17.
Berlaku sebagai calon anggota keluarga yang baik, Jeffrey menyewa mobil keluarga dengan kapasitas tujuh orang agar jalan-jalan mereka berlangsung lancar. Gladis sempat menolak, sayangnya, seperti biasa, Jeffrey sudah lebih dulu bertindak tanpa persetujuan gadis itu. Pagi pukul sepuluh, Jeffrey datang ke kediaman rumah utama dimana semuanya sudah berkumpul.
"Masuk dulu, Jef," ucap Silvi membukakan pintu rumah. "Tunggu sebentar ya. Anak-anak lagi pada rewel, habis rebutan mainan."
"Kok bisa?" tanya Jeffrey. Dia memang bisa mendengar suara tangisan Raka dan suara Gladis yang sedang menasehatinya.
"Namanya juga kakak-beradik," sahut Silvi. "Mau di ruang tamu atau di ruang tengah? Ayah ada di dalam tuh."
"Ketemu Ayah dulu aja, Kak. Belum pernah kenalan."
"Seriusan sudah siap?" goda Silvi terang-terangan.
Jeffrey mengusapkan telapak tangannya ke celana jeans yang ia kenakan. Ia meringis. "Siap dong."
Silvi memimpin berjalan masuk ke dalam rumahnya. Jeffrey mengikuti dalam diam. Hatinya komat-kamit. Gugup cuy, mau ketemu calon mertua. Padahal mah, Gladis saja belum tentu mau nikah sama dia.
"Om Jef!" Raka berteriak. Ia berlari dan memeluk kaki Jeffrey erat. Ingusnya masih kemana-mana. "Tante Shasha nakal!"
Gladis bersedekap. Ia tak mau kalah dari bocah umur lima tahun. "Tante nggak nakal, Tante kan cuma bilangin. Jangan mukul kepala adek, masih kecil."
"Tapi Lala duluan yang ambil mainan aku."
"Adek belum ngerti, Raka," Gladis melunakkan nada bicaranya. "Sini, sama Tante. Itu Om Jeffrey baru datang lho."
Jeffrey tertawa kikuk. Ia terlibat pertengkaran kecil itu. Dia menunduk dan mengusap kepala Raka.
"Iya, Raka main sama Tante Shasha dulu, tuh. Om mau ketemu Kakek. Eh, manggilnya Kakek, kan?"
"Eyang kung," jawab Gladis. Dia sudah berdiri dari sofa dan menghampiri Jeffrey. Gadis itu mengurai lengan Raka di kaki Jeffrey. "Ayah ada di teras belakang. Mau ketemu sekarang?"
Jeffrey hanya bisa mengangguk. Untuk menjawab pertanyaan Gladis, lidahnya terasa kelu. Yah, meskipun Jeffrey tahu dirinya akan dikenalkan sebagai teman Gladis, tetap saja dia gugup.
"Ayah bicaranya masih pelo, jadi agak nggak jelas. Sabar ya nanti." Jeffrey lagi-lagi mengangguk.
"Raka mau ikut ke belakang nggak? Atau mau sama Mama aja tuh, nyiapin baju ganti adek."
"Mau sama Om Jef."
"Jangan dipeluk terus kakinya Om, nggak bisa jalan itu."
Setelah perdebatan kecil selesai, Jeffrey akhirnya diperkenalkan Gladis pada sang ayah. Jeffrey salim cium tangan. Ia duduk di kursi samping Ayah. Pria jangkung itu berusaha menyesuaikan diri dengan level tatapan mata Ayah Gladis.
"Ayah, ini Jeffrey. Temen yang waktu itu aku ceritain," ucap Gladis membuka percakapan.
Jeffrey mengangguk, ia tersenyum kikuk. Jujur saja, dia belum pernah menemui orang tua gadis mana pun, dalam konteks serius. "Perkenalkan. Saya Jeffrey, Om."
"Lho, sudah dekat sama Raka?" tanya Ayah kaget melihat Raka tampak nyaman duduk bersandar di lengan Jeffrey.
"Iya, Yah. Yang ketemu sama Jeffrey, Raka duluan, bukan aku," jelas Gladis.
Ayah mengangguk, tatapannya tak lepas memperhatikan pria itu. Jantung Jeffrey rasanya mau salto keluar.
"Gladis, bikinin temen kamu minum dulu sana."
Gladis tahu, Ayahnya mengusir secara halus. Ayah ingin bicara berdua dengan Jeffrey. Tatapan mata Gladis bertemu dengan milik Jeffrey. Ia mengangguk kecil dan berdiri.
"Raka, ikut Tante yuk."
"Mau sama Om Jef."
"Om Jeffrey nggak kemana-mana kok. Nanti kan mau jalan-jalan bareng," bujuk Gladis. Untungnya Raka segera menurut. Kini hanya tersisa Jeffrey dan Ayah berdua saja duduk bersama di teras belakang.
"Kamu kerja apa?" tanya Ayah langsung begitu Gladis pergi.
"Saya atlet, Om."
"Pembalap motor, bener?"
Jeffrey menelan ludah susah payah. Biasanya, banyak orang memandang sebelah mata profesinya. Jeffrey pun sudah menyiapkan diri.
