mengangguk. Ia mengangkat kakinya dan berselonjor di sofa.
"Aku belum pernah ikut jamuan makan full course gitu. Takut nih."
"Acaranya tetap santai?"
"Kata dia sih santai, tapi aku nggak percaya. Jaga-jaga, aku bawa dress tuh."
"Memang orang tuanya, orang penting ya?" Ghina berbaring miring sambil menyangga kepalanya dengan sebelah tangan. "Siapa sih? Tahu namanya nggak? Kali aja ternyata kenalan orangtua aku."
Gladis mengangkat bahu. "Papanya pemilik perusahaan, Mamanya dosen."
"Kurang cukup clue." Ghina geleng-geleng kepala. Dahinya berkerut. "Dia sekolah dimana? Cerita nggak? Kali aja satu alumni sama aku."
"Dia empat tahun lebih tua dari kita, Ghin. Lagian dia SMP di sekolah swasta, terus lanjut homeschooling karena kariernya."
"Ih, penasaran deh. Kenalin dong, Dis," pinta Ghina.
Gladis tertawa. Ia menikmati raut wajah penasaran temannya. "Besok aku kenalin deh. Habis makan malam, dia antar aku balik ke sini."
"Beneran ya?"
"Iya, Ghina," jawab Gladis sabar. "Besok temenin aku ke salon ya. Sudah lama nggak perawatan. Pokoknya besok aku mau tampil all out."
"Ciee demi mas pacar nih."
"Kita nggak pacaran."
"Katanya serius?"
"Ya, serius. Tapi nggak pacaran," jawab Gladis. Ia tersenyum sendu. "Aku agak aneh pakai kata pacaran untuk menggambarkan hubungan kita. Dia ngerti kok. Makanya, untuk menunjukkan komitmen keseriusan masing-masing, dia kenalin aku ke keluarganya. Aku juga gitu."
Ghina mengangguk paham. Gladis masih sedikit trauma dengan hubungannya dengan Niko dulu. Setidaknya, gadis itu perlahan mulai bangkit. Ghina tidak sabar bertemu dengan pria yang telah berhasil menyembuhkan luka sahabatnya.
"Ya sudah, tidur tidur. Sudah mau jam satu nih."
Ghina berguling, memberi tempat untuk Gladis. "Sini, sini. Sudah lama nggak bobo bareng."
"Kamu ganti baju dulu dong. Sikat gigi sama cuci muka juga."
"Capek, Dis."
"Ih, kamu ketularan malasnya Loli ya?!" pekik Gladis. Ia menarik tangan Ghina agar bangkit. "Ayo, Ghina yang aku kenal tuh nggak akan melewatkan satu pun step perawatan diri."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top