"Iya, Om."
"Aslinya mana?"
"Orang tua sekarang tinggal di Bandung. Ibu orang Bandung, Ayah orang Tasikmalaya."
"Kalau kamu tinggal dimana?"
"Saya ada rumah sendiri di Sentul, tapi seringnya di Italia dan Inggris kalau mau persiapan turnamen."
"Kerjanya memang disana?"
Jeffrey tersenyum tipis. Ia mengangguk. "Saya memang teken kontrak dengan tim pabrikan asal Indonesia, tapi sponsornya kebanyakan dari perusahaan Eropa. Saya juga termasuk bagian tim asuhan senior saya, jadinya saya lebih sering di luar negeri."
"Senior siapa?"
"Adam Evans asal Inggris dan Valentino Rossi asal Italia, Om." Jeffrey tak tahu apakah Ayah Gladis mengetahui nama-nama legenda di dunia balap itu atau tidak.
Ayah manggut-manggut. Tatapan matanya beralih. Kini Ayah menerawang melihat taman bunga kecil yang cukup indah terawat.
"Saya nggak masalah dengan pekerjaan kamu, saya juga nggak mau tahu berapa gaji kamu. Harga diri laki-laki terletak di usahanya. Selama kamu terus berusaha, pasti ada saja jalannya rezeki." Jeffrey mengangguk sopan mendengar petuah Ayah.
"Saya punya istri yang baik, yang menemani saya bekerja dari titik terendah. Pendapatan saya nggak berlebih, ya, cukup lah untuk menyekolahkan anak-anak sampai lulus S1. Rezeki terbesar yang Tuhan berikan atas usaha keras saya mengalir dari tawa bahagia istri dan anak-anak saya, tiga wanita berharga di hidup saya."
Jeffrey tetap menjadi pendengar yang baik. Usia Ayah Gladis terpaut beberapa tahun di atas ayahnya sendiri. Ia tahu, Ayah Gladis telah merasakan asam garam kehidupan.
"Saya ikhlas ketika Tuhan mengambil istri saya terlebih dahulu. Ingatan terakhir saya tentang ibunya anak-anak adalah wajah senyumnya yang telah menutup mata. Saya lega, istri saya pergi dengan bahagia," suara Ayah mulai bergetar.
"Saya ikhlas melepas anak gadis pertama saya di hari pernikahannya. Hari itu saya menangis, saya baru sadar bayi mungil yang dulunya selalu merangkak di dada saya, kini tersenyum duduk di sebelah pria pilihannya."
Jantung Jeffrey berdegup kencang. Ia ikut terenyuh. Kepalanya tanpa sadar menunduk. Matanya tertuju pada untaian tangan di pangkuannya.
"Saya tidak tahu sudah seberapa jauh hubungan kamu dan anak saya," Ayah kini menoleh ke arah Jeffrey. "Saya cuma mau berpesan, jangan renggut kebahagiaan putri saya. Saya sudah susah payah membesarkannya dengan perasaan cinta. Jangan kamu hancurkan hatinya."
Jeffrey mengangguk. Ia tersenyum. Kini ia sadar, tanggung jawabnya besar. Hubungannya bukan melulu tentang cinta, tapi juga tentang komitmen dan saling menjaga.
"Iya, Om. Saya akan berusaha keras untuk jaga Gladis."
"Luka Gladis belum sembuh benar. Saya juga nggak tahu darimana dia dapat keberanian untuk bawa kamu ke depan saya seperti ini. Untuk masalah pasangan hidup, saya menyerahkan semua pilihan pada anak-anak, saya percaya mereka sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Tugas saya sebagai ayah hanya satu. Membimbing."
"Kejadian kemarin cukup bikin saya marah. Saya sedih karena malah jatuh sakit dan merepotkan Gladis. Saya harap, kamu mengerti dengan apa yang berusaha saya sampaikan. Saya tidak bermaksud menggurui. Saya hanya ingin yang terbaik untuk anak saya."
Jeffrey mengangguk lagi. "Iya, Om. Terima kasih sudah terbuka dengan saya dari awal. Saya laki-laki yang memegang teguh ucapan." Jeffrey menarik napas panjang untuk meredakan debaran jantungnya. "Saya tidak bisa menjanjikan banyak hal. Satu yang saya yakin, Gladis adalah seseorang yang selama ini saya butuhkan untuk menyempurnakan hidup saya. Gladis sudah menjadi bagian dari hidup saya dan saya bertugas untuk menjaganya."
Ayah tersenyum. Tatapan matanya meneduh.
"Ucapkan kalimat itu kalau Gladis benar-benar sudah membuka hati untuk kamu. Untuk sekarang, biarkan dia mengobati lukanya dulu. Pernikahan bukan hal main-main."
Percakapan mereka terhenti oleh kedatangan Gladis. Gadis itu membawa segelas es sirup di nampan. Ia meletakkannya di hadapan Jeffrey. Tatapan matanya sempat bertemu dengan tatapan mata Jeffrey.
"Ayah mau berangkat sekarang atau gimana?" tanya Gladis pada sang ayah.
Ayah justru melihat ke arah Jeffrey. "Tunggu Jeffrey habiskan minumnya, setelah itu kita berangkat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top